Oleh: M. Rikza Chamami, MSi
Sugesti Nabi itu memberikan gambaran keagungan bulan ramadan. Secara historis, ramadan mempunyai arti penting bagi kemenangan umat Islam. Kemenangan pihak Islam dalam perang Badar dan keberhasilan Islam menghalau pasukan Tartar terjadi pada bulan ramadan. Begitu pula Rasulullah keluar pada tahun pembukaan Kota Mekah (fathu Makkah) di bulan Ramadan dan berpuasa hingga tiba di Daerah al-Kadid Nabi baru berbuka.
Dalam menjalankan ibadah, umat Islam juga mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Misalnya menjalankan ibadah sunnah disamakan pahala ibadah wajib. Sedang pahala ibadah wajib dilipatkan menjadi 700 kali. Betapa nikmatnya bulan ini yang menyajikan jutaan pahala bagi umatnya.
Kemuliaan ramadan yang lainnya ditandai dengan turunnya kitab-kitab Allah, Suhuf (Ibrahim), Taurat (Musa), Zabur (Dawud), Injil (Isa) dan al-Qur’an (Muhammad) pada bulan Ramadan. Obral pahala juga terjadi saat digelar Lailatul qadr pada malam ganjil minggu keempat ramadan.
Dalam ramadan, semua umat Islam juga akan dibebaskan dari gangguan syetan. Sebagaimana riwayat Abu Hurairah: “Apabila tiba bulan Ramadan, dibuka pintu-pintu Surga dan ditutup pintu-pintu Neraka serta syaitan-syaitan dibelenggu”.
Artinya bahwa umat Islam yang sadar akan kewajiban puasanya akan terbebas dari godaan syetan. Lain halnya bagi mereka yang tetap mengabaikan kewajiban puasa, ia akan dibayang-bayangi oleh prilaku syetan. Kalau semua umat sadar akan kewajiban, maka ramadan akan menjadi bulan bebas maksiyat.
Ramadan dengan kewajiban puasanya menjadi tonggak fit and proper test untuk mencetak muslim yang bertaqwa. Semua aktifitas hawa nafsu yang dimiliki oleh umat Islam dihentikan sejak terbitnya fajar shadiq hingga datangnya maghrib. Dalam menjalankan puasa diharamkan untuk makan, minum dan bersetubuh. Jangka waktu menahan nafsu itu berjalan kira-kira 10 jam. Maka oleh sebagian pihak, puasa dianggap penderitaan lahir dan batin.
Dalam menghadapi datangnya puasa ramadan, umat Islam terbagi menjadi tiga: senang, sedih dan biasa saja. Rasa senang kehadiran ramadan tercermin bagi kalangan santri dan muttaqin. Sedangkan bagi orang-orang yang lemah imannya akan merasakan kesedihan derita ramadan. Dan bagi yang tidak punya prinsip agama teguh, mereka akan cuek, ramadan dan tidak dianggap sama saja. Lalu siapa yang dimaksud muttaqin dalam surat al-Baqarah ayat 183?
Mereka adalah orang Islam yang dengan ikhlas menjalankan puasanya dan merahasiakannya. Puasa model tersebut merupakan satu-satunya ibadah yang sangat rahasia dalam Islam. Diantara lima rukun Islam; syahadat, shalat, zakat dan haji bisa dikatakan ibadah yang tidak bisa dirahasiakan. Semua orang bisa melihatnya. Namun ibadah puasa tampil beda. Puasa hanya diketahui oleh pelakunya dan Allah ta’ala saja.
Puasa yang dalam Islam disebut shaum (ruzah: bahasa
Penjagaan kesehatan dalam puasa ini juga nampak jelas ketika sedang melakukan perjalanan (musafir), orang diperbolehkan tidak puasa. Begitu pula bagi orang sakit, menyusui dan orang lanjut usia diperbolehkan mukak (tidak puasa)—dengan menggantikan di hari lain. Artinya bahwa Islam tidak menderitakan umatnya.
Dalam memerintahkan seorang awam asal Najd, Nabi tidak menyulitkan mereka menjalankan puasa. Mereka yang datang dengan kondisi rambut kusut bertanya soal puasa. Nabi hanya memerintahkan: “Hendaklah berpuasa pada bulan Ramadan”. Ketika lelaki tersebut bertanya: “Masih adakah puasa lain yang diwajibkan kepada ku?” Nabi menjawab dengan bersabda: Tidak, kecuali jika engkau ingin melakukannya secara sukarela yaitu puasa sunat.
Kedua, puasa mendorong untuk bersikap kasih‑sayang terhadap sesama yang diwujudkan dengan darma bakti sosial. Darma bakti sosial ditunjukkan dengan merasakan dahaga dan lapar sebagaimana fakir dan miskin. Sehingga ketika ada makanan pun mereka tidak berlebihan. Rasul bersabda "Kami adalah bangsa yang tidak makan jika belum terasa lapar, dan apabila kami makan tidak pernah berlebihan kekenyangan".
Dan ketiga, puasa menjaga diri dari hawa nafsu dan fitnah. Untuk lelaki yang belum beristri, puasa akan mereduksi tensi nafsu sekaligus menjauhkan pikiran negatif. Sedangkan bagi yang berkeluarga, puasa akan mempertinggi sikap saling mencintai, mengasihi (mawaddah wa rahmah).
Keterjauhan dari fitnah diindikasikan karena kelesuan fisik yang tidak memberdayakan dirinya berpikir negatif bagi yang lain. Sahabat Huzaifah menjelaskan bahwa Umar bersabda: “Fitnah tersebut boleh dihapuskan oleh sembahyang, puasa dan zakat”. Dengan demikian, makna puasa ramadan adalah mewujudkan kesalehan fungsional bagi umatnya.
No comments:
Post a Comment