SUARA MERDEKA “RUBRIK PAMOMONG” dikirim 26
Oktober 2014
Banyak pandangan hidup orang Jawa
yang hilang akibat arus globalisasi. Jiwa santun, guyub rukun dan tanpo
pamrih lambat laun mulai terkikis. Orang Jawa yang semula identik berbudi
pekerti luhur, unggah-ungguh, tepo sliro juga mengalami penurunan
nilai. Sehingga ada kesan “wong njowo ora njowoni” (orang jawa tidak
memahami hakikat luhur kejawen). Oleh sebab itu, dibutuhkan upaya untuk
menghidupkan kembali ajaran Jawa yang sungguh mulia dalam membentuk sikap
hidup.
Salah satu ajaran Jawa yang patut
untuk dihidupkan kembali adalah ilmu kanthong bolong yang diperkenalkan
RMP Sosrokartono (1877-1952). Ajaran yang terkandung di dalamnya sebagai
berikut: “Nulung pephadane, ora nganggo mikir wayah, wadhuk, kanthong. Yen
ana isi lumuntur marang sesami” (menolong sesama, tidak perlu memakai
pikiran, waktu, perut, saku. Jika saku berisi mengalir kepada sesama).
Mohammad A Syuropati (2011)
menyebutkan bahwa ilmu kanthong bolong berarti pengetahuan tentang
tempat untuk menaruh sesuatu (semisal saku), tapi tempat itu berlobang atau
bocor. Secara terminologis, ilmu ini merupakan pengetahuan kongkrit tentang
saku yang selalu kosong karena kondisinya berlobang, yang pasti tempat itu tak
pernah membiarkan sesuatu yang dimilikinya tetap ada. Karena saku dibiarkan
dalam kondisi berlubang, maka apapun yang ada di dalam saku selalu keluar
mengalir sehingga selalu kosong.
Kondisi semacam ini, bagi orang
Jawa menunjukkan bahwa kepribadiannya dilandaskan pada niat suci melihat
realitas masyarakat. Bahwa harta yang dimiliki bukan hanya hak pribadi, tetapi
ada hak milik orang lain yang harus diserahkan (infaq/shadaqah). Melihat wejangan
RMP Sosrokartono ini, oleh R Mohammad Ali (1996) disimpulkan memiliki dua
prinsip dasar. Pertama, mengosongkan pribadi dari pamrih. Dan kedua,
menolong sesama manusia.
Menghilangkan pamrih dalam
kehidupan bukanlah hal yang mudah. Setiap individu pasti menginginkan untuk
hidup dengan timbal balik dan saling menguntungkan. Ketika memilih tanpa
pamrih, yang muncul adalah dirinya siap menjadi korban atau pihak yang selalu
rugi. Disitulah ujian berat untuk orang yang hendak merajut sifat mulia tanpa
pamrih ini. Tanpa pamrih bukan bermakna dirinya harus mengalah dan rugi, tetapi
bagaimana menata hati untuk ikhlas dalam kondisi apapun.
Sementara menolong sesama juga
hal yang tidak mudah. Manusia masih selalu merasa kurang, maka dirinyalah yang merasa
patut untuk ditolong. Tapi dapat kita tarik benang merah, jika semua orang
merasa ingin ditolong, lalu siapa yang akan menolong? Maka sikap luhur Jawa
mengajarkan untuk tulung tinulung. Kegiatan tolong menolong ini yang kemudian
menjadi ikatan persaudaraan orang Jawa semakin kuat. Menggugah jiwa penolong
juga butuh waktu, yang pasti bahwa orang yang suka menolong adalah mereka yang
punya jiwa ikhlas dan merasa hidup berdampingan dengan orang lain.
Melihat ajaran ilmu kanthong
bolong yang disusun secara rapi, dari kalimat demi kalimat terdapat enam
hal menurut Mohammad A Syuropati untuk dijadikan intisari hidup, yakni:
menolong (nulung), tanpa berpikir panjang (ora nganggo mikir),
waktu (wayah), perut (wadhuk), saku (kanthong) dan
mengalir (lumuntur).
Enam hal yang disebutkan ini
sangat berkait dengan jiwa dan sikap manusia. Orang hidup itu perlu melatih
jiwa dengan sikap positif dan membuang jauh sikap negatif. Dalam bahasa agama
disebutkan perlu diajarkan pada setiap manusia dengan akhlaq mahmudah
(mulia). Yang perlu dilahirkan dalam perspektif kanthong bolong adalah
jiwa penolong, sigap dalam berpikir, meluangkan waktu, tidak egois, tidak
berpikir ekonomis (untung rugi) dan dermawan.
Dari enam jiwa yang dimiliki
itu akan lahir sikap besar hati untuk menolong orang dengan cepat, dimanapun
tempat tanpa harus mempertimbangkan dirinya memiliki harta yang banyak. Kanthong
bolong pada hakikatnya mendidik manusia untuk memegang tiga prinsip hidup. Pertama,
hidup secara mengalir dan apa adanya. Kebanyakan orang memegang teguh pada
keyakinan untuk mendahulukan kaya baru mau berinfaq.
Namun ketika sudah kaya justeru
dirinya lupa dan menjadi orang pelit karena merasa susah-payah mencari uang dan
eman untuk mengeluarkan. Dari situ hidupnya sudah tidak alami lagi dan
sangat susah untuk hidup mengalir dan apa adanya. Ia akan berubah menjadi orang
yang menargetkan hidup dengan hitungan matematis.
Kedua, peduli terhadap
sesama. Kepedulian terhadap sesama dapat diwujudkan dengan saling menolong
dengan meninggalkan egoismenya. Ketika menolong orang tidak perlu melihat siapa
yang akan ditolong dengan berpikir besok akan kembali ditolong. Terkadang ada
orang yang mudah menolong orang kaya karena berharap imbalan, dan sulit
menolong orang miskin. Padahal orang miskinlah yang sangat butuh bantuan
sehingga hidup dengan tolong menolong tidak bisa diukur dengan rumus ekonomi,
untung-rugi.
Ketiga, selalu siap
mengabdi (sigap). Selalu sigap dalam berpikir menunjukkan sebegitu kuat
sensitifitas terhadap masyarakat tanpa mempertimbangkan waktu yang dimiliki.
Ketika orang sudah semakin dewasa, maka prinsip membagi waktunya sudah sangat
profesional. Maka untuk mewujudkan sikap sigap dalam berpikir sangat terkait
dengan manajemen waktu dengan membagi waktu pribadi dan masyarakat. Disinilah
akan teruji jiwa kedermawanan yang dimulai dari mendermakan waktu, pikiran dan
harta yang dimilikinya.
Inti dari ajaran ini kanthong
bolong ini sangat tepat dalam membuat kondisi bangsa untuk semakin lebih
baik. Jika inti dari ilmu kanthong bolong ini dijalankan, maka akan
terwujud bangsa yang ikhlas, saling tolong menolong, membuang sikap egois,
tidak rakus dan peduli terhadap sesama.
Di tengah era demokrasi, bangsa
ini banyak mempertontonkan pemimpin yang elitis, borjuis, berdasi tapi masih
egois terhadap kelompoknya. Dana aspirasi dikorupsi. Dana hibah disunat.
Pengajuan proposal bantuan diatur dengan model kolusi dan nepotisme. Mereka
yang mengatasnamakan rakyat tetapi tidak merakyat. Harusnya melayani malah
minta dilayani.
Maka, ilmu kanthong bolong
ini patut kita hidupkan kembali untuk menyelaraskan hidup bahwa pejabat dan
rakyat pada hakikatnya sama, yang membedakan hanyalah jabatan strukturalnya
saja. Jangan semena-mena saat menjabat, sebab kalau sudah lengser akan kembali
jadi rakyat. Jangan berkhianat karena akan mendapatkan laknat akibat
menyusahkan rakyat.*)
M Rikza Chamami, MSI
Dosen Islam dan Budaya Jawa Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
& Mahasiswa Program Doktor Islamic
Studies IAIN Walisongo
No comments:
Post a Comment