Serial Islam Nusantara
Wakil Ketua KOPISODA (Komunitas Pecinta KH Sholeh Darat) &
Dosen UIN Walisongo
Figur Syaikh Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (dikenal KH Sholeh
Darat) selalu banyak memberikan inspirasi. Salah satu kalimat tegas yang ia
sampaikan adalah begini: “Lan murukno siro marang awam apa carane cara
Melayu atawa cara Jawa. Endi-endi ingkang dadi ngertine kerono maksude iku
ngertine ora kok lafadz bahe ora. Ojo wong bodo wus umur nuli den wuruk Kitab
Arab, moko ora biso hasil wajibe. Lan wong kang dadi guru iku ojo gumede gemendung
ora gelem muruk Kitab Tarjamah ‘Ajam”.
Pesan singkat yang terdapat dalam Kitab Tarjamah Sabil Al-Abid ‘ala
Jauhar Al-Tauhid karya KH Sholeh Darat (halaman 65) memiliki makna yang
sangat mendalam. Betapa agama itu butuh dikenalkan dengan bahasa kaumnya. Terlebih
agama Islam yang mayoritas kajian-kajian agamanya menggunakan bahasa Arab. Peran
guru bagi Mbah Sholeh juga sangat penting dalam mentransfer ilmu agama.
Lalu bagaimana isi dari pesan tersebut? Kita simak terjemah dari
pesan Mbah Sholeh: “Dan ajarkanlah kepada orang-orang awam dengan cara (bahasa)
Melayu atau Jawa. Apa saja yang akan memahamkan itu berdasar maksudnya, bukan
hanya karena kosakata. Jangan sampai ada orang sudah tua diajari dengan Kitab
Arab, pasti tidak akan ada hasilnya. Dan barangsiapa yang menjadi guru, jangan
sampai sombong berlebihan tidak mau mengajarkan Kitab Tarjamah ‘Ajam (selain
Arab)”.
Ketegasan Mbah Sholeh dalam memberikan penjelasan ini ada di dalam
keterangan tentang Syu’bah al-Iman (cabang iman) yang jumlahnya ada tujuh puluh
tujuh. Dalam cabang iman yang ke-18 yaitu tentang ilmu syar’i dan
penyebarannya. Rasulullah Saw bersabda: “Liyuballigh al-Syahid minkum
al-Ghaib; wajib menghadirkan orang yang sudah mendengar bagi orang yang
belum paham”. Intinya bahwa orang yang sudah memiliki ilmu memiliki
tanggungjawab untuk mengajarkan ilmunya.
Dalam posisi inilah, ilmu syar’i bagi Mbah Sholeh Darat mutlak
untuk diajarkan. Oleh sebab itu disampaikan olehnya bahwa orang yang sudah
paham tentang fardlu wudlu, ia sudah termasuk orang berilmu, wajib mengajarkan
orang yang belum faham fardlu wudlu. Bahkan ditegaskan, ketika orang berilmu
tidak mau mengajarkan, maka ia akan menanggung semua dosa-dosa yang diakibatkan
ketidakpahaman itu.
Tahapan-tahapan pemahaman agama juga bagi Mbah Sholeh Darat harus
diajarkan secara runtut. Ilmu yang perlu diajarkan pertama adalah terkait
fardlu ‘ain terlebih dahulu, baru disusul ilmu tentang fardlu kifayah. Begitu pula
distribusi guru agama, juga ditata dengan berbasis masjid dan kampung. Mbah
Sholeh menyampaikan: “Dan wajib dalam setiap kampung dan Masjid mempunyai guru
yang mengajarkan agama Islam, termasuk wajib bagi setiap desa ada guru agama
Islam”.
Diantara ilmu agama yang sangat penting disampaikan oleh para guru
agama adalah: aqaid lima puluh (teologi), thaharah (bersuci), jinabat,
najis, shalat, ilmu hati mahmudah dan madzmumah (akhlak mulia dan tercela).
Bagi anak-anak atau santri pemula dalam mempelajari agama harus diajarkan
ilmu-ilmu itu terlebih dahulu. Maka oleh Mbah Sholeh disampaikan tegas: “Jangan
sampai anak kecil diajari ilmu Nahwu Sharaf dalam posisi belum paham akidah,
wudlu, shalat. Dan itu menjadi tidak boleh”.
Pesen tersebut menjadi penegasan bahwa teologi dan syariat itu
menjadi ilmu mutlak yang dibebankan pertama oleh para santri pemula. Sedangkan
ilmu nahwu dan sharaf tetap menjadi ilmu yang penting setelah mereka memahami
keilmuan-keilmuan sebagaimana disebutkan. Langkah ini menjadi sangat bijak
dimana ilmu bahasa itu dapat berjalan dan diajarkan sembari mengkaji ilmu
agama.
