Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang & Dosen UIN Walisongo
Keberadaan
Jam’iyyatun Nashihin dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) masih jarang disinggung.
Padahal lewat lembaga ini, NU yang semula hanya berpusat di Surabaya bisa
menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. KH Maimun Zubair seringkali dalam
ceramah-ceramahnya menyinggung keberadaan Jam’iyyatun Nashihin yang menjadi
cikal bakal berkembangnya NU.
Mbah
Maimun menjelaskan: “Jam’iyyah Nashihin ini adalah sebuah organisasi yang ada
kaitannya dengan masalah pengajian. Dahulu namanya nasehat. Kalau sekarang
namanya diganti menjadi pengajian”. Embrio Jam’iyyatun Nashihin itu sudah ada
sebelum NU berdiri. Amirul Ulum (2014) menyebutkan, di Jawa Tengah, sesepuh
Jam’iyyatun Nashihin adalah KHR Asnawi Kudus, KH Ma’shum Ahmad dan KH Khalil
Masyhuri dibantu dengan ulama muda: KH Zubair Dahlan (ayah KH Maimun Zubair).
Setelah
NU dideklarasikan 1926, keberadaannya sudah mulai dikenal oleh masyarakat. Oleh para Kyai, menginisiasi pengembangan
organisasi ulama pesantren ini. Maka dalam Muktamar ketiga di Surabaya tahun
1928, Majelis Khamis (Komisi Lima) memutuskan pembentukan Lajnatun
Nashihin. Sidang Majelis Khamis saat itu dipimpin oleh KH Sholeh Banyuwangi
dengan anggota: KH M Hasyim Asy’ari Jombang, KH Bisyri Syansuri Jombang, KHR
Asnawi Kudus dan KH Muharram Kediri.
Salah
satu tujuan utama dibentuknya Jam’iyyatun Nashihin ini adalah melakukan
pengembangan organisasi NU dengan mendirikan Cabang NU di seluruh Indonesia.
Posisi Jam’iyyatun Nashihin sebagai komisi propaganda yang meyakinkan kepada
masyarakat agar membentuk organisasi NU, mengamalkan akidah ahlussunnah wal
jama’ah dan mencintai bangsa Indonesia yang saat itu sedang mempersiapkan
proses kemerdekaan.
Anggota
Jam’iyyatun Nashihin terdiri sembilan orang, yaitu: KH M Hasyim Asy’ari, KH
Bisyri Syansuri, KHR Asnawi, KH Ma’shum, KH Mas Alwi, KH Musta’in, KH Abdul
Wahab Chasbullah, KH Abdul Halim dan KH Abdullah Ubaid. Tugas para Kyai itu
adalah hadir ke daerah-daerah untuk meyakinkan tokoh masyarakat bersama
masyarakat mendirikan NU dengan menjelaskan visi-misi dan tujuan NU. Dalam
tahap pertama, tugas pembentukan Cabang NU fokus di Jawa dan Madura.
Pembagian
tugas propaganda ini antara lain: KH Bisyri Syansuri, KHR Asnawi, KH Abdul
Wahab Chasbullah dan KH Abdul Halim bertugas untuk pengembangan NU di Jawa
Tengah dan Jawa Barat. Sedangkan KH M Hasyim Asy’ari, KH Ma’shum, KH Mas Alwi,
KH Musta’in, dan KH Abdullah Ubaid mempropagandakan NU di Jawa Timur dan
Madura.
Kerja
tim Jam’iyyatun Nashihin disebutkan oleh Choirul Anam (2015) sangat ampuh dan
efektif. Terbukti dalam waktu tidak terlalu lama, NU Cabang sudah mulai bermunculan
di Jawa dan Madura. Tugas itu kemudian dikembangkan lagi dengan menguatkan
basis NU di luar Jawa dan Madura. Karena NU sudah tidak fokus di Surabaya saja,
maka mulai Muktamar keempat, NU sudah melaksanakan rapat besar di luar
Surabaya.
Periode
perintisan dan pengenalan model propaganda NU selama delapan tahun (1926-1933)
ini memang mengambil para tokoh orator yang handal dan sangat dekat masyarakat.
Sukses mendirikan NU di Jawa dan Madura kala itu juga sudah mulai disambut baik
oleh ulama Kalimantan (Banjar Martapura). Dan itulah yang membuat para Kyai
semakin kuat tekadnya untuk mengembangkan NU di seluruh Nusantara.
Masa
perintisan ini bukan hanya dihabiskan untuk propaganda saja, tetapi lebih dari
itu bahwa Kyai NU tetap menunjukkan komitmen kebangsaannya dalam bidang
pendidikan, dakwah dan ekonomi. Jalan yang dipakai adalah dengan memperkuat
akidah NU dengan pola mengikuti Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama
(AD-ART). Isi dari aturan organisasi NU adalah melakukan hubungan para ulama
dengan model mengikuti empat madzhab dengan mengerjakan apa saja untuk
kemaslahatan agama dan bangsa.
Melihat
pola pengembangannya dengan model dakwah atau pengajian oleh para Kyai orator
ini, maka banyak sekali NU menyebar ke pedesaan. Jam’iyyatun Nashihin ini
menjadi inspirasi sekaligus refleksi keberadaan NU di masa sekarang. Sebab kekuatan
basis pesantren dan Kyai selalu menjadi modal kuat dalam menjadikan NU sebagai
organisasi yang dimiliki oleh banyak umat Islam di Indonesia.
Perlu
sekali mengembalikan potensi Kyai orator dalam pengembangan NU di basis-basis
yang belum tersentuh oleh NU. Termasuk mencari intelektual orator yang
mempropagandakan NU di luar basis pesantren. Dengan demikian,
pengembangan-pengembangan NU yang pernah dilakukan di masa perintisan masih
tetap abadi di masa sekarang.
Maka
sekarang sudah mulai bangkit semangat berorganisasi NU, baik di dalam negeri
hingga luar negeri. Termasuk NU yang hanya berkembang di pedesaan, sekarang
sudah mulai muncul di Kota besar. NU yang semula hanya di pesantren, sudah
mulai bangkit di perguruan tinggi dan perkantoran. Wallahu a’lam.*)