Pendidikan di Indonesia selalu mengalami inovasi yang
tidak pernah berhenti. Akhir-akhir ini pemerintah sedang menggalakkan konversi
kurikulum 2013. Sekolah sedang sibuk menjalankan proses penyesuaian kurikulum
baru itu—yang diyakini mampu membuat pendidikan semakin berkualitas dan berdaya
saing. Siswa dari sekolah dasar hingga atas sudah ditanamkan untuk kritis dan
berpartisipasi dalam setiap pembelajaran.
Peran guru di kelas diharapkan menjadi pendidik,
fasilitator, motivator dan inovator untuk siswanya. Kelas yang semula “mati”
harus dihidupkan dengan ragam materi dan model pembelajaran yang menyenangkan.
Dengan model demikian diharapkan lahir generasi bangsa yang cerdas dan mampu
menangkap peluang di era global.
Walau demikian, impian mulia itu jangan sampai melupakan
karakter bangsa Indonesia, yakni kesantunan. Pendidikan dengan model
partisipatif secara prinsip sangat ideal untuk menggugah jiwa
kritis-konstruktif. Jangan sampai “ruang kelas yang mulia” berubah menjadi
bebas dan tidak terkendali, karena siswa semakin bebas dan tidak lagi
menghormati gurunya. Kalau demikian yang terjadi, berarti budaya santun sudah
mulai luntur.
Untuk mewujudkan pendidikan berorientasi kesantunan
ini dibutuhkan empat hal prinsip dalam menjaga suasana kelas tetap berjalan
sesuai mekanisme yang berlaku. Pertama,
kewibawaan guru. Kedua, menjaga
psikologi siswa. Ketiga, membentuk
lingkungan sekolah sebagai lingkungan keluarga—bukan sekedar lingkungan
pendidikan yang membatasi status antara guru dan murid. Dan keempat, peran serta orang tua.
Menjaga wibawa guru di kelas sangatlah penting. Sebab
guru merupakan suri tauladan yang sangat dinantikan ilmu-ilmu dan inovasinya di
kelas. Bagi anak yang cerdas dan berjiwa kritis pasti selalu menunjukkan ketidakpuasan
di kelas. Rasa ingin tahunya yang begitu besar akan memunculkan permasalah atau
pertanyaan di dalam diskusi. Jika guru tidak siap dengan jawaban yang
memuaskan, siswa ini akan selalu menggalinya hingga tuntas.
Untuk menjaga kewibawaan guru ini dibutuhkan tiga
langkah praktis: penguasaan materi, persiapan bahan ajar dan penyediaan metode
belajar yang tepat guna. Dengan tiga pola yang dipersiapkan ini, guru akan
hadir dengan penuh kepercayaan diri dan mampu menjelaskan materi dengan
sistematis. Termasuk siswa juga akan menikmati proses pembelajaran.
Setiap materi yang disajikan, jika guru melalukan
persiapan dalam mengajar, maka siswa akan melihat bahwa gurunya benar-benar
menguasai materi. Siswa juga akan cepat menyerap materi pelajaran jika gurunya
memanfaatkan media dengan ICT dan model pembelajaran yang tidak monoton. Kelas
dibuat senyaman mungkin dengan mendudukkan siswa benar-benar terlibat aktif
dalam pembelajaran.
Setelah itu semua dengan matang dijalankan, maka
langkah selanjutnya adalah menyiapkan psikologi siswa. Secara mendasar, bahwa
psikologi siswa di usia anak-anak dan remaja sangat membutuhkan perhatian di
kelas. Ketika guru mengajar dengan tanpa komunikasi, maka anak cenderung
berontak dan menganggap kelas itu hampa dengan kasih sayang. Itulah yang harus
dibuang jauh-jauh. Bahwa kelas merupakan media komunikasi paling efektif dalam
menata psikologi siswa.
Peran guru dalam hal ini adalah memberikan penjelasan
bagi siswa untuk menempatkan dirinya sebagai siswa yang sedang mencari ilmu.
Seorang pencari ilmu butuh kejiwaan sebagai orang yang membutuhkan. Sehingga
dibutuhkan jiwa yang sehat, pikiran yang sehat dan sikap serius (sregep) dalam mencari ilmu.
Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi dua hal: pertama, membendung jiwa malas yang
sering diderita siswa. Dan kedua, menghadirkan
guru di hati siswa dengan penuh kasih sayang. Lahirnya kasih sayang inilah yang
akan melahirkan siswa yang santun dan menghormati gurunya. Siswa juga akan
mencintai ilmu dengan penuh harapan agar kelak menjadi anak yang cerdas dan
sukses. Dalam bahasa agama, pencari ilmu itu disebutkan sedang mencari berkah
dari para gurunya.
