Terminologi “Islam Nusantara”
akhir-akhir ini menjadi topik hangat yang tidak berhenti didiskusikan. Artinya
bahwa Islam Nusantara tidak hanya sekedar wacana murahan, tetapi sebagai kajian
keilmuan yang sangat berharga. Istilah ini semestinya sudah cukup lama
diperbincangkan di dunia akademik. Dan akhir-akhir mengemuka kembali karena
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 pada 1-5 Agustus 2015 di Jombang mengangkat
tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Setiap kader NU lewat berbagai
majelis nahdliyyin selalu membincang tema besar yang diusung jam’iyyah Islam
terbesar di Indonesia ini. Yang menjadi menarik adalah ketika topik Islam
Nusantara bermula dari kajian akademik masuk ke dunia pesantren dan dunia maya.
Muncullah berbagai tanggapan yang sangat beragam. Justeru dengan respon massif
inilah, Islam Nusantara menjadi sangat menarik dan memikat.
Penulis pernah mengalami
sendiri ketika berjumpa dengan Kyai yang mengajarku sejak kecil. Beliau
bertanya panjang lebar soal Islam Nusantara tapi sudah dengan nada pesimis.
Sebagai santri saya mendengarkan paparan beliau. Giliran akhir pembicaraan
beliau bertanya dan menghentikan pembicaraan. Saya galau, mau menjawab dengan
bahasa dosen pasti “berdosa” karena menggurui Kyai saya. Akhirnya kupakai
bahasa santri dengan kromo inggil kujelaskan pelan-pelan Islam
Nusantara. Dan beliau sangat bisa menerima. Sebab yang didengar sebelumnya
ternyata beda dengan penjelasan saya.
Di dunia maya lebih parah
lagi. Arena diskusi dan komentar bebas bermunculan. Dan pegiat medsos juga
tidak kalah ketinggalan membincang Islam Nusantara. Ada yang positif dan tidak
sedikit pula yang negatif dan nyinyir. Dan sudah bisa ditebak, siapa
saja yang cocok dan tidak cocok. Namun menjadi tidak sehat ketika sudah muncul cibiran-cibiran
khas “debat kusir” yang membuat penulis tidak tertarik lagi dengan diskusi
bebas ala dunia maya. Namun itu menjadi catatan khusus bahwa masyarakat berhak
untuk mengeluarkan ide-idenya.
Ibarat ada produk baru
handphone atau laptop yang baru dipromosikan, disitulah mengundang respon. Dan
disinilah ujian teori pertukaran (exchange theory) sosiologi muncul.
Dimana manusia butuh timbal-balik. Pemodal menjual produk dan pembeli menikmati
produknya. Pemodal untung dan pembeli berharap untung. Jika pembeli tidak
merasa nyaman dengan produknya, maka ia akan merespon negatif. Sikap negatif
ini jika disebarluaskan akan mengundang “cemooh” dan berharap ada
“kebangkrutan” (bagi yang tidak suka produk itu).
Namun penulis meyakini, bahwa
model timbal-balik dalam menggugah kembali gagasan Islam Liberal tidak berlaku
demikian. Sebab ini merupakan sumbangsih NU dalam membangun Indonesia yang
mengenang kembali sejarah Nusantara dan memberi kontribusi pada dunia Islam
yang akhir-akhir ini selalu berkonflik. Sehingga, NU tidak menggunakan kapital
yang bersifat materialistis. Dan NU mencoba memberikan jawaban terhadap makna
gap mikro-makro yang selama ini terjadi. Sehingga bangunan pertukaran sosial
ini tidak hanya diharapkan untuk internal NU, namun lebih meluas untuk bangsa
Indonesia dan dunia.
Bukan Agama Baru
Istilah Islam Nusantara
secara epistemologis sudah tidak perlu dibahas dalam tulisan ini. Sebab sudah
terlalu banyak kupasan tentang Islam Nusantara. Yang perlu dipertegas adalah
Islam Nusantara bukan ideologi baru, bukan pula “agama” baru dan bukan
reinkarnasi Jaringan Islam Liberal (JIL). Terlalu murah rasanya, organisasi sebesar
NU memberikan label Muktamar dengan tema Islam Nusantara hanya untuk pentas
ideologi kiri.
Dan masyarakat sudah bisa
menilai secara nyata kontribusi NU secara kelembagaan maupun individu warganya.