Hal pokok yang catatan penting dari pesan Mbah Sholeh ada peran
guru dalam penyampaian materi agama. Bahwa orang Jawa sangat butuh pemahaman
agama dengan bahasa lokalnya, yakni bahasa Jawa. Demikian pula orang-orang
Indonesia, juga sebaiknya memahami agama dengan bahasa Melayu. Oleh sebab itu,
bagi Mbah Sholeh, agama tidak hanya cukup dipahami secara lafdziyyah (parsial)
saja, tapi agama harus utuh dipahami materinya dan dilaksanakan dengan sebaik
mungkin.
Dalam posisi semacam ini, dapat dilihat bahwa figur Mbah Sholeh
memiliki tiga identitas keilmuan: Pertama, sangat peduli terhadap
penanaman nilai agama Islam. Kedua, memberikan perhatian serius terhadap
penerjemahan karya-karya Islam yang berbahasa Arab dalam bahasa Jawa. Dan ketiga,
mendorong guru agama Islam untuk bangga terhadap bahasa lokal dan tidak malu
dikatakan bodoh jika mengajarkan Kitab Tarjamah ‘Ajam.
Pesan nomor tiga ini sekaligus menjadi kinayah (sindiran)
bagi masyarakat di era sekarang dimana menganggap tidak mantap jika agama Islam
tidak ada Arabnya. Di sisi lain, para ustadz yang menyampaikan materi dengan
terjemah seringkali dianggap tidak bisa Arab. Maka Mbah Sholeh menyebut orang
yang bisa Arab tapi malu menggunakan bahasa Jawa untuk memahamkan orang awam
sebagai orang sombong dan kumprung (sangat bodoh).
Mbah Sholeh memberikan contoh nyata bahwa Syaikh ‘Allamah Ismail
Minangkabau ketika berada di Makkah mengajarkan Kitab Sabil al-Muhtadi tarjamah
ilmu fiqh dengan menggunakan bahasa Melayu karya Syaikh ‘Allamah Arsyad Banjar.
Termasuk Kitab Syubah al-Iman itu asalnya menggunakan bahasa Persia dan
kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab ketika diajarkan di Arab.
Ketegasan Mbah Sholeh dalam pola Jawanisasi model mengajar itu
bukan berarti anti Arab. Namun langkah ini sebagai sebuah terobosan nyata bahwa
orang Jawa itu harus pandai dengan bahasanya sendiri. Ketika agama Islam di Jawa
sudah dipahami dengan bahasa Jawa yang bersumber dari keilmuan Arab, maka
hakikat Islamnya akan semakin berkualitas.
Maka kemudian Mbah Sholeh menyampaikan: “Dan janganlah orang yang
jadi guru itu pandai sendiri. Sedangkan orang lain masih dalam kondisi bodoh
(tidak berilmu). Dan tidak dibenarkan ada orang berilmu menyesatkan orang yang
bodoh”. Sungguh luar biasa pesan yang disampaikan ini.
Yang lebih menarik adalah pesan selanjutnya: “Lamun ngucap ojo
ngaji Kitab cara Jawa atawa cara Melayu mundak bodho, kerono cara Jawa iku dudu
ilmu. Ingkang aran ilmu iku dudu kalam al-Arab. Maka nuli nurut wong bodho lan
awam ora gelem ngaji hinggo hasil dadi bodho ora ngerti perkorone agama Islam
kabeh kerono kalam al-Arab iku angil, maka dosane ketanggung ingatase wongkang
nuturi”.
Menyimak pesan yang demikian, patut rasanya menjadikan tauladan
bahwa bahasa lokal adalah kunci dari kesuksesan ilmu. Larangan belajar agama
Islam dengan bahasa lokal adalah sebuah kenaifan. Oleh sebab itu, patut kiranya
pesan Mbah Sholeh ini menjadi bahan renungan di masa sekarang. Bahwa kitab
berbahasa Arab yang berakidah ahlussunnah dan teridentifikasi belum
diterjemahkan, maka sudah saatnya diterjemahkan dalam bahasa lokal (Jawa dll).
Keteguhan Mbah Sholeh dalam mengembangkan berpikir Islam Nusantara
menjadi nyata. Bahwa Islam di Jawa perlu dipelajari melalui bahasa orang Jawa.
Islam di Nusantara juga dapat dipelajari dengan bahasa Indonesia (istilah Mbah
Sholeh Darat adalah bahasa Melayu). Wallahu a’lam.*)