M. Rikza Chamami
Dosen UIN Walisongo & Wakil Ketua
Komunitas Pecinta Kyai Sholeh Darat (KOPISODA)
Mendekati
musim ibadah haji, banyak sekali masyarakat Islam yang mencari bahan rujukan
tentang bagaimana manasik haji. Salah karya ulama Nusantara yang mengupas
tentang ibadah haji adalah Syaikh Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (dikenal
Kyai Sholeh Darat).
Ulama
Nusantara kelahiran Kedung Cumpleng Jepara 1820 M/1235 H ini menulis kitab yang
secara khusus membahas ibadah haji dan umroh yang berjudul Kitab Manasik
al-Haj wa al-Umrah wa Adab al-Ziyarah li Sayyid al-Mursalin. Kitab ini berisi
64 halaman dengan 17 topik yang dikupas dimulai dari bab Kitab Haj wa
al-Umrah hingga al-Khatimah (penutup). Kitab ini diterbitkan di
Bombai India pada tahun 1340 H/1922 M.
Redaksi
Kitab Manasik al-Haj wa al-Umrah wa Adab al-Ziyarah li Sayyid al-Mursalin
ini sama dengan isi Kitab Majmu’ah al-Syari’ah al-Kafiyah li al-‘Awam karya
Kyai Sholeh Darat yang menjelaskan bab haji pada halaman 110-145. Kitab
Majmu’ah al-Syari’ah al-Kafiyah li al-‘Awam ini diterbitkan oleh penerbit
Karya Toha Putra Semarang dan tidak ditemukan kolofon tahunnya, sehingga
penulis belum bisa memastikan kedua naskah tersebut lebih dahulu yang mana.
Yang
jelas bahwa Kyai Sholeh Darat memberikan perhatian khusus mengenai ibadah haji
orang Islam, terutama di Jawa. Kepedulian ini dituangkan dengan karyanya yang
ditulis dengan bahasa Jawa dengan harapan masyarakat Jawa dapat memahami tata
cara beribadah haji dengan baik sesuai ajaran Islam dan berdasarkan kitab-kitab
ulama salaf.
Bahkan
oleh Kyai Sholeh Darat disebutkan bahwa dalam membahas asrar al-haj
(rahasia ibadah haji) ia merujuk Kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam
Ghazali. Kitab lain yang dirujuk dalam bidang fiqh adalah Syarh al-Minhaj,
Syarkh al-Khatib Syarbain dan Durar al-Bahiyyah.
Penjelasan
pertama yang ditulis Kyai Sholeh Darat dalam Kitab Manasik al-Haj wa
al-Umrah wa Adab al-Ziyarah li Sayyid al-Mursalin adalah mengenai kewajiban
haji dan umroh sebagai rukun Islam kelima dilaksanakan satu kali seumur hidup. Adapun
haji dan umroh ini merupakan syariat dari Nabi terhahulu. Artinya bahwa semua
Nabi dan Rasul itu pernah melakukan haji. Sejarah ibadah haji yang pernah
dilakukan oleh Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw juga disinggung oleh Kyai
Sholeh Darat.
Nabi
Muhammad bersabda bahwa makam Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Syu’aib, Nabi Sholeh itu
berada diantara hajar aswad, maqam Ibrahim dan sumur zam-zam. Sebagian ulama
menyatakan bahwa di tempat itu dimakamkan 99 Nabi, termasuk Nabi Ismail. Adapun
sejarah haji yang disampaikan oleh Kyai Sholeh Darat adalah mengenai
keberangkatan 40 kali ibadah haji Nabi Adam dari negara India dengan berjalan
kaki. Keterangan itu diambil dari sebuah hadits.
Malaikat
Jibril menyampaikan kepada Nabi Adam bahwa para Malaikat melakukan thawaf di
baitullah jauh 70.000 tahun sebelum Adam diciptakan. Maka setelah baitullah selesai
dibangun oleh Nabi Ibrahim, Allah memerintahkan untuk mengundang seluruh anak
Adam untuk melakukan ibadah haji. Ketika Nabi Ibrahim mengumumkan perintah haji
di maqam Ibarahim, maka tempat itu menjadi tinggi (ada sebagian menyampaikan
peristiwa ini terjadi di Jabal Abi Qubais).
Nabi
Ibrahim menyerukan: “Wahai para manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kalian untuk melakukan ibadah haji di baitullah ini. Maka berhajilah Anda semua
di tempat ini”. Setelah itu, semua Malaikat dan umat manusia di alam arwah (ashlab
al-Aba’ dan arham ummahat) menjawab: “Labbaik ya Rabbi”. Maka
yang menjawab satu kali, mereka akan mendapat giliran haji satu kali. Demikian juga
untuk yang menjawab dua kali dan tiga kali akan menjalani haji sesuai
jawabannya.
Dalam
kondisi seperti ini, Iblis yang dilaknat Allah juga turut serta memanggil
bersamaan dengan panggilan Ibrahim tadi. Maka bagi umat manusia yang menjawab panggilan
Iblis, ia akan berhaji demi kemaksiyatan. Ciri orang yang haji mardud (tertolak)
adalah sepulang haji bertambah maksiyat, bertambah takabbur dan bertambah cinta
dunia.
Ada
satu hadits menarik yang disebutkan oleh Kyai Sholeh Darat yang artinya: “Pada
akhir zaman ada empat golongan yang berangkat haji: pejabat niat haji untuk
rekreasi/plesir menghibur hatinya, saudagar (orang kaya) niat haji untuk
berdagang, orang faqir niat haji untuk menjadi pengemis mencari uang dan ulama
yang niat haji demi kemasyhuran namanya bisa berkali-kali berangkat ke Makkah”.
Hadits ini menjadi nasehat bagi semua yang berangkat haji agar benar niatnya
hanya karena Allah.
Ada
enam rukun ibadah haji yang disebutkan Kyai Sholeh Darat: niat ihram, wuquf di
Arafah, thawaf, sa’i antara shofa dan marwa tujuh kali, mencukur/menggunting
dan tertib (berurutan). Bagi Kyai Sholeh Darat, haji disebut tidak sah jika
meninggalkan rukun dan rukun ini tidak boleh dibayar dengan dam. Adapun rukun
umroh ada lima: niat ihram, thawaf, sa’i, mencukur dan tertib.
Sedangkan
wajibnya haji itu ada lima hal: ihram dari miqat, menginap di
Muzdalifah, menginap di Mina, melempar Jumroh Aqabah ketika subuhnya hari nahr
(penyembelihan), melempar jumrah saat hari tasyriq dan meninggalkan hal yang
diharamkan saat ihram. Wajibnya haji jika ada yang ditinggalkan tetap sah
asalkan dibayarkan dam dengan kambing atau mud.
Betapa
mulianya ibadah haji, sehingga bagi anak yang telah ditinggal wafat oleh orang
tuanya, jika ingin berbakti boleh melaksanakan haji badal. Kyai Sholeh Darat
menjelaskan hal ini dalam Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauhar
al-Tauhid halaman 83 dengan menyebutkan hadits yang berarti: “Barangsiapa
yang menghajikan orang tuanya setelah wafat. Maka Allah menulis satu kali haji
bagi orang tuanya. Dan Allah menulis bagi anaknya bebas dari neraka”.
Bersambung...