Indonesia
menjadi negara yang sangat menanti kedewasaan memahami pluralisme.
Keanekaragaman suku, bahasa, budaya dan agama yang dimilikinya membuat negeri
ini rawan konflik, apabila warganya tidak mampu memahami ruh bhineka tunggal
ikha. Oleh sebab itulah sudah waktunya melakukan reformulasi makna kebhinekaan
ini untuk kepentingan kerukunan dan kedamaian negeri.
Salah
satu tokoh yang patut untuk dijadikan tauladan dalam memaknai kedewasaan
pluralisme ada Laksamana Cheng Ho. Sosok Cheng Ho menjadi unik jika dilihat
dari latar belakang kehidupannya hingga ketokohannya—yang menjadikannya figur
agung bagi semua agama. Cheng Ho yang lahir
di Kunyang Provinsi Yunnan Tiongkok pada tahun 1371 ini dikenal sebagai
muslim shaleh bangsa Hui bermadzhab Hanafi. Ia berasal dari keluarga taat
beragama yang mana kakek dan ayahnya telah menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Setelah
ditangkap oleh Dinasti Ming, Cheng Ho kecil dikebiri dan menjadi sida-sida di
tengah kerajaan. Ia hidup di tengah istana untuk melayani keluarga kerajaan
hingga akrab dengan Pangeran Yan Wang. Setelah terjadi perang sauadara dan Yan
Wang naik tahta dengan gelar Ming Cheng Zu (Kaisar Yung Lo), Cheng Ho dilantik
menjadi Komandan Pasukan Kawal di Nanjing. Karena kesuksesan Cheng Ho, maka
dianugerahi gelar Zheng (The) dan diangkat sebagai Tai Jian (Tay Kam) atau
sida-sida agung. Kepercayaan Kaisar Yung Lo meningkat dengan menunjuk Cheng Ho
sebagai Laksamana yang memimpin ekspedisi maritim untuk menjelajahi dunia
hingga tujuh kali.
Atas
dasar kecerdasannya, agama Islam yang diyakini oleh Cheng Ho bukan menjadikan
dirinya menjadi minoritas di tengah istana. Agama dijadikan sebagai ideologi
pribadi, sedangkan kehidupan berbangsa di Tiongkok dijalaninya dengan sikap
pluralis. Sebagai agama minoritas di Tiongkok, Islam versi Cheng Ho tidak
dijadikan simbol fanatisme. Tetapi justru Islam ditunjukkan sebagai pondamen
hidup yang mampu berdampingan membesarkan Tiongkok.
Maka,
bagi Cheng Ho, Islam yang dia yakini diimbangi dengan pemahamannya terhadap
agama Tiongkok lainnya semacam confusianime, taoisme dan
budha. Cheng Ho memahami bahwa Confusius juga disebut sebagai bapak ilmu
filsafat dan ilmu politik memegang prinsio: “Saya mengajarkan akan tetapi tidak
menemukan (ilmu pengetahuan)”. Bagi Cheng Ho, ajaran confusianime lebih
mengedepankan prinsip relasi antar manusia dan tidak menyinggung manusia dengan
alam semesta.
Sedangkan
ajaran taoisme yang ditemukan oleh Lao Tzu mengajarkan tentang segala sesuatu
selayaknya harus selalu pada alur tujuannya masing-masing. Lao Tzu menekankan
hubungan baik antara manusia dengan manusia dapat dicapai hanya dengan
menghapuskan kebencian dari dalam diri manusia itu sendiri—termasuk membuang
hasrat duniawi. Prinsip dasar pandangan dua ideologi Tiongkok yang dipegang itu
hampir sama dengan agama Islam, walaupun keyakinan dan teologinya sangat
berbeda. Tetapi ruh dari ajaran untuk cinta terhadap kebersamaan dan memahami
perbedaan itu sama.
