(Tanggapan Tulisan Gunawan Wicaksana SM 23/2/2007)
Oleh: M Rikza Chamami MSi
Tulisan saudara Gunawan Wicaksana (GW) SM, 23/2/2007)sungguh meyakinkan atas "kemandulan" kerja KPI. Bahkan secara tegas GW "meremehkan" eksistensi KPI seputar ketidakpunyaan metodologi penelitian, sehingga tidak berani mempublikasikan hasil penelitiannya. Lebih dari itu, GW juga sangat pesimistis terhadap proses judicial review atas PP penyiaran yang diajukan KPI berhasil.
Kritisisme gaya GW terhadap KPI bukan hal yang baru. Jauh sebelumnya, artikel kritis yang hampir sama juga telah ia kemukakan di berbagai media. Namun, penilaiannya terhadap KPI cenderung subyektif—dan asal-asalan. Realitas KPI yang dilihat hanya sepotong-potong—tanpa dasar objektif di lapangan. Sehingga muncullah kesan bahwa KPI hanya sekedar lembaga formal yang tak punya kerjaan.
Lahirnya KPI berdasar amanat UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan simbol demokrasi. Karena pengaturan regulasi penyiaran tidak tersentral lagi dilakukan oleh Pemerintah. Sebagai lembaga baru, tentunya KPI butuh waktu untuk menata diri dan mencari bentuk ideal kinerjanya. Ibarat anak baru belajar berjalan, orang lain meminta anak tersebut berlari kencang. Yang terjadi justru anak itu akan terjatuh.
Harapan terhadap keberperanan serius KPI ke depan ada pada 9 anggota baru KPI. Dimana tanggal 8 Pebruari 2007 kemarin, Komisi I DPR RI telah memutuskan 9 anggota KPI Pusat periode 2007-2010. Hasil itu disahkan lewat Pleno DPR tertanggal 27 Pebruari 2007.
Sembilan anggota KPI yang terpilih, terdiri dari 4 akademisi, 2 ormas/LSM, dan 3 praktisi. Jika dilihat dari kapasitas personal, rata-rata mempunyai kemampuan dalam pengaturan dan pengawasan penyiaran. Sehingga ada secercah harapan kemajuan KPI dibandingkan sebelumnya.
Dalam proses fit and proper test pemilihan anggota KPI kemarin (kebetulan penulis ikut menyaksikan), satu catatan besar yang sangat penting adalah tentang pembumian kerja KPI. Hampir rata-rata anggota dewan menginginkan KPI dekat dengan masyarakat. Karena masih ada sebagian masyarakat yang belum mengenal KPI—jika dibandingkan dengan KPU, KPK dan KNKT.
Maka PR besar KPI mendatang adalah membumikan perannya di tengah kepentingan masyarakat. Peran dan fungsi KPI tentunya tidak lepas dari pemberdayaan, pembinaan, pengawasan dan penindakan pelanggaran penyiaran. Dimana peran ini sangat tidak mudah. Karena KPI harus berhadapan dengan kepentingan bisnis industri penyiaran yang sudah menjadi raja-raja kecil di Nusantara.
Bagi industri, KPI dianggap monster galak yang selalu mengganggu kreatifitas seni penyiaran. Begitu pula Pemerintah (dalam hal ini Menkominfo) beranggapan bahwa KPI semacam "anak nakal". Klaim dan anggapan itu seharusnya sudah tidak ada lagi, kalau masing-masing lembaga memahami kewajiban dan hak-hak kelembagaan.
Hak kelembagaan yang dimaksud adalah, KPI berdiri kokoh atas tanggungjawabnya melindungi kenyamanan publik dalam mendapatkan informasi. Industri menyajikan informasi dan hiburan untuk masyarakat dengan patuh pada perundang-undangan. Dan Pemerintah mensuport berlangsungnya demokrasi penyiaran dengan kebebasan media berdasar UU-nya.
