M. Rikza Chamami
Suasana dalam negeri Indonesia dinyatakan sedang mengalami tensi
tinggi. Ini tidak mengagetkan. Sebab tanggal 15 Pebruari 2017, negeri ini
sedang menggelar hajat nasional berupa Pilkada serentak di 101 daerah (7 provinsi, 18
kota dan 76 kabupaten).
Salah satu
daerah yang menggelar Pilkada adalah Provinsi DKI Jakarta. Inilah yang menjadi
menarik banyak perhatian publik. Hampir saja 100 daerah lainnya tidak banyak
mendapatkan sorotan, karena geger-gember negeri ini terpusat di Jakarta. Bahkan
disebutkan, bahwa Pilgub DKI serasa Pilpres. Kenapa? Karena aktor yang bermain
sudah level nasional dan Jakarta sebagai pusat kekuasaan.
Keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) dalam Pilkada selalu menjadi daya
tarik. Sebab NU yang dulunya pernah menjadi partai politik (kini sebagai
organisasi keagamaan non-parpol) selalu memberi harapan. Oleh sebab itu, NU
selalu menjadi idola para kandidat yang sedang berkontestasi dalam Pilkada.
Walaupun NU sudah tegas menerapkan khittahnya, masih saja keberadaan
NU selalu dicari. Dukungan dari NU selalu dinantikan oleh para kandidat Kepala
Daerah hingga Presiden. Problem khittah itulah yang memang menghalangi NU untuk
berpolitik praktis. Sehingga slogan: “NU tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana”
masih sering terdengar.
Secara kelembagaan, NU memang memilih tidak berpolitik praktis. Namun
bagi warga NU tetap dihimbau untuk tidak menjadi golput. Artinya, warga NU
tetap berpolitik. Soal pilihan partai politik bagi warga NU, memang bebas. Namun
ada partai yang resmi dibidani kelahirannya oleh PBNU, yakni PKB (Partai
Kebangkitan Bangsa).
Keberadaan PKB dan NU memang selalu menjadi perbincangan. PKB
merasa partai ini sebagai wadah aspirasi suara politik warga NU. Sementara,
bagi warga NU yang tidak berafiliasi di PKB selalu menyampaikan pentingnya
khittah, agar warga NU dibebaskan berpolitik.
Dalam konteks keorganisasian memang tepat bahwa lembaga NU harus
netral dan tidak berpolitik. Dan ini yang akan membuat marwah NU makin kuat dan
dapat mengayomi semua warganya—yang memang ada dimana-mana. Makna khittah dalam
konteks ini ingin menjaga nama besar jam’iyyah dan jama’ah agar tetap utuh.
Begitu pula, PKB sebagai partai warga NU juga diminta untuk kreatif
melakukan lobi-lobi konstituen agar bersinergi dengan semua lapisan bawah warga
NU. Sehingga bendera besar NU, tanpa dibawa pun akan tetap jalan, karena orang
memahami ruh pendirian partai ini.
Yang menjadi problem selama ini adalah jika ditemujumpai dukungan
tokoh NU dan PKB itu tidak sama. Maka yang terkesan bahwa NU pecah. Ini yang
selalu salah dimaknai oleh masyarakat. Perbedaan pilihan dalam Pilkada adalah
realitas politik yang harus dipahami secara dewasa.
Dan itulah hakikat dari khittah NU. Jika khittah tidak dipahami
secara utuh, maka pilihan politik akan dimaknai sebagai pilihan ideologi. Oleh sebab
itu, jangan sampai hanya dengan Pilkada yang hanya lima menit pencoblosannya,
ukhuwah warga nahdliyyin menjadi pudar.
Ini menegaskan kembali bahwa, organisasi para Kyai dan Santri ini
selalu menjadi idola bagi pesta demokrasi. Sebab NU dan warganya selalu memberi
jaminan keamanan dan kedamaikan bagi Indonesia. Warga NU selalu ikut fatwa Kyai
dengan menjaga NKRI dan Pancasila.
Bersatulah tunas-tunas NU. Bersemilah tunas-tunas NU. Bersamalah
menjaga negeri. Beda itu biasa, yang penting Indonesia jaya dengan ahlussunnah
wal jama’ah an-Nahdliyyah.*)