MEMBENDUNG AKSI BRUTAL PELAJAR

Maraknya kasus brutal yang dilakukan oleh para pelajar sungguh membuat dunia pendidikan tercoreng. Pelajar yang harusnya berperilaku ilmiah, santun dan kreatif justru membuat ulah hingga membunuh. Berita yang dimuat Koran Jateng Ekspres (31/3/2015) dengan judul: “8 Orang Ditangkap Polisi: Pengkeroyokan Anak SMK Tewas Bersimbah Darah di Jl. Soekarno Hatta” menjadi catatan kelam bagi pelaku pendidikan.
Butuh evaluasi menyeluruh tentang perilaku para pelajar yang sudah berani terlibat aksi brutal hingga mengorbankan nyawa. Kejadian semacam ini memang “kecelakaan pendidikan” yang tidak bisa digeneralisir bahwa pendidikan gagal mendidik siswanya. Tetapi bahwa terjadinya fakta ini membutuhkan solusi agar kejadian serupa tidak kembali terulang. Guru, orang tua, masyarakat dan pelajar memang bagian yang terpenting untuk disatukan visinya.
Ketika sekolah sudah mendidik dengan baik, namun keluarga tidak memberikan ajaran yang baik, maka pelajar akan menyimpang. Begitu pula sekolah dan orang tua sudah mendidik yang baik, tapi pelajar berkumpul dengan kelompok masyarakat yang tidak baik, maka pelajar juga bisa menyimpang. Maka dibutuhkan lembaga monitoring permanen tentang sikap pelajar ini.
Sebab selama ini, kebanyakan pembinaan mental dan moral kepada siswa dilakukan setelah terjadi kasus. Harusnya sejak awal sekolah tahu dimana letak kelemahan mental siswa, sekolah lewat guru BK melakukan pembinaan secara intensif. Dengan pembinaan ini, akan meminimalisir tindakan menyimpang oleh para pelajar.
Jika kita lihat secara teknis, bahwa sekolah memang lebih banyak porsinya memberikan materi pelajaran formal yang terkait dengan bidang yang diujikan. Pembentukan karakter siswa lebih mendapatkan porsi yang sedikit. Bahkan kurikulum 2013 yang katanya berkarakter—ternyata masih gagal dalam membentuk mental sehat pelajar yang cerdas dan berbudi mulia.
WS Winkel seorang pakar psikologi pendidikan mengklasifikasikan bentuk belajar siswa di sekolah yang mempunyai empat pola: belajar teoritis, belajar teknis, belajar bermasyarakat dan belajar astetis. Dari sinilah lembaga pendidikan membentuk mental para pelajarnya. Yang patut dikritisi adalah soal belajar teoritis yang sangat dominan. Pelajar akan terjebak pada pola pikir kogninif saja untuk mengejar nilai ujian dan penyelesaian tugas-tugas sekolah.
Sekolah jarang sekali memberikan pola belajar teknis yang mampu membekali pelajar untuk paham secara detail keilmuannya itu. Termasuk belajar bermasyarakat juga masih jarang dilakukan. Pendidikan masih menjadi menara gading yang ilmunya mengawang-awang dan belum terasa manfaatnya bagi masyarakat. Maka sekolah perlu sekali mendekatkan para pelajarnya dengan masyarakat berbekal ilmu-ilmunya dari guru. Pola belajar estetis juga sangat penting dalam rangka membentuk jiwa seni pelajar.
Dalam rangka mengawal ini semua, sekolah juga diharapkan mampu untuk mengoptimalkan pendidikan agama sebaga dasar pembentukan mental pelajar. Tidak benar jika ada sekolah yang mengurangi porsi pendidikan agama demi untuk mengejar materi pelajaran untuk Ujian Nasional (UN). Pendidikan agama juga diajarkan dengan model pembelajaran partisipatif. Artinya antara materi ajar agama dengan praktik beragama berjalan secara seimbang.
Termasuk guru agama juga tidak hanya mengajar di kelas, tetapi turut serta mengawal perilaku anak (akhlak) baik di dalam kelas atau di luar kelas. Guru agama juga sangat membutuhkan bantuan pembinaan pelajar dari guru BK, guru PKn dan Kepala Sekolah. Jadi alangkah baiknya jika sekolah menyediakan ruangan khusus bagi guru agama yang disebut sebagai “Bengkel Agama”—untuk melatih kekhusyukan beragama.
Dengan usaha ini, pelajar yang ditengarahi “nakal” akan ditata dan dididik dengan pendekatan agama. Usaha ini dipacu dalam rangka menjadikan pendidikan sebagai lembaga suci yang membekali pelajar dengan ilmu, amal dan perkembangan teknologi agar bermental baik dan cerdas.

Sekolah akan selalu disalahkan jika ada pelajarnya yang “brutal”. Untuk itulah sekolah berkewajiban untuk selalu turut serta dalam mewujudkan generasi bangsa yang berakhlak mulia, santun, cerdas dan bermanfaat di tengah masyarakat. Ini waktu yang tepat untuk merajut kembali komunikasi sekolah, orang tua, pelajar dan masyarakat dalam membendung pelajar brutal—yang merugikan nama baik dunia pendidikan.*)

No comments:

Post a Comment

@mrikzachamami