(Tanggapan Tulisan Toto Suparto SM 30/11/2006)
Oleh: M Rikza Chamami MSI
Ilustrasi artikel saudara Toto Suparto berjudul “Ancaman Demam Smackdown” (SM, 30/11/2006) telah banyak memberikan informasi mengenai “kejahatan” media. Bahkan secara implisit ia terlalu pesimis terhadap televisi. Seakan televisi menjadi faktor utama perusak budaya-moral bangsa dan penyebar kekerasan. Secara tegas dinyatakan: “Inilah fakta bahwa televisi akan sangat mudah merusak kepada anak-anak”.
Dalam kerangka mewujudkan demokrasi penyiaran, penulis sepakat dengan gagasan besar Toto Suparto mengenai penghapusan tayangan kekerasan, terutama dalam merespon siaran smackdown. Namun, usaha untuk melakukan generalisasi bahwa semua tayangan kekerasan di televisi itu merusak moral bangsa, inilah yang patut diluruskan.
Tidak semua tayangan kekerasan itu berbau negatif. Karena ada beberapa tayangan kekerasan yang harus ditayangkan, sebagai pelajaran berarti bagi penonton. Misalnya film tentang bahaya dan dosa menganiaya orang, tentunya tetap ditampilkan adegan kekerasan, namun adegan inipun tetap harus disesuaikan dengan batasan regulasi penyiaran.
Penayangan adegan kekerasan tersebut bukan semata memberikan contoh agar manusia meniru kekerasan, tetapi justru memberikan pesan moral agar kekerasan itu dijauhi. Pesan berbalik ini memang tidak mudah dipahami semua pihak. Hal ini diakibatkan oleh keanekaragaman penonton televisi, baik dari sisi umur, pendidikan ataupun pekerjaan. Sehingga setiap ada adegan kekerasan muncullah reaksi keras untuk menolaknya, tanpa melihat dulu klasifikasi siarannya.
Penayangan gambar kekerasan di televisi selalu saja membuat marah orang, terutama para ibu. Seakan nasehat agar meninggalkan semua jenis kekerasan kepada anaknya dibantah oleh “nasehat” televisi. Disinilah terjadi pesan yang berbeda. Ibu melarang, televisi “dianggap” membolehkan. Melihat realitas ini, diperlukan sikap arif dan bijak dalam memahami arti tayangan televisi.
Memang, setiap kali layar televisi menyajikan tayangan yang menghibur hati, rasanya ada hipnotis yang hadir. Penonton televisi seketika itu terbuai dan tunduk dengan “fatwa” gambar hidupnya. Disinilah kehebatan ideologisasi televisi di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan ia mampu masuk ke ruang privasi keluarga tanpa ada satupun yang berani melarangnya.
Penonton Aktif-Kritis
Melihat banyaknya miss communication ini, ada dua hal penting yang perlu dibudayakan. Pertama, budaya menjadikan penonton aktif dan kritis. Seringkali para penonton televisi dengan mudah mengamini tayangan televisi. Bahkan televisi selalu dijadikan rujukan utama dalam segala hal. Dari mulai berita, hiburan, kisah sinetron, hingga menu masakan. Setiap orang dengan mudah menjawab “dari televisi” ketika ditanya darimana ia mendapat informasi.
Satu hal yang parah lainnya adalah para penonton tidak bisa membedakan antara opini dan fakta media. Semua sajian televisi ditelan mentah-mentah tanpa melihat kondisi sosial yang terjadi. Mereka percaya bahwa apa yang ada di televisi adalah fakta kebenaran yang harus diyakini. Maka lahirlah generasi bangsa dengan mental penonton pasif.
Penonton pasif inilah yang menjadikan sumber petaka atas tayangan televisi. Karena mereka belum mampu menyaring informasi atau pesan media sesuai yang diharapkan industri penyiaran.
Kasus tayangan smackdown jika dicermati secara arif merupakan imbas dari pasifnya penonton. Dimana penonton (seusia anak Indonesia) yang belum mampu menangkap pesan “adu kuat fiktif” dari layar monitor—menganggapnya sebagai fakta. Berbeda dengan anak-anak di Amerika yang sudah rasional memahami smackdown itu sebagai adegan tipuan—sebagaimana kisah yang digambarkan Adi Eko Priyono, Asisten Direktur Suara Merdeka Group (SM, 30/11/2006)
Di luar itu, mengenai klasifikasi siaran untuk anak dan dewasa juga kurang begitu dipahami. Masyarakat cenderung instan tanpa melihat klasifikasi siaran. Yang penting apa selera hati saat itu, dengan cepat tangan memindahkan channel sesuai pilihan.
Berbeda jika penonton bersifat aktif, ia akan mampu melakukan sensor mengenai isi siaran. Jika aktif dalam menonton secara otomatis memunculkan sikap kritis. Artinya penonton ini tidak mudah didoktin televisi dan selalu kritis terhadap isi siaran. Dimana jika ia menemukan adegan yang tidak sesuai nilai budaya bangsa ia lari dari channel. Dan jika ia tetap melihatnya, ia menjadikannya sebagai bahan pendidikan yang kelak nantinya harus dijauhi.
Kedua, budaya mendewasakan pikiran anak. Artinya dalam memposisikan anak sebagai penonton televisi, orang tua memberikan pendampingan dan arahan agar pikiran anak lebih dewasa. Jika orang tua sering mendampingi dan memilihkan acara untuk anak, maka pikiran anak akan bertambah dewasa dan ia pun merasa dipercaya oleh orang tuanya.
Dengan demikian muncul kepercayaan diri dan selektifitas dalam memilih siaran televisi. Kedewasaan pikir anak juga memberikan penilaian objektif terhadap objek tayangan televisi.
Langkah mendewasakan penonton ini membutuhkan waktu yang cukup panjang. Minimal penonton dipaksa untuk melek terhadap media terlebih dahulu. Artinya jangan sampai para penonton itu, terlalu tertutup dan kaku terhadap media. Jika yang terjadi demikian, maka sangat tidak mungkin ia dewasa dalam menonton televisi.
Gerakan melek media sangat efektif jika dimulai dari ruang privasi keluarga. Semua pihak yang ada dalam keluarga disuguhi “nasehat” seputar media (terutama televisi) oleh pimpinan keluarga. Dijelaskan bahwa setiap tayangan televisi tidak semuanya harus ditiru dan benar, tetapi harus dipilah-pilah. Dan yang tepat lagi adalah menjadikan televisi sebagai sahabat keluarga.
Jika ada upaya maksimal menciptakan televisi sebagai sahabat keluarga, maka tidak ada lagi kekhawatiran televisi merusak perilaku anak. Karena apa saja yang hadir dari televisi, jika baik dijadikan panutan. Dan jika isi televisi jelek (berbau kekerasan, mistik, sadisme dll) kemudian dijadikan alat untuk memproteksi diri agar menjauhi hal itu. Ajaran dasar dalam melek media ini yang paling utama diterapkan pada anak.
Prinsip utama dalam menjadikan televisi sebagai mitra keuarga adalah mendewasakan semua penonton. Karena kedewasaan penonton juga akan menjadikan dirinya aktif dan kritis. Selain itu, televisi merupakan sumber pendidikan yang cukup efektif mengarungi dunia globalisasi.
M Rikza Chamami MSi, Staf pengajar IAIN Walisongo
dan Asisten Ahli KPID Jawa Tengah
MENDEWASAKAN PENONTON TELEVISI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment