Mencari Islam
original hari ini sama halnya mencari intan berlian di dasar lautan. Islam yang
ada hari ini adalah ijtihad Islam original yang disampaikan oleh Nabi Muhammad.
Namun demikian, bukan berarti Islam yang ada hari ini bukan original. Islam
tetap original sebagai sebuah ajaran suci dan agama yang memberikan pengayoman dunia
dan akhirat. Sedang umatnya melakukan ijtihad mencari originalitas agamanya.
Yang perlu
dibahas dalam paper singkat ini adalah sebuah definisi makro tentang Islam.
Penulis merasa memiliki tanggung jawab untuk ikut memberikan penjelasan
akademik terhadap respon pemikiran Islam. Pendapat “Islam ya Islam” tidak ada
embel-embel, bukanlah salah. Definisi itu adalah sunnatullah. Sebab itu
pendapat yang didasari atas argumentasi yang kuat menurut keyakinannya.
Di sisi lain, pendapat
yang menyebutkan bahwa Islam masih butuh embel-embel. Seperti Islam Nusantara,
Islam Jawa, Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam toleran dan lain-lain.
Pendapat demikian juga punya dasar argumentasi, bahwa embel-embel itu sebagai
pelengkap dan penjelas atas luasnya makna Islam. Sama dengan istilah kopi. Ada
kopi tubruk, kopi item, kopi susu dan kopi-kopi lainnya.
Dalam kajian Islamic
studies(dirasah islamiyyah) selalu dibahas Islam normatif dan Islam
historis. Perbedaan pandangan antara dua pendapat di atas merupakan aplikasi
dari pemahaman dua model kajian Islam itu. Islam normatif hadir memberi jawaban
Islam original, sesuai aturan dan sangat syar’i sehingga Islam ya Islam (tidak
butuh embel-embel). Sedangkan Islam historis adalah realitas Islam yang melalui
perjalanan sejarah, maka lahir istilah Islam Nusantara, Islam Jawa, Islam rahmatan
lil ‘alamin dan lainnya.
Penulis masih
ingat betul ketika mengambil mata kuliah Metodologi Studi Islam di Program
Doktor UIN Walisongo. Mata kuliah yang fantastis ini diajar oleh Prof Dr H
Mujiyono MA, seorang guru besar fiqh lingkungan dan aktivis Muhammadiyah.
Begitu luasnya pemahaman yang membuat penulis tercengang dalam memahami Islam.
Walau pun organisasi Muhammadiyah yang dianutnya, ia tak segan membuka wawasan
terhadap semua ajaran dan keanekaragaman Islam. Sebab itu adalah realitas Islam
di Indonesia.
Satu buku tebal 571 halaman karya Abuddin Nata berjudul Studi Islam Komprhensif tak boleh
lepas untuk dibaca. Abuddin Nata (2011) menyebutkan ada dinamika pemikiran
Islam yang sangat dinamis muncul. Sehingga Islam yang lahir dalam dataran
empiris ada 31 warna-warni, antara lain: Islam normatif, Islam ideologis, Islam
politik, Islam formalistis, Islam dogmatis, Islam ekslusif, Islam tekstualis-literalis,
Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam tradisionalis, Islam historis dan
kultural, Islam rasional dan intelektual.
Warna-warni lainnya adalah: Islam substantif, Islam moderat, Islam
humanis, Islam transformatif, Islam nusantara, Islam dinamis, Islam aktual,
Islam reformis, Islam alternatif, Islam interpretatif, Islam inklusif-pluralis,
Islam modernis, Islam kosmopolitan, Islam esoteris, Islam liberal, Islam
warna-warni, Islamku Islam Anda dan Islam kita, Islam mazhab HMI dan Islam rahmatan lil alamin.
Dengan demikian, cukup tegas bahwa Islam dengan embel-embel bukan “agama”
baru dan bukan “ijtihad baru, melaikan dinamika pemikiran yang berkembang dalam
merespon keberislaman. Alhasil, jika ini yang dimaksudkan, maka melihat Islam
sebagai agama dengan Islam sebagai pemikiran juga terjadi perbedaan.
Islam sebagai agama selalu dilihat dengan kacamata doktrin
ketuhanan. Doktrin ketuhanan ini yang melahirkan kebenaran mutlak. Saking
yakinnya dengan kemutlakan kebenaran dimaksud, semua orang terkadang berubah
wujud menjadi “tuhan-tuhan” kecil yang menyebut ini kebenaran dan itu
kesalahan. Kebenaran manusia (yang disebut kebenaran Tuhan) tadi itu yang
membuat awal dari pintu masuk perbedaan. Oleh sebab itu, Islam normatif
ternyata juga melahirnya persepsi beda dalam sisi agama.
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad telah memberikan orientasi matang di
dalam melihat agama. Bahwa agama adalah keyakinan yang harus didialogkan.
Keyakinan orang terhadap Islam, Allah, Nabi dan Al Qur’an sebagai kitab suci
merupakan tanggung jawab individu.
Dan isi dari ajaran Islam itu kemudian menjadi tanggung jawab
sosial yang perlu didialogkan. Dalam dialog (sebut saja dialog teologi) inilah
lahir fanatisme. Tinggal siapa yang mengajarkan fanatisme ini. Jika yang
melatih fanatis adalah anti dialog, maka lahir ilmu itu. Tapi jika belajar
fanatisme dengan cara dialogis, maka lahir dialog teologi (bukan tukar menukar
teologi/keimanan).
Sebagai pemikiran, Islam tentu saja lahir dengan beragam pola
pikir. Jelas saja, namanya juga pemikiran. Jadi pikiran satu dengan yang
lainnya berbeda-beda. Untuk membuat identitas pemikiran itu, maka muncul
penamaan-penamaan yang ada setelah kata Islam. Apapun namanya, itulah identitas
(entah disebut identitas ideologi, budaya, kelompok atau apapun) yang jelas
untuk membuat orang semakin bermana.
Sebab nama itu sangat penting. Sama halnya, santri ketika belajar
Alfiyyah Ibnu Malik bab ‘alam: Ismun yu’ayyinul musamma muthlaqa, ‘alamuhu
kaja’farin wa hirniqa. Bahwa nama itu hal yang sangat mutlak disandarkan
pada yang diberi nama. Memang agak kaget, ketika Islam yang sebegitu suci kok
kemudian disempitkan dengan identitas sosiologis. Namun akan tidak jadi aneh
kalau kita mau melihat Islam itu adalah Islam empirik, Islam bumi dan Islam
nyata di dunia.
Batasan Islam sebagai pemikiran ini nampaknya tidak bisa dibendung.
Akan lahir ribuan istilah yang tentang Islam. Termasuk ada Islam negeri dan
Islam swasta—sebagai simbolisasi Islam versi negara dan Islam versi sipil.
Maka, dapat diambil benang merah, bahwa keanekaragaman Islam Nusantara
(Indonesia) adalah rahmat Tuhan. Dan ini menjadi bukti, bahwa kajian keislaman
masih sangat menarik untuk didialogkan.
Yang paling penting dipegang adalah, jika mendialogkan Islam
sebagai pemikiran perlu pikiran yang jernih dan tidak boleh emosi. Sebab ini
adalah bagian dari kajian pemikiran yang menggunakan akal—bukan menggonakan okol
(kekuatan emosi dengan pukulan). Akan lebih menarik jika kajian-kajian semacam
ini menghadirkan khazanah-khazanah khas pesantren yang cukup unik dengan
siraman Kyai-Kyai.*)
No comments:
Post a Comment