Untuk mendukungnya, maka yang ideal untuk dilakukan KPI adalah menjalin kemitraan dengan semua unsur masyarakat, termasuk dengan pemerintah dan industri. Kemitraan dengan pemerintah dan industri bukan berarti "persekongkolan". Tetapi lebih pada pembinaan komunikasi dan share tugas. Jangan sampai ada sindiran "sekumpulan ahli komunikasi tetapi tidak bisa berkomunikasi" muncul kembali.
Dalam posisi kemitraan inilah KPI dengan mudah melakukan pembumian terhadap kinerjanya. Yang paling utama dijalankan KPI tetap pada "pembelaan kenyamanan publik". Kalaupun KPI harus menegur atau bahkan menghentikan siaran (stelah dinyatakan melanggar peraturan), maka industri akan menerima dengan legowo. Jadi KPI tetap berkonsentrasi pada tugas utamanya, tidak hanya fokus pada "perseteruan" dengan pemerintah.
Dalam melakukan jalinan kemitraan ini tentunya muncul praduga, terutama bagi kalangan yang "anti-pemerintah". Bagi mereka, KPI harus independen dan jauh dari intervensi pemerintah. Padahal KPI berdiri, disahkan dan digaji oleh pemerintah. Bagaimana model independensinya?
Yang dimaksud dengan independen dalam konteks ini adalah KPI bukan alat (tangan panjang) pemerintah. Tetapi KPI berdiri dengan hak kemandirian regulasinya. Dan posisi pemerintah jauh di luar keputusan KPI. Semua keputusan KPI juga tidak dikonsultasikan pemerintah, tetapi murni dari hasil pleno. Jadi independensinya terfokus pada amar putusan dan peranan.
Model Pembumian
Mengenalkan dan mendekatkan KPI sudah diproses tiga tahun silam. Namun membumikan KPI masih patut untuk menjadi perhatian KPI yang baru. Karena pembumian peran KPI ini akan lebih dirasakan secara langsung oleh kalangan masyarakat. Terutama kaitannya dengan jaminan memperoleh penyiaran yang sehat.
Model pembumian peran KPI dapat dilakukan dengan tiga hal. Pertama, KPI menjalin hubungan erat dengan seluruh elemen masyarakat, baik PT, LSM, Ormas, OKP, OSIS, BEM/Senat, Asosiasi Profesional, Organisasi Keagamaan dan lain-lain. Hubungan dengan berbagai elemen ini tidak hanya sekedar formalitas, tetapi dikongkritkan dengan share program. KPI harus selalu merespon persoalan penyiaran yang aktual dan mengajak elemen-elemen ini untuk berinisiatif membuat program. Tentunya program dengan unsur masyarakat ini lebih pada titik media literacy.
Kedua, KPI perlu sekali untuk open house. Artinya lembaga ini selalu membuka ruang publik untuk menyampaikan pengaduan seputar penyiaran. Ruang publik dapat digelar lewat seminar, membuka space "Konsultasi Penyiaran" di media massa, dan pengaduan lewat situs KPI/surat menyurat.
Ketiga, aktif mempublikasikan kegiatan KPI di media massa. Karena masyarakat banyak tahu KPI lewat media. Kalau media enggan mempublikasikan peran KPI, maka sangat mustahil KPI bisa membumi. Satu hal yang pernah dialami KPI saat menentang PP penyiaran adalah "dicerai" oleh media elektronik. Maka bagaimana ke depan KPI mampu kembali "melamar" mereka agar bersama-sama mempublikasin peran KPI.
Apapun langkah yang patut untuk dilakukan KPI untuk mendekati kepentingan publik harus dijalankan. Sehingga KPI tidak lagi menjadi menara gading, tetapi menjadi lembaga yang pro-publik.
M Rikza Chamami MSi, Staf pengajar IAIN Walisongo
dan Wakil Direktur IMeLD (Institute for Media and Local Democracy)
MEMBUMIKAN PERAN KPI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment