Kontroversi
pembacaan ayat al-Qur’an dengan langgam nusantara (khas Jawa) saat peringatan
isra’ mi’raj di Istana Merdeka menjadi sangat menarik untuk dikaji.Oleh
sebagaian pihak, Menteri Agama RI dituduh melakukan liberalisasi terhadap kitab
suci. Di lain pihak, ada yang menyebut bahwa langgam Jawa untuk pembacaan
al-Qur’an disebut sebagai ekspresi budaya—tanpa merubah kesuciannya.
Membaca
al-Qur’an dengan langgam dan cengkok Jawa memang terasa aneh karena tidak lazim
digunakan. Akan tetapi bagi masyarakat Jawa, gaya melagukan ayat al-Qur’an
semacam itu sudah dimulai sejak lama. Orang-orang tua dan muballigh di
desa-desa sudah sering memakainya. Sehingga dalam konteks budaya Jawa, gaya
langgam Jawa untuk membaca al-Qur’an tidak jadi masalah.
Yang
menjadi masalah akhir-akhir ini adalah ketika sudah disajikan argumentasi fiqh
bahwa al-Qur’an dilanggamkan Jawa itu haram dan menyalahi hadits Nabi. Respon
masyarakat juga menjadi beragam. Bahwa dalam merespon polemik ini tidak hanya
sebatas bicara halal atau halal, tapi ada tiga hal pokok yang perlu diluruskan
sehingga kesucian al-Qur’an tetap terjaga bersama.
Pertama,
menjaga kesucian al-Qur’antetap jadi fokus utama. Semua orang sepakat bahwa
al-Qur’an itu suci dan harus dijaga kemurniaanya dengan empat cara: menjaga
keaslian ayatnya tanpa pemalsuan, menjaga pemaknaan tekstual dan
kontekstualnya, menjaga tata cara membaca dengan pola tajwid dan menjaga dengan
pelestarian pengalaman isi al-Qur’an. Apapun perbedaan persepsi mengenai isi pemaknaan
al-Qur’an, itu dianggap sebagai rahmat agama Islam, karena memang cara memaknai
itu adalah bagian dari pemahaman tokoh agama masing-masing.
Kedua,
sebagai kitab suci, al-Qur’an perlu diajarakan kepada masyarakat dan diamalkan
ajaran-ajarannya. Untuk memelajari ilmu-ilmu al-Qur’an dibutuhkan banyak
perangkat, dari mulai ilmu bahasa arab (nahwu, sharaf, badi’, ma’ani dan
bayan), ulumul qur’an, asbabun nuzul, ilmu tafsir dan lainnya. Maka dari
itu, isi al-Qur’an akan mendalam jika digunakan perangkat pemahaman dengan
bekal ilmu-ilmu itu.
Bagi
muslim yang belum menguasai ilmu-ilmu itu dapat menyederhanakan dengan
mempelajari ilmu tafsir dan tentunya tetap menghargai adanya konsentrasi
ilmu-ilmu lainnya. Dari sinilah isi al-Qur’an akan terungkap dengan detail dan
masyarakat akan mampu mencerna ajaran-ajaran Islam yang original.
Dan
ketiga, untuk melanggengkan isi kandungan al-Qur’an, maka agama Islam mendorong
umatnya untuk membacanya. KH Sahal Mahfudh (2011) menyampaikan bahwa membaca
al-Qur’an berbeda dengan membaca hadits Qudsi, walaupun keduanya adalah kalimat
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Dalam kitabnya, Syaikh Zakaria
al-Anshari menyebutkan bahwa al-Qur’an termasuk al-muta’abbadu bitilawatihi,
mendapatkan pahala ketika membacanya (walaupun tidak mengetahui artinya).
Gaya
Baca
Persoalan
yang sedang hangat diperbincangkan adalah soal membaca al-Qur’an dengan gaya
langgam Jawa. Disini juga ada empat hal yang perlu dilihat secara spesifik.
Pertama, sejarah Islam mencatat bahwa kitab suci ini diturunkan di Makah dan
Madinah sehingga disebut Makiyah dan Madaniyah. Hingga sekarang para muslim
masih mengamalkan bacaan-bacaan al-Qur’an. Dalam posisi membaca pribadi atau
kalangan tertentu, langgam bacaan al-Qur’an menyesuaikan selera pembaca. Dan
yang ditekankan adalah dengan cara baca yang benar menurut ilmu tajwid (ilmu
khusus untuk membaca kitab suci).