Bagi
masyarakat Tiongkok, kehadiran Buddhisme juga disambut baik oleh masyarakat
karena agama ini tidak jauh berbeda dengan visi confusianime dan taoisme.
Sehingga banyak warga Tiongkok yang memeluk agama Budha. Dan bagi Cheng Ho,
Budha juga dilihat sebagai realitas agama masyarakat yang mengedepankan prinsip
teologi dan keteguhan memegang hidup damai dan sejartera.
Islam di
Tiongkok juga hadir sebagai agama yang dibawa dari Arab dan Persia relatif
sedikit karena datang lebih belakangan. Maka oleh Cheng Ho, bagaimana Islam
yang minoritas itu mampu memberikan kontribusi bermakna dalam membentuk
Tiongkok sebagai negara yang berdaulat dan mempunyai relasi dengan
negara-negara lainnya. Islam yang dipeluk oleh Cheng Ho bukan Islam ekslusif
dan fanatik yang memisahkan antara agama dengan kehidupan bangsa.
Sehingga,
yang petut dilihat secara komprehensif adalah hubungan Confusianisme, Taoisme,
Buddhisme dengan Islam di Tiongkok dalam perpektif kehidupan Cheng Ho patut
untuk ditilik secara lebih mendalam. Sebagai pemeluk agama minoritas, Cheng Ho
pernah mendapatkan ancaman dari tentara Ming hingga merasakan dikebiri hingga
dijadikan kasim di istana. Namun Cheng Ho juga menyadari betul bahwa ideologi
agama tidak dapat ditukar dengan sebegitu mudah. Maka Cheng Ho memberi warna
baru tentang kedewasaan memahami pluralisme.
Sampai
hari ini Cheng Ho menjadi sosok yang diagungkan oleh agam Konghucu dengan
pemujaan di Klenteng Sam Po Kong. Bagi agama Budha, Cheng Ho pernah mendapatkan
gelar Fu Shan (Hok Sian) karena dianggap ahli agam Budha. Melihat begitu
besarnya jasa Cheng Ho dalam menjadikan relasi dunia, maka ada empat hal yang
patut dijadikan teladan dalam pluralisme Cheng Ho ini.
Pertama, agama
bukan menjadi pintu penutup komunikasi bermasyarakat. Banyak sekali konflik
yang terjadi akibat fanatisme agama. Maka adanya enam agama resmi di Indonesia
perlu dipahami sebagai warna-warni kehidupan sebagai sebuah kesatuan bangsa
Indonesia. Jika agama dijadikan dasar untuk kesatuan, maka wilayah agama yang
privat jangan dijadikan konsumsi publik.
Kedua, pengembangan
politik kebangsaan perlu didasari dengan kedewasaan pluralisme. Bangsa akan
maju jika masyarakat mampu mendewasakan pluralisme dengan memberi kesempatan
siapapun untuk mengekspresikan diri. Ketika ada yang tidak cocok, maka segera
dilakukan musyawarah dan penyelesaian masalah dengan seksama. Tidak adanya
titik temu dalam merumuskan masalah kebangsaan banyak diakibatkan oleh egoisme.
Ketiga,
menjaga keutuhan nasionalisme bangsa dengan prinsip-prinsip humanisasi. Artinya
perlu memanusiakan manusia dengan menjunjung tinggi solidaritas dan memahami
segala bentuk perbedaan. Jika ada yang berbeda, maka fanatisme dan egoisme
harus segera diganti dengan sikap inklusif.
Dan keempat,
mengefektifkan kembali forum-forum diskusi lintas agama, lintas budaya dan
lintas politik untuk tujuan yang lebih mulia, yakni Indonesia yang terbebas
dari konflik. Jika kita pahami secara utuh, maka Cheng Ho dapat dijadikan
inspirator dalam mendewasakan pluralisme bangsa Indonesia.*)
M. Rikza
Chamami, MSI – Dosen dan Mahasiswa
Program Doktor
Universitas Islam Negeri Walisongo
No comments:
Post a Comment