Presiden terpilih Joko Widodo berjanji
akan menjadikan 1 Muharram sebagai hari santri nasional. Dukungan hari santri
nasional itu ditegaskan juga dalam hasil rekomendasi Rakernas PDIP di Semarang
beberapa waktu lalu. Ini menjadi angin segar bagi santri dalam menatap
kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi semakin baik. Di sisi lain, ini
menjadi tantangan bagi santri akan tanggung jawabnya berkontribusi untuk
negara.
Dibalik rasa sukaria santri, masih ada
hal urgen yang perlu dirumuskan kembali soal istilah santri. Santri hampir
selalu dipahami sebagai kelompok masyarakat yang hanya tekun agama dan jauh dari
ilmu umum. Pemahaman semacam ini menjadikan profil santri terkotakkan dalam
ruang sempit yang menempatkan dirinya pada monodisiplin (agama).
Ketika agama dijadikan lokus
kehidupannya, maka ilmu agama yang dipelajari cenderung menutup ilmu lainnya.
Seakan ilmu yang harus dicari hanya dikonsentrasikan pada kepentingan akhirat
saja dan menafikan ilmu dunia. Disinilah yang perlu ditata ulang dengan
semangat santri dalam menatap era globalisasi.
Santri sebagaimana sering diartikan
adalah singkatan dari sekehe kebisan kudu dipinteri (semua ilmu harus
dipelajari). Artinya bahwa apa saja ilmu yang terkait dengan akhirat dan dunia
perlu dicari dengan baik. Tumbuhnya jiwa keterbukaan santri dalam menilai arti
ilmu non agama perlu dipacu—agar mampu menerima empat hakikat kebenaran secara
simultan.
Ada empat dasar kebenaran yang populer
di kalangan intelektual, yakni: kebenaran inderawi, kebenaran ilmiah, kebenaran
filosofis dan kebenaran religius. Kebenaran inderawi merupakan awal lahirnya
kesadaran manusia dalam menilai sebuah kebenaran yang dapat diterima indera.
Sedangkan kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang lahir dari proses ilmu
pengetahuan/sains. Adapun kebenaran filosofis lahir dari kebijaksanaan berpikir
secara mendalam. Sementara kebenaran religius berangkat dari informasi wahyu
dan keimanan dalam beragama.
Nampaknya, profil santri yang selama ini
diidentikkan dengan tradisional/ortodok/ heterodok lebih karena pandangannya
hanya pada kebenaran religius dan menafikan tiga kebenaran lainnya. Di dalam
meneguhkan kebenaran religius ini pun tidak didasari dengan kekayaan ilmu
pengetahuan yang bersifat empirik. Termasuk dalam memahami wahyu juga hanya
berlandaskan keimanan yang cenderung tekstualis-litirelis. Sehingga lahirlah
paham agama yang fundamental meninggalkan dimensi sosial.
Melek Pendidikan
Untuk itulah, yang dibutuhkan hari ini
adalah santri melek pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan adalah dengan
segala upaya untuk mengejar tiga kebenaran yang disebutkan: inderawi, ilmiah
dan filosofis. Ketiga hal ini akan terwujud jika santri mampu menguasai
filsafat dan sains. Ketika santri sudah mempunyai modal ilmu agama yang sangat
kuat, maka filsafat dan sains akan membuat kesempurnaan agama.
Filsafat dan sains bukanlah ilmu yang
harus dimusuhi Islam. Orang Islam terlalu takut belajar filsafat karena
dianggap akan menjadikan kafir dan meninggalkan Islam. Termasuk orang muslim
alergi terhadap sains karena khawatir tidak percaya dengan takdir Allah.
Pemahaman ini sangat subyektif dan cenderung mengkerdilkan watak keislaman.
Justeru dengan bekal agama yang kuat disertai dengan perangkat filsafat dan
sains, keimanan seseorang akan makin bertambah.
Muhammad Tholhah Hasan (2004)
menjelaskan, sejarah Islam mencatat program translasi dan arabisasi keilmuan
Yunani ke Arab sejak zaman Abbasiyah saat dijabat oleh Ibnu Muqaffa. Termasuk
khalifah Al Makmun (813-833) berani menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani
dalam bahasa Arab—yang dipimpin Hunain bin Ishak yang beragama Kristen dari
Hirah lewat pengembangan Baitul Hikmah (Widya Graha). Mulai saat itulah dunia
Islam mengenal ilmu kedokteran, kimia, matematika, fisika (sering disebut
sains) dan lain sebagainya.