NU sebagai jam’iyyah sejak lahirnya tahun 1926 meneguhkan sebagai lembaga
agama, pendidikan, dakwah dan ekonomi yang menegaskan Pancasila sebagai dasar
negara. Artinya bahwa bagi NU, NKRI harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Wajar saja, warga nahdliyyin memiliki tanggung jawab untuk merukunkan kembali
bangsa Indonesia yang kian hari mulai diintrik untuk pecah. Dan anehnya lagi,
perpecahan itu dipicu dari internal agama Islam.
Menjawab kekhawatiran itu, NU
hadir memberikan jawaban dengan langgam Islam Nusantara. Dan rasa-rasanya,
istilah Nusantara sendiri mulai diiris menjadi simplifikasi sebagai istilah
murni budaya yang terpisah dari agama, hingga muncul tudingan bid’ah.
Itu yang menjadi aneh. Ketika Islam Nusantara dijadikan sebagai label warna
pemikiran NU dari sisi kebangsaan, justeru ditarik menjadi mainstream agama
(baca: syari’ah). Disinilah yang menjadikan distorsi epistemologis dan perlu
diluruskan dengan baik. Soal setuju atau tidak setuju dengan istilah Islam
Nusantara, itu menjadi hak penikmat ilmu. Tapi bagi warga nahdliyyin, inilah
jawaban kebangsaan yang dihadirkan di tengah arena Muktamar NU.
Pesan Mbah Hasyim
Penulis menjadi teringat
dengan Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang
ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari yang diterjemahkan oleh KH Mustofa Bisri
Rembang. Ada 35 petikan ayat yang disampaikan Kyai Hasyim. Kemudian dijelaskan:
“Sesungguhnya pertemuan dan saling mengenal, persatuan dan kekompakan merupakan
hal yang tidak seorang pun mengetahui manfaatnya. Betapa tidak, Rasulullah
sudah bersabda yang artinya: Tangan Allah SWT bersama jama’ah. Apabila diantara
jama’ah ada yang mengucilkan sendiri, maka setan pun akan menerkamnya seperti
halnya serigala merekam kambing”.
Pesan Kyai Hasyim ini
meneguhkan bahwa NU adalah jama’ah sekaligus jam’iyyah yang
sangat cinta persatuan. Sangat tidak salah jika makna persatuan bangsa
Indonesia dan dunia kemudian diderifasi dengan kalimat singkat dengan Islam
Nusantara. Untuk lebih meyakinkan arti jatidiri Islam Nusantara ini, perlu
dipahami dari empat sisi yang harus utuh dipegang—tidak boleh dipisah-pisahkan.
Pertama, Indonesia memiliki sejarah panjang yang lekat
dengan perjuangan tokoh-tokoh Nusantara (nama populer sebelum Indonesia). Jadi
kalau istilah Islam disambungkan dengan istilah Nusantara menjadi Islam
Nusantara adalah Islam lokal yang menyejarah: mengenang, mengenal dan
menghormati sejarah.
Kedua, Islam Nusantara menjadi karakteristik
kehidupan agama Islam di Indonesia yang meneguhkan tradisi, budaya yang tidak
terpisah dari substansi agama. Jadi model Islam bersyari’ah (bermadzhab) yang
sangat peduli terhadap kondisi sosial, budaya dan perkembangan masyarakat—agar
agama Islam tetap mengakar menjadi kebutuhan teologis dan mampu bersanding
hidup dengan masyarakat yang beda dengan Islam.
Ketiga, Islam Nusantara adalah identitas Islam damai
dan moderat. Damai sebagai aktualisasi agama Islam yang bermakna agama
keselamatan dan kedamaian yang disebarkan melalui cara dakwah penuh senyuman.
Dan Islam moderat sebagai bentuk pelaksanaan teknis beragama di tengah
masyarakat Indonesia yang memang beragam agama, suku, ras dan golongan dengan
bingkai negara Pancasila.
Dan keempat, Islam
Nusantara sebagai ilmu pengetahuan. Di titik inilah yang perlu ditegaskan bahwa
ilmu pengetahuan yang dibangun dari Islam Nusantara ini tidak akan selesai
dikupas tuntas. Masih banyak lobang-lobang ilmu yang bisa dikupas. Wajar sekali
jika Azyumardi Azra sebagai penggagas Islam Nusantara (versi ilmu pengetahuan)
menunjukkan stimulus global dan lokal. Oleh sebab itu, marilah bersama
diskusikan Islam Nusantara tanpa ada lelahnya. Selamat berdiskusi.*)
No comments:
Post a Comment