Oleh: M. Rikza Chamami, MSI
Keraguan berhasilnya cita-cita perempuan sebagaimana disitir oleh Ibu Surtini Hadi, SH patut untuk direspon. Di tengah budaya patriarkhi ini, nampaknya kaum hawa sudah tidak mau lagi ketinggalan dalam semua aspek kehidupan. Seakan mereka berlari dengan semangat emansipasi dan liberalisasi.
Anggapan orang Jawa, bahwa perempuan identik dengan kutang, dandang dan ngundang tidak lagi benar. Justru perempuan sudah mulai membentuk brigade kekuatan dalam menggapai otentitas tujuan hidup. Tujuan hidup perempuan tidaklah beda dengan laki-laki, yaitu hidup sejahtera dan berkarya. Lalu apakah kaum perempuan tabah untuk mewujudkan cita-citanya?
Kesejahteraan, kebahagian dan keadilan merupakan cita-cita dan obsesi setiap manusia. Akan tetapi harapan dan cita-cita tersebut terkadang gugur oleh dominasi kepentingan dan ambisi nilai-nilai tertentu. Oleh karenanya, kesejahteraan, kebahagian dan keadilan yang otentik hanya menjadi impian yang bersifat utopia semata.
Dalam mengejar tujuan suci itu, perempuan selalu berandai-andai dan mempersiapkan rencananya dengan matang. Namun tak jarang, di tengah jalan ia berhenti mengejar tujuan hidup. Inilah awal tertutupnya “pintu keberhasilan”. Kenyataan mudah putus asa yang dimiliki perempuan secara psikologi diakibatkan oleh dua hal. Pertama adalah karena superioritas laki-laki dan kedua disebabkan lembutnya perasaan perempuan.
Keinginan perempuan untuk mewujudkan cita-citanya adalah fitrah manusia. Pencapaian cita-cita tersebut akan menyokong pemberdayaan kaum perempuan dan pengangkatan citra dirinya. Klaim lemah, tak berdaya, mudah putus asa bagi kaum perempuan akan sirna jika cita-cita hidupnya mampu diwujudkan.
Tanpa ada cita-cita mulia, perempuan akan selalu dilemahkan. Perilaku ini akan merugikan perempuan dan membuka peluang ketidakadilan gender. Mansour Fakih menemukan pola-pola ketidakadilan gender (gender disqualifies) yang berupa marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan (violence), pelecehan seksual, dan beban kerja yang berlebihan (double burden) terhadap perempuan.
Semuanya itu akan hilang dengan sendirinya jika perempuan dengan daya upayanya mampu menggapai cita-cita. Kedudukan perempuan dalam al-Qur’an surat al-Fatir: 11 dan surat al-Dzariyat sejajar dengan laki-laki. Dengan demikian, jika laki-laki diberi peluang lebar mengejar cita-cita, perempuan juga mempunyai porsi yang sama.
Semangat kaum perempuan untuk mewujudkan cita-cita mulia sudah ada sejak zaman pra-jahiliyah. Sebuah Daulah al-Munādzirah berdiri tegak dengan seorang Ratu Zenofia mampu menciptakan hegemoni rakyat hingga tunduk pada kekuasaannya. Zaman itu pula juga sudah mampu menghitung manazil bintang dari rotasi bumi yang dipelajari dari orang-orang Yunani-Persia.
Walau perempuan kala itu disia-siakan, namun Zenofia tetap kokoh mempertahankan diri sebagai seorang Ratu. Ini menjadi tauladan (qudwah hasanah) bagi perempuan bahwa menyerah diri dan putus asa bukanlah jalan terbaik bagi perempuan. Kata kunci yang menjadi titik langkah adalah percaya diri (i’timad al-nafs) dan aktif-kreatif.
Semangat mengejar cita-cita setinggi langit nampak kompak ketika kaum perempuan Indonesia memperjuangkan 20% kursi perempuan di legislatif. Penetapan kuota perempuan di parlemen dalam perundang-undangan nasional juga ditempuh sejumlah negara. Bahkan kuota perempuan di parlemen lebih efektif berjalan dalam negara yang menggunakan sistem pemilu proporsional daftar tertutup, seperti Argentina, Bolivia, Dominika, Kosta Rika, Paraguay, dan Venezuela.
Dua belas negara Amerika Latin juga bisa menerima porsi perempuan di parlemen, walaupun ada ketakutan atas ancaman gerakan 'feminista' yang tidak memilih parpol 'machista' dalam Pemilu. Ketabahan jiwa dan gerak raga perempuan untuk menggapai cita-cita akan mampu mendongkrak kejantanan kaum hawa.
MENDONGKRAK KEJANTANAN KAUM HAWA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment