Mencabut Radikalisme Buku Ajar Agama


Berita “Buku Pelajaran PAI Ditarik” yang pernah marak bulan kemarin menjadi ironi di kalangan dunia pendidikan. Lembaga pendidikan yang harusnya menjadi lembaga pemersatu bangsa justru dinodai dengan buku ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) yang berpaham radikal. Dalam buku PAI untuk SMA kelas XI terdapat materi yang menyebut bahwa orang Islam boleh membunuh warga nonmuslim atau kaum kafir.
Kenyataan ini menjadi potret buram bagi pemangku kebijakan, kenapa buku ajar agama semacam ini bisa lolos dan disebarluaskan pada siswa. Harusnya dari awal, tim penulis buku mendapatkan arahan tentang arah pendidikan agama yang berwawasan kebangsaan. Bahwa di Indonesia terdapat enam agama yang hidup secara berdampingan. Sehingga materi agama perlu disingkronkan dengan materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Agama dalam perspektif mikro memang mengajarkan untuk memegang prinsip teologi tentang keesaan Tuhan dan norma kitab suci. Prinsip teologi yang demikian ini disegyonya menjadi konsumen individual umat beragama dan menjadi bahan kajian internal agama. Jika sudah menjadi komitmen sosial (terutama di negara Indonesia), maka kerukunan umat beragama menjadi hal nomer satu. Sehingga agama bukan menjadi alat untuk memecah belah umatnya.
Untuk menjelaskan hakikat agama yang mampu bersanding dengan umat agama lainnya, maka pendidikan agama di sekolah menjadi pintu masuk. Jika buku ajar agama sudah mengajarkan untuk saling membenci, merusak dan membunuh agama lainnya dengan kalimat halal/boleh, maka negara ini akan mengalami kehancuran. Maka mutlak sekali buku ajar itu perlu ditarik dan dievaluasi secara mendalam.
Dalam rangka menghentikan kasus serupa terjadi kembali, maka ada empat hal yang dapat dijalankan oleh pemangku kebijakan pendidikan. Pertama, melakukan evaluasi kurikulum agama yang dijabarkan dalam Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) dengan visi agama rahmatan lil alamin. Yaitu prinsip kurikulum agama yang berwawasan kebangsaan tanpa meninggalkan nilai-nilai suci agama dimaksud.
Kedua, mencari penulis buku ajar yang profesional. Jika diperlukan, calon penulis buku harus mengikuti uji kompentensi akademik dan kebangsaan. Hal ini dilakukan agar penulis buku agama tidak memasukkan ideologi pribadi dala materi ajar. Jika sudah ada muatan ideologi pribadi masuk, maka wawasan kebangsaan dalam buku agama akan hilang.
Ketiga, dilakukannya uji kelayakan terbit dengan menghadirkan reviewer buku ajar oleh para profesor, tokoh agama dan guru berprestasi rumpun agama. Sehingga tidak semua buku yang telah ditulis itu otomatis dicetak dengan biaya pemerintah dan disebarluaskan. Adanya pembacaan oleh para ahli ini akan meminimalisir terulangnya kembali kasus serupa yang berakibat fatal.
Dan keempat, dibentuknya Dewan Etik Buku Ajar oleh Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan untuk menangani kasus semacam ini. Bagi penulis dan pejabat yang terkait dengan kepenulisan, penerbitan dan pendistribusian akan disidang oleh Dewan Etik jika terdapat kasus dan aduan dari masyarakat. Sebab buku ajar agama tidak mungkin disajikan hanya semata-mata menjadi bahan bacaan, tetapi lebih luas bermakna sebagai doktrinasi siswa.

Kontrol Orang Tua
Adanya insiden akademik semacam ini perlu diambil hikmahnya. Ke depan, orang tua sebagai pemilik kuasa penuh anak didik (siswa) perlu mengontrol pemahaman agama anaknya. Orang tua juga mempunyai tanggung jawan untuk melihat dan memeriksa materi agama yang diajarkan. Termasuk berkomunikasi dengan anaknya bagaimana model pengajaran agama kepada anaknya.
Materi agama di sekolah bukan sekedar untuk mengajari ibadah-ibadah saja. Di dalam materi agama terdapat pokok materi yang terkait langsung dengan masyarakat, seperti jual beli, gadai, tolong menolong dan toleransi beragama. Soal materi agama memang tidak terlalu menjadi persoalan jika guru agama mampu menyajikan materi ibadah secara baik. Siswa juga akan mengikuti aturan-aturan ibadah yang diajarkan.
Namun untuk materi agama yang terkait langsung dengan masyarakat dapat saja menjadi problem jika sang guru agama memaksakan kehendak ideologi pribadinya. Maka selain empat hal yang telah dilakukan di atas, masih dibutuhkan tiga pendekatan lain yang diperlukan untuk para guru agama.
Pertama, pelatihan guru agama tentang wawasan kebangsaan. Bahwa agama yang diajarkan itu berisi pesan ketuhanan dan pesan kemanusiaan. Pesan ketuhanan bukan semata-mata untuk mematikan pesan kemanusiaan yang akhirnya lahir agama fanatik dan radikal.
Kedua, pola pembelajaran agama dengan prinsip pluralisme perlu menjadi model bagi guru agama. Agama yang diajarkan mampu bersanding dengan agama lainnya—tanpa harus menukar keyakinan.
Dan ketiga, guru perlu memahami karakter murid yang dalam hal agama memiliki ragam keyakinan dan aturan ibadah yang berbeda-beda. Justru dengan adanya perbedaan dalam agama, guru menjelaskan kepada siswa bahwa perbedaan itu rahmat dari Tuhan dan harus dipersatukan.

Tawaran ini diharapkan mampu menjadi kajian bersama agar pendidikan agama di sekolah mampu menjadi mata pelajaran yang menarik dan diminati siswa. Sebab selama ini, pelajaran agama hanya menjadi pelengkap penderita dari para siswa dan banyak tidak diminati. Jika materi agama disuguhkan dengan paham radikal, maka Indonesia akan menjadi negara yang tidak bermartabat dan rawan konflik. Maka, usaha untuk mencabut akar radikalisme harus dimulai dari sekolah.*)

No comments:

Post a Comment

@mrikzachamami