Membentuk Lingkungan
Selain kesempatan melahirkan kesantunan siswa lewat
kelas, adapula cara lain yang perlu diterapkan adalah dengan membentuk
“lingkungan keluarga” di sekolah. Sekolah harus dijadikan tempat berlindung,
bernaung dan bercerita untuk mencari solusi masa depan siswa. Suasana
kekeluargaan ini dimulai dari tidak adanya dikotomi ekonomi, anak miskin dipisahkan
dengan anak kaya, anak pejabat dibedakan dengan anak rakyat dan lain
sebagainya.
Semua siswa adalah anggota keluarga bagi guru dan
pegawai di sekolah. Prinsip pelayanan prima juga harus diterapkan di sekolah
sejak siswa hadir hingga pulang ke rumah masing-masing. Pembiasaan kesalihan
dalam beragama juga patut ditanamkan sejak dini, mulai dari shalat berjama’ah,
rajin beribadah, rajin shadaqah dan
melatih bertoleransi sejak dini. Pola ini akan menjadikan siswa kelak akan
terbiasa dengan karakter tersebut yang pada ujungnya akan menjadikan anak
santun dalam bersikap.
Ini akan menjadi beda jika lingkungan sekolah dibuat
seperti lembaga formal dengan model birokrasi yang feodal. Siswa hanya menjadi “robot”
yang selalu dijejali dengan aneka ragam ilmu dengan target nilai kuantitatif.
Termasuk anak juga menjadi bagian dari eksploitasi ekonomis untuk menopang
biaya operasional pendidikan yang sangat mahal. Hal ini jangan sampai terjadi,
karena akan menjadikan anak “berontak” dan cenderung tidak memiliki akhlaq
mulia.
Satu hal yang teramat penting untuk membentuk anak
berkepribadian santun adalah oleh orang tua masing-masing. Peran orang tua
menjadi kunci pencetak generasi santun—selain di sekolah, rumah dan keluarga
juga sangat berperan besar. Untuk itu, rumah perlu menjadi tempat belajar
pertama sebelum sekolah. Orang tua diharapkan selalu mendidik anaknya dengan
kesantuan, baik dalam bertutur, berpikir, bersikap dan bergaul dengan
masyarakat.
Lingkungan keluarga yang dipenuhi dengan masalah akan
berdampak pada pembentukan jiwa anak menjadi broken home. Sebisa mungkin anak dijauhkan dari pertengkaran orang
tua, sehingga yang dilihat oleh anak hanyalah keharmonisan ayah dan ibunya.
Keluarga yang harmonis ini akan menjadikan anak terinspirasi oleh ayah dan
ibunya.
Sejak di rumah, anak sangat butuh perhatian orang
tuanya sebagai pendamping belajar untuk meraih cita-citanya. Jika orang tua
terlalu sibuk bekerja, maka tugas pendampingan dapat didelegasikan kepada
tentor les privat atau lembaga bimbingan belajar. Namun demikian, kasih sayang
dan perhatian orang tua pada anak dalam hal pendidikan tetap diutamakan untuk
menjadikan anak tumbuh belajar dengan baik. Ini salah satu modal utama agar
anak menghormati orang tua karena dirinya merasa dihormati ayah-ibunya.
Pendidikan demikian inilah yang sangat dinantikan oleh
bangsa Indonesia ini. Dimana anak didik yang terpelajar mampu mempunyai sikap
sopan santun di masa depannya. Bangsa ini sudah capek sekali dijajah oleh
koloni. Jika pola pendidikan yang dilakukan kepada anak-anak kita seperti era kolonial,
maka anak kita akan terlahir dengan jiwa penjajah dan tidak punya sopan santun.
Hilangnya sopan santun pada anak, akan menjadikan hilangnya budaya timur.
Jika budaya timur hilang, maka generasi mendatang
tidak akan lagi mampu menghormati leluhur dan pendiri bangsa ini. Alhasil,
liberalisme dan kapitalisme yang akan menjadi raja di Indonesia—yang
mengedepankan sikap kritis, destruktif, penuh perhitungan dan tidak memiliki
sopan santun.
Bangsa Indonesia akan menjadi terhormat di mata dunia
jika warga Indonesia mempunyai lima dasar kehidupan: ilmu pengetahuan luas,
jaringan internasional yang bagus, moralitas tinggi, toleransi dan berdaya
saing. Itu semua akan didapatkan jika bangsa kita dididik dengan pembelajaran
yang berbasis kesopanan.
Dengan pribadi yang sopan, maka ilmu pengetahuan akan
hadir dengan penuh kemuliaan—bukan ilmu pengetahuan hasil keangkuhan.
Pendidikan kesantunan ini juga akan mendorong tumbuh suburnya nasionalisme dan
demokrasi di Indonesia.*)
M. Rikza Chamami, MSI
Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Walisongo Semarang
Email:
rikzakudus@gmail.com
HP.
085281070111 / 0818452612
No comments:
Post a Comment