Foto: KHR Asnawi paling ujung kiri bersama KH Abdul Wahab Chasbullah (peci putih), KH Ahmad Dahlan dan KH Bisri Sjansuri saat Muktamar NU 1959.
M. Rikza Chamami
Alumni Madrasah Qudsiyyah Kudus, Pjs Ketua Umum IPNU tahun 2009
& Dosen UIN Walisongo
Dunia pesantren mengenal rabithah
(hubungan guru-murid) yang sangat kuat. Guru selalu menjadi inspirasi para
santri-santrinya yang pernah mengaji. Demikian pula guru, selalu senang jika
melihat para santrinya sukses berkhidmah di tengah masyarakat luas. Tugas
sebagai guru seakan tuntas memiliki generasi penerus. Santri juga merasa
gembira karena dapat meneruskan manfaat ilmu dari para guru-gurunya.
Demikian pula nampaknya yang dirasakan
oleh guru-murid yang sama-sama berjuang meraih kemerdekaan Republik Indonesia
dan mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Siapakah dia? KHR Asnawi Kudus
(1861-1959 M) dan KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971). Dua tokoh pesantren
ini dikenal sebagai sosok guru dan murid yang saling mendukung satu dan lainnya
dalam segala hal perjuangan menegakkan Islam ahlussunnah wal jama’ah.
KHR Asnawi adalah salah seorang guru
dari KH Abdul Wahab Chasbullah ketika mencari ilmu di Makkah bersama KH Bisri
Sjansuri Jombang, KH Dahlan Pekalongan, KH Kamal Hambali Kudus, KH Mufid Kudus
dan KH Ahmad Muchid Sidoarjo (Minan Zuhri: 1983). KHR Asnawi sangat lama
bermukim di Makkah menjadi guru di Masjidil Haram dan mengajar ilmu agam di
rumah pondokannya.
Demikian pula KH Abdul Wahab Chasbullah
disebutkan mulai belajar di Makkah sejak usia 27 tahun dan mukim selama lima
tahun (Ubaidillah Sadewa: 2014). Diantara guru Mbah Wahab selain KHR Asnawi
selama belajar di Makkah adalah: Syaikh Mahfudz Termas (tasawwuf dan ushul
fiqh), Syaikh Mukhtaram Banyumas (Fathul Wahab), Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau (fiqh), Syaikh Baqir Yogyakarta (manthiq), Syaikh Asy’ari Bawean
(ilmu hisab), Syaikh Sa’id Al Yamani (nahwu), Syaikh Sa’id Ahmad Bakry Syatha
(nahwu), Syaikh Abdul Karim Al Daghestany (Kitab Tuhfah), Syaikh Abdul Hamid
Kudus (ilmu ‘arudl dan ma’ani) dan Syaikh Umar Bajened (fiqh).
Dari sisi nasab, kedua Kyai ini
sama-sama keturunan dari Walisongo. KHR Asnawi keturunan dari Sunan Kudus
Sayyid Ja’far Shodiq dan KH Abdul Wahab Chasbullah adalah keturuan dari Maulana
Ishaq (ayahanda Sunan Giri). Sehingga sangat wajar, dalam bidang perjuangan dan
keilmuan antara keduanya sangat memiliki kemiripan. Semangat dalam mencari ilmu
dan ketegasan dalam menjalankan hukum agama juga menjadi komitmen keduanya.
Salah satu perjuangan yang tidak pernah
dilupakan oleh kedua Kyai ini adalah dalam mengusir penjajah. Kekuatan ilmu dan
santri yang dimilikinya, baik di Kudus dan Jombang digerakkan untuk mengusir
penjajah dari bumi Indonesia. Kedaulatan Indonesia sangat dibela mati-matian.
Apalagi penjajah hadir di bumi Indonesia sangat mengganggu hak asasi manusia
dan membawa misi menghanguskan Islam yang sudah dipeluk oleh penduduk
Indonesia.
Sejak masih ada di Makkah, KHR Asnawi
dan KH Abdul Wahab Chasbullah sudah merancang bagaimana Indonesia yang terjajah
oleh Belanda itu bisa merdeka. Mbah Asnawi bersama dengan Mbah Wahab, KH Abbas
Jember dan KH Dahlan Kertosono mendirikan Sarekat Islam (SI) Cabang Makkah.
Gerakan nasionalisme sudah digaungkan dari tanah haram dengan menguatkan
eksistensi SI dalam merespon pergerakan nasional. Sepulangnya ke Indonesia, dua
Kyai ini masih menggelorakan cinta tanah air dan bertekad mengusir penjajah.