Dalam
acara-acara keagamaan, lazimnya al-Qur’an dibaca dengan langgam (sering disebut
memakai lagu) sesuai dengan gaya tartil dan qira’ah. Gaya bacaan tartil ini
lebih sederhana karena al-Qur’an dibaca dengan lagu sederhana dan cengkok yang
tidak terlalu rumit. Sedangkan gaya baca qira’ah ini lebih rumit karena mengikuti
kaidah qira’ah yang lazim digunakan semacam: husaini, bayati, syika, nahwan
dan lainnya. Model qira’ah inilah yang oleh sebagian orang disebut sebagai
bacaan khas bangsa Arab, tempat dimana al-Qur’an diturunkan.
Padahal
perlu diketahui bahwa gaya qira’ah: husaini, bayati, syika, nahwan dan
lainnya itu bukan dari Makah dan Madinah melainkan Iran. Dan Iran menurut Ahmat
Sarwat (2015) pada masa Nabi bukan masuk Arab karena berbangsa dan bahasa
Persi. Jadi itulah kesalah pahaman sejarah atas dasar kebiasaan dilanggamkan
dikira asli Arab. Bahkan para pembaca al-Qur’an di dunia juga melanggamkan
dengan gaya negaranya masing-masing seperti Mesir, Turki, Lebanon, Yaman dan
lainnya.
Jadi
perlu ditegaskan bahwa sejarah panjang ini jangan sampai dipotong atas dasar
kebiasaan mendengar lantunan langgam saja, sehingga menyimpulkan dengan
“kebiasaan” tapi tidak ilmiah.
Kedua,
membaca dengan gaya langgam adalah budaya masyarakat. Al-Qur’an sebagai teks
dan berisi ajaran tetap utuh keberadaannya, sedangkan masyarakat luas berhak
atas budayanya masing-masing dalam membacanya. Orang Arab akan menggunakan
langgam khas arabnya, begitu pula orang Indonesia berhak atas cara baca langgam
dengan budayanya.
Kalau
kemarin yang ditampilkan adalah langgam dan cengkok Jawa, maka tidak menutup
kemungkinan akan menyusul langgam Sunda, Melayu, Bali, Papua dan lainnya. Jadi
kalau ada pihak yang tidak sepakat dengan langgam Jawa adalah bagian dari
ketidaksetujuan terhadap budaya dan bukan ketidaksepakatan terhadap gaya baca
al-Qur’an. Intinya bahwa bacaan langgam Jawa adalah untuk membumikan al-Qur’an
dengan pendekatan budaya nusantara.
Ketiga,
bahwa langgam adalah seni membaca. Dan seni inilah yang akan memperindah dan
menghibur notasi teks yang dibaca. Bisa diibaratkan bagi masyarakat yang sudah
maniak dengan dangdut, maka dengan lirik lagu yang sama dirubah menjadi
keroncong atau jazz akan nampak aneh dan cenderung menolaknya. Sama dengan
langgam al-Qur’an yang sudah mainstream dan baku dibaca orang-orang Timur
Tengah, ketika dilanggamkan Jawa akan terasa aneh dan mengagetkan. Itulah seni
baca al-Qur’an dan terkait dengan budaya.
Oleh
sebab itu wajar jika qari’ interasional dari Arab Saudi,
Syaikh Abdullah bin Ali Bashfar ikut menanggapi dan kurang setuju dengan gaya
langgam Jawa dalam membaca al-Qur’an. Ada lima catatan yang diberikan dalam
menanggapi video bacaan Muhammad Yaser Arafat saat membaca al-Qur’an dengan
lagu Dandanggulo Macapat Jawa, yakni: kesalahan tajwid, kesalahan lahjah
(logat), kesalahan takalluf (memaksakan), kesalahan niat dan memperolok-olok
ayat Allah.
Ketika orang Arab memberikan koreksi
yang demikian itu sangat wajar karena ada perbedaan budaya dan logat. Sama
halnya ketika orang Jawa di daerah Wonosobo dan Purworejo misalnya tidak bisa
melafalkan ‘ain, karena biasa menyebut nga’in. Bagi orang yang
paham budaya akan memaklumi karena ini adalah soal kebiasaan dan dialek orang
Wonosobo dan Purworejo demikian. Walaupun membaca al-Qur’an mereka susah
mengucapkan ‘ain dan itu tidak disalahkan. Lahirnya qira’ah sab’ah(tujuh
cara baca al-Qur’an) juga karena faktor dialek masyarakat Timur Tengah yang
berbeda-beda dalam pelafalan dan detail bacaannya.
Dan
keempat, pentingnya menghormati perbedaan. Adanya perbedaan dalam gaya membaca
al-Qur’an tidak perlu diperpanjang karena ini ranah budaya dan seni baca al-Qur’an.
Yang terpenting adalah bagaimana masyarakat digugah kembali untuk peduli
terhadap kerajinan membaca al-Qur’an dan peduli terhadap cara baca yang benar
sesuai tajwid. Termasuk yang terpenting adalah mengamalkan isi al-Qur’an untuk
memperbaiki Indonesia dan dunia.*)
No comments:
Post a Comment