M. Rikza Chamami
Wakil Ketua KOPISODA (Komunitas Pecinta KH Sholeh Darat) &
Dosen UIN Walisongo
Banyak diskusi tentang perwalian menjadi berhenti karena takut
salah membahas. Atau diskusi perwalian menjadi dangkal karena bahan materi yang
tersedia tidak terlalu banyak. Termasuk diskusi perwalian menjadi terhambat
karena yang mengajak diskusi bukan wali dan dihentikan dengan kalimat “la ya’rifu
al-wali illa al-wali; tidak mengetahui kewalian seseorang kecuali seseorang
wali”.
Nampaknya memang suasana yang demikian butuh pencerahan. Satu sisi
memang positif bahwa membincang soal wali bukan hanya sekedar bicara individu
manusia saja. Akan tetapi lebih luas karena wali merupakan orang pilihan dan
harus dihormati. Namun jika diskusi membahas wali itu berhenti, maka generasi
yang akan datang tidak akan mendapat kisah tentang wali-wali dan bakal
tersimpan rapat oleh generasi tua.
Bagaimana Syaikh Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat)
memberi dasar tentang pemahaman wali dan karomahnya? Diantara penjelasan Mbah Sholeh Darat tentang wali dan karamah adalah dalam
syarh nadzam Jauhar al-Tauhid Syaikh Ibrahim Allaqani: واثبتن
للاوليإ الكرامة ٭ ومن نفاها انبذن كلامه.
Wali menurut Mbah Sholeh Darat adalah seorang ‘arif billah
(mengetahui Allah) sekedar derajat dengan menjalankan secara sungguh-sunggu taat
kepada Allah dan menjauhi ma’siyat. Artinya para wali itu menjauhi segala macam
kemaksiyatan berbarengan dengan selalu bertaubat kepada Allah. Sebab wali itu
belum kategori ma’shumin (terjaga) seperti Nabi. Maka wali belum bisa
meninggalkan ma’siyat secara penuh. Makanya mereka disebut waliyullah.
Keberadaan wali yang sedemikian agung ini mendapatkan keistimewaan
dalam hidupnya. Mereka dalam hidupnya selalu mengingat dan menggantungkan diri,
dan menyatukannya pada Allah. Hati selalu menghadap dan pasrah dengan taqdir
Allah saja. Itulah definisi sederhana mengenai wali menurut Mbah Sholeh Darat.
Adapun karomah menurut Mbah Sholeh Darat sesuatu yang nulayani
adat (berbeda dari sewajarnya) jika dilihat secara kasat mata. Mereka yang
mendapat karomah selalu menunjukkan kepribadian baik dan meniru jejak Rasulullah
dengan bekal syariah dan baik secara ideologi serta perilakunya.
Karomah yang dimiliki oleh wali itu tidak hanya nampak ketika hidup
saja. Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut
ahlussunnah wal jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu
perlu diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab sudah bersepakat mengenai
karomah yang ada para wali ketika hidup maupun sudah wafat.
Para ulama muhaqqiqin menyampaikan: “Barangsiapa yang tidak nampak
karamanya setelah meninggal sebagaimana karamah ketika masih hidup, maka itu
tidak benar”. Imam Sya’roni juga berpesan kepada para Syaikh: “Sesungguhnya
Allah Swt itu selalu membuat wakil berupa satu malaikat di dalam kuburnya para
wali, yang bertugas mengabulkan seluruh hajat manusia”.
Selain itu, seorang waliyullah juga terkadang keluar dari kuburnya
untuk mengabulkan hajat manusia yang meminta hajat sebagaimana persaksian
karomah para wali itu secara kasat mata (musyahada karamah al-auliya’). Sebagaimana
Sayyid Al Aidarusi Al Adnani, Shahib Al Tubani, Sayyid Abdul Qadir Al Jilani,
Sayyid Ahmad Al Badawi.
Satu pertanyaan yang dimunculkan oleh Mbah Sholeh Darat dalam Kitab
Sabil Al ‘Abid adalah: “Kenapa zaman akhir para wali banyak kelihatan
karomahnya? Dan kenapa zaman Sahabat dan Tabi’in tidak nampak wujud karomah
wali?”
Oleh Mbah Sholeh dijawab, bahwa zaman akhir ditunjukkan banyak
karomah karena manusia di zaman akhir banyak kesalahan (dla’if)
keyakinan agamanya. Maka mereka didampingi oleh para wali dengan karomahnya
agar semakin kuat keyakinan agamanya dan patuh kepada orang shalih. Dengan demikian,
generasi zaman akhir tidak mudah menghina para orang-orang sholih.
Berbeda dengan orang-orang zaman al-awwalin (periode Sahabat
dan Tabi’in) yang dalam hidupnya masih sangat yakin kepada orang-orang shalih. Sehingga
karamah para wali tidak diperlihatkan. Apalagi pada zaman Sahabat, dimana
Rasulullah Saw masih hidup bersama mereka.
Penjelasan Mbah Sholeh tentang wali ini merupakan dasar dari
pemaknaan kata wali dan karomah cukup memberikan pencerahan. Penjelasan lengkap
mengenai wali dalam karya tulis Mbah Sholeh Darat terdapat dalam Kitab
Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Ma’rifah al-Adzkiya il Thariqi al-Auliya’ (tebalnya
kitab ini 516 halaman). Ini menjadi ‘ibrah bahwa generasi masa kini
hendaknya menghormati orang shalih dan selalu ingin dekat kepada orang terkasih.
Derajat wali pada hakikatnya titipan dari Allah, bukan predikat yang dipasang
secara mandiri dan diumumkan. Wallahu a’lam.*)