Berita ijazah
palsu akhir-akhir ini menghiasi media elektronik dan cetak. Kampus yang
harusnya memberi tauladan baik, justru melakukan transaksi haram berupa
jual-beli ijazah. Dan lebih aneh lagi, Pegawai Negeri Sipil (PNS) ada yang kepincut
membeli ijazah palsu. Dan adapula indikasi anggota dewan turut membeli dan
mempergunakan gelar palsu itu. Seakan kasus semacam ini sudah menjadi praktik
lama, namun sekarang mulai terkuak lagi.
Jika memang
pada akhirnya benar ada oknum PNS dan anggota dewan yang terlibat membeli dan menggunakan
ijazah palsu, maka dibutuhkan pembinaan. Pembinaan ini menjadi cara pertama
yang dilakukan. Dengan pola pembinaan semacam ini ada penyadaran bahwa cara
demikian itu tidak dibenarkan. Setelah itu, jika memang tidak ada perubahan,
pejabat yang berwenang dapat memberikan sanksi hingga pemecatan.
Problem ini
memang perlu dituntaskan hingga selesai. Artinya jangan sampai terulang lagi
kasus jual-beli ijazah. Disinilah tugas pemerintah Jokowi untuk berani
membersihkan skandal kampus bodong dan Rektor palsu. Siapapun yang terlibat
disitu perlu diberikan konsekuensi hukum yang berlaku. Sebab jika tidak
hentikan, citra Indonesia dalam dunia pendidikan akan semakin terpuruk. Lembaga
pendidikan tinggi yang harusnya menjunjung tinggi kehormatan intelektual hilang
dan tergadaikan.
Ketegasan
mengenai praktik ijazah palsu sudah dilakukan sejak jaman SBY. Ketika terungkap
kasus ijazah palsu, maka Pemerintah saat itu menutup kampus dan mencabut izin
operasional pendidikan. Termasuk di era SBY melarang dibukanya kelas jauh—baik
untuk kampus swasta dan negeri. Sebab kelas jauh terkadang juga menjadi praktik
terselubung “konspirasi pendidikan” yang menjadi awal dari lahirnya ijazah
palsu.
Ada kampus
bodong di tengah Kota dengan pemodal besar mencari “mahasiswa”. Kuliah
dilakukan di rumah, warung makan, tempat umum, sekolah dengan hanya beberapa
kali pertemuan. Setelah dianggap mencukupi, maka rekap nilai keluar dan
diwisuda bersama-sama. Ini salah satu praktik kelas jauh yang secara akademik
memang menjadi pemicu lahirnya ijazah palsu karena model perkuliahannya hanya
formalitas. Hal itu diperparah dengan adanya kampus fiktif, tidak ada kampusnya
tapi ada ijazahnya.
Demi Karir
Maraknya ijazah
palsu hampir rata-rata disebabkan karena tuntutan karir. Tidak lakunya ijazah
SMA/SMK/MA untuk jenis pekerjaan kantoran dengan gaji besar mendorong orang
untuk mengambil jalan pintas. Apalagi jika ada kantor atau perusahaan yang
berani menjanjikan gaji besar dan seleksi pegawainya tidak ketat.
Kecenderungan
orang yang sudah sibuk kerja dan berduit, kuliah abal-abal itu menjadi solusi.
Di satu sisi, pegawai kantor (atau calon pegawai) sangat membutuhkan ijazah. Di
sisi lain, ada kampus yang bisa melayani jasa itu. Istilah orang Jawa menyebut
dengan: tumpu entuk tutup sebagai teori pasar ada pembeli dan penjual.
Di tingkatan
PNS juga demikian. Adanya aturan-aturan yang mengharuskan ijazah S1 bagi yang
ingin naik golongan III dan S2 untuk golongan IV membuat PNS gelisah. Dengan
tuntutan kerja yang tinggi dan kesibukan kantor lainnya, maka kuliah abal-abal
ditempuh. Bagi para calon anggota dewan juga sama. Mereka ingin keren namanya
bertitel agar menarik simpati masyarakat.
Bahwa mereka
sudah lupa bahwa gelar yang dipakai hanya memenuhi ambisi pribadi itu membuat
harga dirinya hilang. Gelar kesarjanaan, magister atau doktor bukan hanya
sekedar gelar dengan bukti satu lembar kertas ijazah. Tapi gelar pendidikan itu
cerminan dari kualitas SDM. Maka sangat wajar kalau SDM bangsa Indonesia di
bawah standart karena ulah oknum-oknum semacam ini. Intinya bahwa Pemerintah
harus mulai tegas untuk menutup kampus bodong dan membuat aturan-aturan yang
mengikat agar praktik semacam ini tidak terjadi lagi.
Pusat Data
Dengan
diberlakukannya kebijakan kampus membuat Pusat Data Perguruan Tinggi (PDPT),
minimal ini menjadi solusi meminimalisasi ijazah palsu. Semua data proses
pendidikan akan terekam dengan baik, dari mulai pendaftaran, perkuliahan, hasil
nilai yudisium, tugas akhir hingga wisuda. Sudah saatnya Pemerintah mewajibkan
semua kampus memiliki PDPT secara online dan mencabut izin kampus yang tidak
memakai PDPT.
Selain itu,
penting pula dipikirkan bersama tentang integrasi data kependidikan dari mulai
tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Jadi ada pusat data online yang mencatat
dan merasionalisasi rekam jejak pendidikan seseorang dan itu berjalan secara
berkesinambungan. Sejak daftar SD sudah direkam dengan hasil nilainya. Ketika
masuk SMP, data itu berlanjut seterusnya hingga kuliah. Kalau semua data sudah
online semacam ini dan ijazah tercetak secara online, kemungkinan pemalsuan
ijazah dan kampus bodong akan hilang.
No comments:
Post a Comment