M. Rikza Chamami
Dosen UIN Walisongo dan Peneliti Aliansi Kebangsaan
Benedict
Anderson membuat catatan menarik dalam karyanya Imagined Communities:
“Itulah contoh watak nasionalisme resmi yang jelas—strategi antisipatif yang
diadopsi oleh kelompok-kelompok dominan yang merasa terancam oleh pinggiran
(marginalisasi) atau pengucilan (ekslusi) dari komunitas kebangsaan imajiner
yang baru”.
Catatan ini
menjadi sindiran, bahwa setiap bangsa memastikan dirinya memiliki kelas sosial.
Dari kelas sosial inilah lahir kesenjangan-kesenjangan yang mampu melahirkan
konflik. Maka model gerakan nasionalisme itu menjadikan tali perekat dari
problem kesenjangan dimaksud. Nasionalisme ingin mencoba merapatkan keberbedaan
yang ada. Dimana hakikat dari nasionalisme berusaha mempersatukan perbedaan.
Untuk
menyatukannya tentu membutuhkan ikatan kuat. Dalam bahasa janji penduduk
Indonesia diikrarkanlah komitmen: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa:
Indonesia. Semua penduduk Indonesia merasakan bersama-sama lelah dan pedih saat
dijajah. Sama-sama merasakan bahagia di saat merdeka. Dan kini, kemerdekaan
yang telah berusia tujuh puluh tahun dinikmati secara bersama-sama.
Yang patut
dikhawatirkan hari ini adalah penduduk Indonesia. Kenapa? Masihkah ratusan juta
penduduknya memiliki nasionalisme? Sebuah pertanyaan yang patut untuk dijawab
bersama. Ada anggapan bahwa nasionalisme penduduk Indonesia mulai luntur. Kok
bisa? Bisa, karena semakin banyak muncul teroris dan menjamurnya aliran
radikal. Sebab terorisme dan radikalisme lahir karena hilangnya nasionalisme.
Namun tidak
perlu ragu. Di sisi lain, masih banyak penduduk Indonesia yang masih kuat
memegang janji nasionalismenya. Oleh sebab itu, musuh bangsa yang berasal dari
dalam negeri perlu disadarkan kembali. Ruh nasionalisme perlu kembali
dibangkitkan. Rasa cinta bangsa juga perlu digugah. Sehingga semangat memiliki
Indonesia dan menjadikannya maju selalu berkobar.
Menjaga Diri
Hilangnya
nasionalisme karena jiwa kebangsaan mengalami gangguan. Maka gangguan-ganguan
itu perlu disadarkan. Disinilah butuh kesadaran berkebangsaan. Ada pesan indah
dari Syaikh Mushtofa Alghulayaini dalam kitab Idzatun Nasyi’in: “Rasa
kebangsaan yang sejati adalah suka untuk memperbaiki negara, berusaha untuk
melayaninya. Orang yang paling besar rasa kebangsaannya adalah orang yang
bersedia mati untuk mensejahterakan negaranya dan bersedia sakit untuk
menyehatkan umatnya”.
Sungguh luar
biasa. Itulah yang dimaksud dengan jatidiri bangsa yang sejati. Lalu bagaimana
membangun nasionalisme di masa sekarang? Yang jelas, Indonesia memiliki Pancasila.
Itulah yang perlu dijaga dan dilestarikan. Bahwa Pancasila selalu menjadi ruh
kehidupan berbangsa yang terpatri secara mendalam. Tentunya Pancasila yang
memiliki keberpihakan kepada semua warga. Bukan Pancasila yang diterjemahkan
untuk kepentingan koorporasi.
Jika ditarik
dari pesan Syaikh Mushtofa di atas, maka ada pesan 4M yang perlu dijalankan
dalam mempertegas nasionalisme: memperbaiki, melayani, mensejahterakan dan
menyehatkan. Bahwa bangsa Indonesia yang besar ini tidak mungkin bisa
dipersatukan jika pemerintah tidak tuntas menggarap 4M ini. Berikut pula,
pemerintah tidak mungkin berjalan sendiri bersama aparatnya, namun haru
melibatkan masyarakat.
Maka pada titik
inilah sinergi pemerintah dan rakyat menjadi sangat penting. Tiga pokok dalam
unsur negara harus selalu diperhatikan: penduduk (rakyat), wilayah dan
pemerintah. Di sisi lain rakyat memiliki kewenangan, namun negara dalam konteks
normatif juga memerankan tiga sifat: memaksa, monopoli dan mencakup semua (all
encompassing, all embracing). Oleh karenanya, rakyat perlu berperan aktif
mejaga komunikasi baik. Dan pemerintah tidak seenaknya sendiri dalam menjalankan
fungsi 4M.
Kegagalan
mempertahankan nasionalisme di negeri ini dipengaruhi kuat oleh deideologisasi
Pancasila dan radikalisme agama. Dua hal ini yang menjadikan suasana persatuan
dan kesatuan bangsa mengalami gesekan. Dibutuhkan solusi jitu dalam mencairkan
suasana harmoni keindonesiaan yang akhir-akhir ini mengalami titik sumbatan
kronis.
Deideologisasi
Pancasila sengaja dilakukan oleh oknum warga yang tidak sepakat dengan prinsip
hidup bernegara secara heterogen. Padahal ini menjadi ancaman serius. Ketika
Indonesia sudah tidak lagi yakin dengan hidup berpancasila, ini sama dengan
ingin Indonesia pecah. Maka gerakan semacam ini perlu segara diantisipasi.
Adanya kelompok
yang tidak mau menghormat bendera dan tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya
sudah nyata di depan mata. Sudah saatnya pemerintah hadir untuk melakukan
pembinaan. Dengan siapa? Pemerintah tidak bisa sendirian menghadapinya. Haru
bersama-sama dengan warga negara yang memiliki komitmen kuat terhadap hidup
berbangsa dengan Pancasila.
Masalah
radikalisme agama juga menjadi tantangan serius bagi Indonesia. Selama
pemahaman agama dijadikan pilihan untuk menyalahkan agama lain, maka disitu
awal dari konflik. Dan konflik agama dalam hidup berindonesia selalu berbuntut
panjang. Maka komitmen untuk menjadi kerukunan agama, turut serta mempengaruhi nalar
kebangsaan kita semua.
Atas dasar
meneguhkan jati diri bangsa Indonesia yang memegang teguh Undang-undang Dasar
1945 dan Pancasila, maka agama dijadikan pemersatu bangsa. Caranya? Mengajak
pada semua tokoh-tokoh agama untuk mengajarkan agama yang damai dan penuh cinta
kasih. Negara bersama dengan warga negara melakukan giat aktif penyebaran
penanaman cinta agama dan cinta bangsa.
Dengan model
cinta agama dan cinta bangsa ini, bangunan nasionalisme akan berjalan secara
baik. Usaha semacam ini juga tidak akan sukses tergarap dengan baik tanpa
adanya kerjasama yang kuat. Sebab bangsa Indonesia dengan potensi perbedaan
yang sangat besar ini butuh kerjasama yang kuat. Kemungkinan-kemungkinan adanya
kesepakatan jahat merusak kesatuan Indonesia perlu dihadapi secara tegas dan
penuh kearifan.
Yang jelas
bahwa menjaga nasionalisme adalah amanat. Amanat yang tidak sepele, tetap
amanat mulia yang sangat berat. Maka semuanya harus bersatu padu: negeri sudah
tua, maka harus dijaga dengan penuh cinta kasih.*)
Dimuat Surat Kabar Mahasiswa AMANAT UIN Walisongo
Edisi 127/Desember 2016 halaman 19