M. Rikza Chamami
Dosen UIN Walisongo,
Peneliti Kaukus Kebangsaan dan Sekretaris Lakpesdam NU
Salah
satu agenda Dies Natalis 47 Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang adalah
Rahim Bangsa—sebuah forum berkumpulnya para profesor, akademisi, tokoh lintas
agama dan masyarakat untuk membincang Indonesia. Sangat luar biasa sekali
gagasan para dosen muda UIN Walisongo untuk memikirkan bangsa ini agar menjadi
lebih kuat dan bermartabat.
Bangsa
Indonesia yang kini memiliki visi revolusi mental memang butuh banyak
sumbangsih pemikiran. Bukti cinta kasih bangsa pada negeri ini, salah satunya
adalah dengan berjumpa dan bertukar pikiran. Maka gagasan-gagasan kebangsaan
yang masih berupa puzzle, perlu disatukan rapi.
Dalam
mendiskusikan dan memikirkan Indonesia, juga perlu kembali mengenal tokoh-tokoh
pendahulu. Salah satunya adalah Walisongo. Semangat Walisongo dalam menjaga
keragaman untuk Nusantara perlu dijadikan renungan bersama. Maka wajar, jika
para akademisi UIN Walisongo, ingin mengembalikan nilai dasar kenusantaraan ini
untuk Indonesia.
Tulisan
guru saya, Prof Dr H Ahmad Rofiq MAg dengan judul “Menggagas Rahim Bangsa”
(Suara Merdeka, 13/3/2017) patut untuk diapreseasi. Bagaimana mimpi besar melanjutkan
misi profetik dalam membangun kemanusiaan dan peradaban akan disambut dengan
lima syarat: menyiram nilai kebangsaan, dialog-rekonsiliasi yang jujur-terbuka,
menyadarkan mimpi negara khilafah, regulasi dan penegakan hukum.
Menjadikan
Indonesia sebagai negara bangsa memang menjadi sebuah tantangan tersendiri. Apalagi
dengan pola demokrasi, negara bangsa ibarat intan berlian yang rentan menjadi
rebutan. Harga mahal negara bangsa ini akan laku, jika intan berlian menjadi
komoditas layak jual dengan kualitas super. Lain halnya jika komoditas itu
sudah menjadi kelas KW. Oleh sebab itu, perlu sekali merawat rahim bangsa agar
tetap terjaga produktif melahirkan anak bangsa yang cinta bangsanya.
Dalam
pelajaran santri pondok, diajarkan hubbul wathan minal iman; cinta tanah
air sebagian daripada iman. KH Raden Asnawi mencipta “Shalawat Asnawiyyah” yang
berisi do’a kebangsaan. Begitu pula KH Abdul Wahab Chasbullah juga menciptakan
syair cinta bangsa dengan judul “Ya Lal Wathan”. Yang tidak boleh kita lupakan,
Walisongo juga sudah sejak awal berpesan tentang cinta tanah air.
Tugas
merawat rahim bangsa ini bertujuan untuk menjaga stabilitas nasional dan
internasional. Termasuk sebagai usaha sadar dalam melakukan reproduksi generasi
bangsa yang loyal terhadap tugas kemanusiaan dan peradaban. Apalagi dalam
kondisi mengejar mimpi Indonesia sebagai bangsa besar di tengah persaingan
global ini, merawat rahim bangsa menjadi sangat penting.
Ingat Pancasila
Substansi
rahim bangsa ini tidak akan dapat dilepaskan dari prinsip dasar berindonesia
dan berpancasila. Berindonesia sama dengan memahami hakikat hidup hingga mati di
Indonesia dengan mengenal bahwa Indonesia itu negara bangsa—bukan negara agama.
Jika mengenal Indonesia sebagai negara bangsa, artinya bahwa bernegara itu
murni bermasyarakat. Sedangkan agama sebagai keyakinan pribadi untuk bermasyarakat.