KHR Asnawi yang merupakan Penasehat SI
Cabang Kudus dengan gagah berani membuat fatwa: “Haram hukumnya menyamai
pakaian Belanda (bercelana, berjas, berdasi dan bertopi)”. Fatwa ini diindahkan
oleh semua penduduk Kudus dan sekitarnya. Dalam memperjuangkan hak muslim di
Kudus, KHR Asnawi pernah dipenjara oleh Belanda, karena fitnah penjajah “geger
pecinan”.
Dan justru dari balik jeruji penjara,
dakwah KHR Asnawi semakin kuat dan semua santri membala mati-matian dengan
membenci penjajah dan minta KHR Asnawi dibebaskan. Semangat kebangsaan
ditanamkan oleh KHR Asnawi kepada murid-muridnya. Mbah Asnawi mendirikan
organisasi dan madrasah sebelum kemerdekan: Jam’iyyatun Nashihin, Nahdlatul
Ulama dan Madrasah Qudsiyyah.
Hal yang sama juga dilakukan oleh KH
Abdul Wahab Chasbullah. Organisasi SI masih digeluti selama berada di Surabaya.
Gerakan nyata Mbah Wahab dalam mendukung kemerdekaan sudah tidak perlu
ditanyakan lagi. Kemerdekaan dan hengkangnya penjajah menjadi komitmen Mbah
Wahab yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Indonesia, Islam dan kerukunan bangsa
Indonesia perlu diwujudkan.
Persinggungan dan keakraban Mbah Wahab
dengan Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, W. Wondoamiseno, Hendrick Sneevliet,
Alimin, Muso, Abikusno Tjokrosujono dan Soekarno membuatnya semakin kuat
merancang pergerakan cinta tanah air. Termasuk peran Mbah Wahab dalam
mendirikan Islam Studie Club bersama Dr Soetomo pada 1920. Termasuk Mbah Wahab
mulai mendirikan organisasi dan madrasah
sebelum kemerdekaan: Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Nahdlatut Tujjar.
Karya Lagu Pesantren
Diantara wujud kebanggaan dan kecintaan
KHR Asnawi dan KH Abdul Wahab Chasbullah ditunjukkan dengan karya seninya. Dua
Kyai ini dikenal sebagai sosok yang ‘alim dalam agama dan ahli membuat syi’ir
(lagu khas pesantren berbahasa Arab). Apalagi dalam catatan sejarah, Mbah Wahab
belajar ilmu ‘arudl (membahas cara membuat sya’ir berbahasa Arab) dengan
KH Abdul Jalil sejak di Makkah. Dan dunia pesantren memang tidak pernah
melupakan ilmu ‘arudl dan ilmu balaghah (badi’, ma’ani dan
bayan).
Karya pesantren berupa syi’ir
kemerdekaan yang dikarang oleh KHR Asnawi sudah sangat masyhur di kalangan
santri Kudus. Syi’ir kemerdekaan (mudah disebut sebagai Lagu Kemerdekaan khas
pesantren) itu adalah:
لَحُرَّةٌ فِي انْدُنْسِيَا * بَدَتْ لَدَى
إِنْسَانِيَا
وَأَهْلُهَا
مُنْفَرِحُوْ * نَ فَرَحًا
أَبَدِيَا
لِنَيْلِهَا
قَدْ جَاهَدُوْا * أَنْفُسَهُمْ
مَا بَاقِيَا
تَحْتَ يَدَيْ
كُولُونِيَالْ * يَابَانِ
وَالـهُولَنْدِيَا
وَمِنْهُمُو
قَدْ أُعْزِرُوْا * إِلَى
دِيْكُولْ إِيْرِيَانْ جَايَا
وَمِنْهُمُو
قَدْ أُدْخِلُوْا *
فِي
السِّجْنِ قَلْبًا مَرْضِيَا
فَإِنَّهُمْ
قَدْ أَخْلَصُوا * خِدْمَتَهُمْ
وَطَنِيَا
تَهْوِيْ
إِلَيْهِمْ أَفْئِدَ * ةُ الشَّعْبِ
عَوْنًا جَلِيَّا
لِأُمَّةٍ
وَوَطَنٍ * يُقَدِّمُوْا
بِلَادِيَا
جَزَاهُمُوْ
إِلَـهُنَا * أَعْمَالَهُمْ
مُرَبِّيَا
حُرِّيَّةَ
الفِكْرِ الَّتِيْ * تَنَالُ
دِيمُوْكْرَاسِيَا
عَدَالَةً
خَيْرِيَّةً * عِمَارَةَ
اقْتِصَادِيَا
Sungguh kemerdekaan telah jelas bagi bangsa Indonesia
Seluruh bangsa bergembira selamanya
Karena untuk mendapatkan itu dibutuhkan perjuangan total
