Revolusi Mental Berbasis Spiritual

Kirim Wawasan 20 Oktober 2014 

Program besar Jokowi-JK salah satunya berlabel revolusi mental. Semangat revolusi selalu hadir menjawab atas kelambanan perubahan masyarakat. Salah satu lambatnya perubahan dalam masyarakat Indonesia adalah soal mental. Mental negatif yang selalu menempel bangsa kita adalah langgengnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Termasuk mental persatuan dan kesatuan bangsa juga mudah memudar akibat virus sentimen politik. Maka penyakit ini perlu diobati bersama dengan melakukan revolusi mental.
Upaya melakukan revolusi mental di negara kita nampaknya akan mengalami ganjalan jika tanpa diperbuat dengan revolusi spiritual. Sebab keduanya merupakan perpaduan antara pemikiran dan sikap hidup dalam berbangsa dan bernegara, baik secara individual ataupun komunal. Upaya untuk mewujudkan revolusi mental berbasis spiritual ini perlu dijalankan dengan tiga pendekatan.
Pertama, pendekatan sosio-hitoris. Bangsa Indonesia meraih mimpi kemerdekaan sejati baru terwujud 1945 dengan proses perjuangan yang sangat panjang. Enam Presiden yang telah memimpin bangsa juga sudah berupaya sebaik mungkin menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan berkeadilan. Dari perspektif ini boleh dikatakan, bahwa masa demi masa kepemimpinan selalu menghadirkan inovasi agar bangsa semakin maju.
Revolusi mental hadir bukan dalam rangka melawan rezim dan mencoba mencari korban nyawa. Akan tetapi, ia hadir sebagai sebuah solusi gerakan sosial untuk membangun mental bangsa yang lebih baik. Semua sifat negatif yang menghinggapi bangsa ini secara cepat harus dibuang. Alhasil, muncul harapan baru dengan warna Indonesia yang bermartabat, beretika, berestetika dan berdaya saing dengan semangat persatuan dan kesatuan.
Kehadiran revolusi mental bukan sekedar jargon yang menjadi gaya Jokowi-JK dalam menarik simpati masa, akan tetapi harus menjadi program nyata. Rakyat sangat menanti realisasi dari gerakan revolusi mental ini. Dengan pola pendekatan sosio-historis ini, akan mencoba mencari terobosan apa yang pas untuk dijalankan. Apa yang baik dan pernah dilakukan oleh enam Presiden sebelumnya masih patut untuk dipertahankan. Sedangkan sejarah bangsa yang kurang baik patut ditinggalkan. Tugas Jokowi-JK kemudian membuat sejarah baru yang lebih bermanfaat bagi rakyat.
Kedua, pendekatan kebutuhan. Dua hal prinsip yang perlu ditata dari bangsa ini adalah membuang KKN dan mempererat persatuan bangsa. Mental KKN di lingkup pemerintahan sudah waktunya dihilangkan secara cepat. Hadirnya komisi pemberantasan korupsi (KPK) menjadi salah satu point penting dalam menanggulangi KKN ini. Maka visi terwujudnya good government dan good governance patut menjadi prioritas kerja Jokowi-JK.
Selama ini kampanye soal good government dan good governance marak dimana-mana, namun masih ada oknum pimpinan lembaga negara yang bermental KKN. Jokowi-JK harus berani membuktikan impiannya untuk merubah mental itu. Sehingga prinsip pelayanan terpadu berbasis rakyat benar-benar tercapai. Tidak ada lagi pungli dimana-mana, termasuk program yang dicanangkan harus benar-benar sesuai kebutuhan rakyat. Bukan program yang dirancang untuk kepentingan elit dan kelompok tertentu.
Dan ketiga, pendekatan manfaat. Revolusi mental perlu disusun atas dasar manfaat untuk bangsa. Sehingga benar-benar dapat dirasakan oleh rakyat. Soal pemberantasan KKN misalnya, kalau benar dapat direalisasikan dari pusat hingga daerah, maka rakyat akan sejahtera lahir batin. Selama ini KKN terjadi atas kebutuhan elit yang mengembalikan modal politik saat mencalonkan diri. Termasuk perilaku elit menebus mahar partai (yang memberi rekomendasi) lewat APBD juga melahirkan KKN. Perilaku elit politik dalam bermanuver juga ikut merugikan rakyat dengan lahirnya konflik sosial yang berujung pecahnya persatuan bangsa.
Oleh sebab itu, konsep dasar revolusi mental harus melahirkan definisi opereasional yang mampu diterjemahkan menjadi sebuah program nyata pro-rakyat. Revolusi mental ini beda dengan model revolusi Prancis, Rusia, Mesir dan Iran. Akan tetapi revolusi mental lebih diarahkan pada tiga bangunan dasar, yakni: pola pikir, keterbukaan ide dan sikap sosial. Untuk menyatakan ketiga hal ini butuh restrukturisasi dan rekontruksi.
Yang dimaksudkan dengan restrukturisasi disini adalah sebuah upaya bersama dalam memerangi seluruh penyakit masyarakat lewat kekuatan politik dan people power. Pemimpin bukan menjadi alat kekuasaan dan menjadikan rakyat sebagai pelayannya. Tetapi pemimpin adalah pelayan rakyat yang siap hadir kapanpun dibutuhkan. Termasuk kedekatan pemimpin kepada rakyat dengan model blusukan dan monitoring berbasis penyelesaian masalah—harus digalakkan. Begitu pula rakyat sebagai kekuatan people power diberikan ruang untuk menyampaikan keluh kesahnya setiap waktu. Sehingga terwujud komunikasi intensif antara pemimpin dan rakyat.
Sedangkan rekontruksi ini menjadi jalan keluar atas segala hal problem kemasyarakatan yang dianggap “penyakit” dan harus “disembuhkan”. Untuk mewujudkan revolusi mental ini juga sudah jauh-jauh dicanangkan revolusi nasional dengan merebut kemerdekaan dari tangan kolonial dan  revolusi sosial dengan menjadikan identitas bangsa lewat kemandirian. Harga revolusi nasional dan sosial ini sangat mahal sekali—harus dibayar dengan nyawa, tenaga dan pikiran.
Untuk melengkapi revolusi mental ini diperlukan satu pola penguatan spiritual. Sebab jika hanya mental yang dikuatkan, maka mustahil kesehatan mental akan stabil berjalan. Sebab mental itu mudah tereduksi dengan logika hidup dan ekonomi. Sedangkan spiritualitas lahir sebagai penyeimbang dan pendorong konsistensi sikap hidup. Makanya mental yang sudah sehat perlu didukung spiritual yang kuat dengan memegang prinsip agama. Disinilah peran pendidikan agama sangat penting, termasuk peran pemuka agama dalam menasehati umatnya dalam menjaga bangsa ini untuk tetap utuh dan berperang melawan KKN.
Inti dari program revolusi mental berbasis spiritual yaitu penyegaran mental dengan prinsip spiritual. Wujud kegiatan ini lewat penguatan pemaknaan terhadap hidup berbangsa dengan menggunakan agama (sesuai keyakinan masing-masing). Sebab semua agama telah mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam hidup saling berdampinganan yang membuat Indonesia semakin hebat di bawah kibaran panji merah putih.*)


M. Rikza Chamami, MSI -- Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
& Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies IAIN Walisongo


No comments:

Post a Comment

@mrikzachamami