Sedangkan
berpancasila merupakan dasar yuridis aplikatif dalam melihat fakta perbedaan. Bahwa
Indonesia itu diciptakan dengan ragam pandangan suku, ras, agama, bahasa dan
lainnya. Maka menjaga berpedaan dengan menyamakan pandangan untuk tetap
berindonesia itu dengan Pancasila. Yang dipegang adalah ajaran bhinneka tunggal
ika; berbeda-beda tetapi tetap satu juga.
Substansi
dari hidup dengan Pancasila adalah dengan damai dan toleran. Pada titik belajar
berindonesia dan berpancasila ini, kita perlu belajar dari sosok Walisongo,
pimpinan agama dan politik tanah Jawa. Secara
praktis, bahwa ajaran-ajaran yang ditinggalkan oleh Walisongo juga menunjukkan
cara hidup secara damai dan toleran.
Bahkan
dengan umat agama lain, Islam yang ditinggalkan Walisongo dicatat sangat
menghargai perbedaan agama. Hal ini dipengaruhi masih ada kekerabatan antara
Sriwijaya dan Majapahit dengan Demak. Sultan Demak adalah anak kandung Raja
Majapahit dan Sunan Ampel adalah keponakan Ratu Majapahit, Dwarawati. Maka
sikap para Walisongo yang sangat toleran soal perbedaan agama sudah ditunjukkan
sejak abad XV.
Ajaran ketuhanan
yang Maha Esa dijalankan oleh Walisongo dengan menguatkan hidup beragama secara
universal. Islam yang dipeluk oleh Walisongo tidak kaku, tapi dapat menyatu
dengan kearifan lokal. Maka Sunan Ampel mengajarkan moh limo: moh main (tidak
berjudi), moh ngombe (tidak mabuk), moh maling (tidak mencuri), moh
madat (tidak menghisap candu/ganja), moh madon (tidak berzina).
Ajaran ini menguatkan nilai agama secara universal. Termasuk Walisongo seperti
Sunan Kudus mengajarkan menghormati umat Hindu dengan cara melarang menyembelih
sapi.
Ajaran
Sunan Drajat yang ditinggalkan juga sangat menginspirasi hidup berpancasila: menehono
teken marang wong wutho (memberi tongkat pada orang buta), menehono
mangan marang wong kang luwe (memberi makan orang yang kelaparan), menehono
busono marang wong kang wudo (memberikan pakaian pada orang yang telanjang)
dan menehono ngiyup marang wong kang kudanan (memberikan tempat berteduh
pada orang yang kehujanan).
Dalam
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, Sunan Ampel sangat konsisten
mengawalnya. Ketika Raden Patah meminta restu menyerang Majapahit, maka Sunan
Ampel tegas melarangnya. Karena persatuan dan kesatuan itu penting. Tapi jika
marwah kerajaan diganggu, maka bela negara itu penting sebagaimana yang
dilakukan Adipati Unus menyerang Portugis di Melaka.
Jalur
musyawarah secara demokratis juga ditunjukkan oleh Walisongo saat membentuk
Dewan Wali dan Kerajaan Demak. Semua Walisongo berkumpul untuk musyarawarah
menentukan Raja, membangun masjid dan menentukan seni wayang sebagai media
dakwah. Termasuk konsistensi Walisongo dalam menegakkan keadilan dapat dilihat
dalam sidang Syaikh Siti Jenar.
Intinya
bahwa ajaran Walisongo sangat tepat dijalankan inspirasi dalam memperkuat nilai
Pancasila yang kian hari mulai pudar. Walisongo mengajarkan cara berislam
dengan visi perdamaian, bukan Islam yang bermusuhan. Walisongo melatih hidup
berterus terang, bukan hidup berperang.
Berkiblat
pada doktrin Walisongo ini, maka sudah waktunya Indonesia ini kembali merawat
rahim kebangsaan. Sebab bangsa ini sangat butuh kita, bukan butuh saya dan
individu yang tidak bersatu padu.*)