Kesadaran Internasional Menangani Rohingnya

Miris rasanya melihat berita Koran Tempo, Kamis 28 Mei 2015 yang memuat “Masih 2.500 Pengungsi di Laut” dan “Kontroversi Biksu ‘Teror’ Wirathu”. Rasanya penyelesaian imigran Rohingnya selalu mengalami kendala berarti karena belum ada solusi yang jitu bagi mereka. Sejak adanya diskriminasi dan kekerasan sektarian terhadap minoritas tahun 2004 dan eksodus pengungsi mulai 2012, Rohingnya selalu jadi isu internasional.
Namun isu itu cukup lambat ditangani. Kelambatan penanganan pengungsi ini masih didasari atas tiga hal: normatifitas aturan imigrasi, belum adanya perjanjian kerjasama negara dan sensitifitas pemaknaan konflik agama. Dari sinilah perlu kembali menggugah semangat internasional untuk merangkul dan menyelesaikan pengungsi dan “manusia perahu” Rohingnya ini.
Maka sangat tepat jika negara-negara ASEAN dan 19 negara lainnya akan berkumpul di Thailand membahas penyelesaian krisis pengungsi ini. Diharapkan dari forum dimaksud benar-benar menghasilkan solusi dan bukan membuat masalah baru. Untuk menyelesaikan krisis pengungsi ini, fokus pembahasan materi pada soal bantuan kemanusiaan. Jangan sampai, isu bantuan kemanusiaan dihiasi dengan ketegangan politik, yang akan membuat masalah baru.
Misi kemanusiaan dalam suasana seperti ini sangat penting. Sebab sebaran pengungsi asal Myanmar ini ada di Indonesia 1.000, Malaysia 120.000 dan di tengah laut masih ada 2.621 orang. Belum lagi pengungsi ilegal lainnya yang menyebar di Bangladesh, Australia dan negara lain. Bahwa manusia (siapapun) memiliki hak hidup dan kebebasan. Namun jika hak-hak itu terampas oleh kebijakan negara, maka disitulah kewajiban negara lain untuk menolong.
Konflik intern negara itu memang perlu diurai secara perlahan. Adanya diskriminasi minoritas Muslim Rohingnya oleh pemerintah Myanmar tidak hanya semata soal agama. Pastinya ada isu-isu lain yang menjadi penguat gerakan diskriminasi dan kekerasan sektarian itu. Maka pusaran persoalan ini yang perlu digariskan untuk dibicarakan secara bersama, agar pemerintah Myanmar tidak melakukan kembali diskrimiasi itu.
Jika masalah itu diselesai satu per satu atara kebijakan negara dan sentimen agama, maka persoalan ini akan selesai. Yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran dan kedewasaan berpolitik dan bernegara di Myanmar. Dan alangkah baiknya, jika pertemuan negara ASEAN dan 19 negara lainnya itu mengajak Myanmar untuk melakukan literasi politik untuk mencari solusi kemanusiaan.
Persoalan semacam ini memang tidak akan pernah selesai kalau tidak ada sikap legowo Myanmar. Maka statemen Bernard Kerblat dari perwakilan UNHCR Filipina tentang pengungsi Rohingnya tidak akan dikembalikan ke Myanmar akan menjadi problem baru. Jika memang pengungsi itu tidak dikembalikan ke negara asalnya, negara mana yang mau menerima secara terbuka dan menghidupi secara total.
Apabila memang yang dilakukan itu, maka proses naturalisasi kewarganegaraan juga menjadi solusi, termasuk pendampingan ekonomi dan pendidikan. Alangkah lebih baik jika solusi pertama yang diambil adalah dengan mengembalikan ke Myanmar dengan jaminan kedamaian dan pengakuan kewarganegaraan.
Dalam konteks menyelesaikan penerimaan terhadap pengungsi ilegal ini, tentu masih banyak negara yang butuh dilibatkan. Dan semata-mata ini dilakukan atas dasar prinsip bantuan kemanusiaan. Negara-negara tetangga akan mementingkan penyelamatan nyawa dan perlindungan hak asasi manusia.
Salah satu hal pokok yang perlu ditegaskan dalam menangani Rohingnya ini adalah tidak menarik-narik isu agama. Jika simbol agama dijadikan pintu masuk diplomasi, maka semuanya akan mentah. Sebab, terkadang agama dijadikan penghalang untuk memberi bantuan dan ini sudah tidak sehat.
Oleh sebab itu, menggugah kesadaran dunia internasional dalam menyelamatkan nyawa warga Rohingnya adalah murni solidaritas dan misi kemanusiaan. Sebaiknya, Badan PBB untuk Urusan Kemanusiaan UNHCR dan Organization for Imigraton (IOM) bergerak lebih cepat menggugah kesadaran semua negara (tidak hanya ASEAN) untuk menyelesaikan krisis pengungsi ini.*)


No comments:

Post a Comment

@mrikzachamami