Artinya bahwa Islam sangat menjaga
prinsip kesucian agama dan membawa kemajuan ilmiah dengan ragam keilmuan di
luar agama. Ilmu-ilmu filsafat dan sains akan membuat Islam semakin rasional
dan mampu memberikan kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat. Islam dengan
kekayaan ilmunya ini akan mampu menatap tantangan hidup yang semakin dinamis.
Lalu bagaimana hukum orang mencari ilmu non-agama?
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’
Ulumuddin menjelaskan dua kategorisasi ilmu: ilmu syariah (al-ulum
asy-syariah) dan ilmu non-syariah (al-ulum ghairu syariah). Ilmu
syariah yang berisi tentang aturan agama dan hukum, wajib untuk dipelajari
setiap muslim. Sedangkan belajar ilmu non-syariah disebut fardlu kifayah
(wajib untuk sebagian orang). Ilmu non-syariah oleh Al Ghazali yang dianjurkan
untuk dipelajari adalah ilmu kedokteran, teknik, matematika, ekonomi dan
politik.
Dengan demikian, santri seharusnya
benar-benar sadar akan nilai positif ilmu sains yang akan menerima kebenaran
saintis. Pada hakikatnya, kebenaran saintis itu berangkat dari sebuah ketekunan
orang untuk memahami logika dan ilmu. Jika yang digunakan adalah logika dan
ilmu, maka dorongan untuk melahirkan dan mencari hakikat kebenaran akan terbuka
lebar, termasuk menilai kekuasaan Tuhan yang tersimpan dalam isi ilmu itu.
Disinilah etika keilmuan santri diuji.
Jika santri hanya menguasai agama saja, maka dirinya tidak mampu dan takut
berfikir tentang kebenaran saintis dan filosofis. Semua jawaban satri hanya
monoton seputar “takdir Tuhan”. Akan tetapi jika santri menguasi filsafat dan
sains, ketika ditanya mengenai reproduksi manusia, ia fasih mengambil ayat
al-Qur’an dan matan hadits, termasuk menjelaskan dengan pendekatan ilmu
biologi.
Ketika santri bicara tentang ilmu falak,
maka dia tidak hanya bicara soal daya magis bulan dan bintang. Tapi santri menguasai
ilmu astronomi dengan teknik menghitung dengan ilmu matematika (logika,
aljabar, kalkulus dan lain-lain). Saat santri berbicara soal perbankan, maka
bisa dilihat dari perspektif hukum fiqh dan perhitungan ekonomi makro dunia
dengan penguasaan logika fiskal.
Sudah tidak saatnya lagi jika santri
ingin menguasai ilmu, hanya mengandalkan ilmu ladunni (ilmu yang hadir
sendiri tanpa dipelajari). Santri juga tidak patut bermalas-malasan dengan
hanya bermodal wirid dan jimat—demi berkah dan ilmu. Itu semua
akan menjadikan santri hanya bermimpi tinggi, namun tidak akan menguasai
perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu itu harus dicari, bukan hanya diyakini dan
dinanti. Santri harus bangun dan berkiprah di dunia nyata dengan disiplin ilmu
yang sangat beraneka ragam.
Proses transformasi sosial bagi santri
inilah yang dibutuhkan hari ini. Santri bukan hanya menjadi label orang yang
ahli agama saja. Tapi santri juga menjadi inovator bangsa Indonesia dalam
memperkuat moralitas di semua lini. Penguatan SDM santri perlu ditingkatkan
dengan membekali ilmu agama, filsafat dan sains.
Hari santri akan bermakna jika santri
mampu berkontribusi nyata untuk negara. Jika santri masih terkurung di masjid,
pesantren dan majelis pengajian saja, rasanya bangsa ini masih menangis—dan
hari santri menjadi tidak bermakna.
M. Rikza Chamami, MSI—Dosen
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
dan Mahasiswa Program Doktor Islamic
Studies IAIN Walisongo
(Suara Merdeka, Rabu 29
Oktober 2014)
rikzakudus@gmail.com
www.rikzachamami.com
) 085281070111 / 0818452612
Dikirim ke:
wacana_nasional@suaramerdeka.com
wacana.nasional@gmail.com
maksimal 7000
karakter with space
No comments:
Post a Comment