Dibawah jajahan kolonial Jepang dan Belanda
Ada yang diasingkan di Digul Irian Jaya
Ada juga yang dipenjara dengan penuh kepedihan
Sungguh mereka benar-benar ikhlas mengkhidmahkan diri untuk negara
Jiwa kebangsaan menggerakkan mereka berjuang secara nyata
Demi bangsa dan negara
Semoga Tuhan membalas perjuangan mereka
Dengan menjaga kemerdekaan berpendapat yaitu demokrasi
Menuju kemakmuran keadilan sosial
Adapun lagu kebangsaan yang dikarang
oleh KH Abdul Wahab Chasbullah sudah sangat masyhur dan akan menjadi “Lagu
Perjuangan Nasional”, yaitu:
يَا
لَلْوَطَن يَا لَلْوَطَن يَا لَلْوَطَن
حُبُّ الْوَطَن مِنَ الْإِيْمَان
وَلَا تَكُنْ مِنَ الْحِرْمَان
اِنْهَضُوْا أَهْلَ الْوَطَن
إِنْدُونَيْسيَا بِيْلَادِيْ
أَنْتَ عُنْوَانُ الْفَخَامَا
كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْمَا
طَامِحًا يَلْقَ حِمَامَا
“Pusaka
hati wahai tanah airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah, hai bangsaku!
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah, hai bangsaku!
Indonesia
negriku
Engkau Panji Martabatku
S’yapa datang mengancammu
‘Kan binasa dibawah dulimu!”
Engkau Panji Martabatku
S’yapa datang mengancammu
‘Kan binasa dibawah dulimu!”
Karya Mbah Wahab ini ada yang
menyebutkan dikarang sejak 1916 (versi Cak Anam) dan digemakan sejak 1934
(versi Ubaidillah Sadewa). Keduanya jelas menunjukkan bahwa karya lagu
pesantren ini berada pada posisi sebelum kemerdekaan. Dalam buku “Masterpiece
Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945” karya Zainul Milal
Bizawie (2016: 55) terdapat kalimat tambahan dalam karya Mbah Wahab, yakni:
Jangan
kalian menjadi orang terjajah
Sungguh
kesempurnaan dan kemerdekaan
Harus
dibuktikan dengan perbuatan
Karya pesantren dari dua Kyai ini
menjadikan nyata, bahwa komitmen Kyai dalam mendorong kemerdekaan dan
merayakannya menjadi bagian yang utuh. Maka rasanya terharu sekaligus bangga
mendengar "Yahlal Wathan" karya KH Abdul Wahab Chasbullah Jombang
menjadi Lagu Nasional. Dan guru Kyai Wahab bernama KHR Asnawi Kudus juga
memiliki Syi'ir Proklamasi Kemerdekaan, Shalawat Kebangsaan dan Syi'ir
Nasionalisme menyambut IR Soekarno sebagai Presiden RI.
Zainul Milal Bizawie menegaskan bahwa:
“Setiap langkah Mbah Wahab yang dinamis, beliau selalu meminta nasehat dan
saran dari Kyai Asnawi Kudus. Apalagi dengan keberadaan KH Hasyim Asy’ari yang
selalu hati-hati dan penuh pertimbangan. Dalam kedinamisan dan pergerakannya,
Mbah Wahab selalu minta saran Mbah Asnawi yang lebih aktif dan dinamis”.
Disinilah titik temu Mbah Asnawi dan Mbah Wahab. Keduanya menggambarkan isi
hati dan muatan dakwah Islamnya dalam lagu-lagu yang isinya hampir memiliki
kesamaan.
Hubungan guru & murid ini kompak dalam mendarmabaktikan
ilmu 'arudl-nya untuk Indonesia dengan lagu-lagu kemerdekaan khas Pondok
Pesantren. Mbah Asnawi dan Mbah Wahab adalah sosok Kyai yang benar-benar
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia itu harus pandai dan harus dihibur dengan
lagu khas pesantren untuk menyemangati cinta bangsa sekaligus mengenang jasa
para pahlawan. Semoga lahir Asnawi dan Wahab baru di bumi Nusantara ini. Wallahu
a’lam.*)