Agama dan
budaya merupakan dua hal yang tidak mudah dipisahkan. Agama sebagai doktrin merupakan
keyakinan pribadi antara individu dengan Tuhannya. Sedangkan budaya terbentuk
atas kesepakatan masyarakat dengan perilaku tertentu. Melihat fenomena agama
dan budaya akhir-akhir ini yang kadang jumbuh, maka perlu sekali pencarian
titik temu agama dan budaya.
Maraknya
ideologi radikal sebuah agama yang terjadi di Indonesia menjadikan opini publik
miring tentang agama. Sebab agama sudah dimaknai sebagai salah satu pemicu
konflik sosial dan politik. Padahal agama hadir bukan untuk menciptakan
konflik. Agama yang hadir sebagai pencipta konflik adalah agama yang melenceng
dari perintah teologinya.
Hadirnya
pengikut agama yang fanatik dan cenderung radikal itu adalah fakta dari agama
yang jauh dari budaya. Kenapa demikian? Sebab agama radikal adalah cerminan
dari egoisme kelompok yang menerapkan prinsip “dirinya yang paling benar”.
Ketika sudah demikian, maka yang lain di luar mereka itu “salah” dan “ahli
neraka”. Disitulah agama yang jauh dari budaya.
Ketika agama
itu disandingkan dengan budaya, maka ada pemahaman yang lebih luas. Bahwa agama
adalah urusan individu per indivudu sedangkan kumpulan dari orang yang seagama
itu menjadi budaya. Dari kumpulan umat seagama itu perlu dilanjutkan dengan
prinsip kerukunan beragama. Disitulah letak keseimbangan antara beragama dan
berbudaya. Jika beragama dan berbudaya itu berjalan linier, maka dunia ini akan
damai dan aman.
Maraknya
ideologi baru ISIS (Islamic State Irak and Suria) membuat banyak orang
terganggu. Citra Islam yang besar dan tercipta sebagai agama damai, luntur
akibat oknum umat beragama yang menggunakan nama agama demi egoisme politik. Banyak
tokoh muslim yang menyayangkan kenapa ISIS itu hadir dan menjadi musuh dunia.
Yang akhirnya harus menjadikan nama Islam kembali tercoreng. ISIS dengan paham
neo-khawarij ini memang selalu hidup ekslusif yang gampang menganggap yang
berbeda dengan mereka “halal darahnya” dan boleh dibunuh.
Itulah fakta agama
yang dipisahkan dengan budaya. Dimana-mana mereka memakai nama agama, tetapi
tidak mampu memahami cipta, karya dan karsa manusia yang berbeda. Akibat
perbedaan yang tidak mampu dipahami sebagai rahmat Tuhan, maka perang selalu
menjadi solusi. Berarti tren agama perang dan anti dialog ini sudah menjadi
pilihan bagi mereka. Budaya dialog hilang dan kabur dari ruh agama. Itu sebagai
salah satu bukti bahwa radikalisme agama itu sebagai agama anti dialog budaya.
Jika pintu
dialog itu terbuka, maka perang yang menjadi tradisi “perlawanan ideologi”
dengan semangat “jihad” itu tidak mudah terjadi. Justru perang dengan pekik
takbir “Allahu Akbar” bagi mereka menjadi semangat, seakan yang dibunuh adalah
musuh agama.Padahal mereka juga dimusuhi oleh dunia. Ini menjadikan sesuatu
yang sangat aneh. Oleh sebab itu, beragama dengan model ini patut dikoreksi
bersama. Bahwa fanatik dalam agama itu boleh, tapi jika fanatik membabi buta
itu hal yang sangat naif.
Terjadinya pola
perubahan pandangan agama dari sosial menjadi individual ini secara sosiologis
sangat wajar. Sebab kelompok radikal ini selalu hidup dengan sikap tertutup.
Mereka didoktrin sedemikian kuat bahwa “kelompoknya” yang paling benar dan
tidak mengenal toleransi. Berarti perubahan sosial ini akibat perubahan budaya
internal. Dimana yang harusnya mereka bersatu padu dan memahami perbedaan,
tetapi sudah diminta untuk tidak mengenal perbedaan.
Maka disinilah
dibutuhkan semangat baru untuk mencari permasalahan sosial dengan perencanaan
sosial (social planning) yang tepat bagi keberagamaan Indonesia.Pertama,
pemerintah perlu kembali menggalakkan sosialisasi arti agama sebagai pemersatu
masyarakat. Ini dapat dimulai dari kurikulum sekolah hingga perguruan tinggi
dan sosialisasi pada tokoh agama. Jika ada ideologi agama yang radikal,
pemerintah perlu terjun lapangan untuk melakukan pembinaan dan pelarangan.
Kedua, masyarakat
secara aktif hadir sebagai pemeran agama yang pro budaya. Yang dimaksudkan
adalah menjadi umat agama sekaligus warga negara yang mampu memahami gotong royong,
tepo sliro, toleransi dalam garis perbedaan. Perbedaan agama bukan
penghambat untuk menyatukan negeri. Justru dengan fanatisme agama yang lepas
kontrol, nasionalisme Indonesia di bawah bayang-bayang perpecahan.
Ketiga, budaya
berpancasila perlu kembali dibangun dengan baik. Hilangnya penataran P4 (semasa
jaman Orde Baru) nampaknya mulai terasa. Masyarakat desa yang dulu selalu
dijejali materi Pancasila sebelum membuat KTP seakan merasakan betapa
berartinya penataran itu—sebagai sebuah materi inti kerukunan beragama. Bagi
anak muda sekarang sudah tidak mendapatkan penataran itu (hanya dari materi PKn
di Sekolah), maka wajar jika porsi pemahaman Pancasila sangat sedikit.
Dan keempat,
masyarakat perlu lebih dewasa memaknai hakikat agama dan budaya. Jika ini
dilakukan dengan baik, maka bangsa Indonesia akan baik dan tidak mudah diadu
domba dengan mengatasnamakan agama. Tidak ada agama yang memerintahkan umatnya
untuk berkonflik. Semua agama ingin dunia ini damai dan memperbaiki nasib
rakyatnya. Jadi yang dibutuhkan hari ini adalah agama yang mampu berdialog
dengan budaya—bukan agama yang tidak berbudaya.*)
No comments:
Post a Comment