DILEMA DUGDERAN PASCA MUSIBAH JOHAR


Tradisi pasar dugderan yang menjadi peninggalan nenek moyang Kota Semarang untuk tahun 2015 ditiadakan. Langkah ini diambil oleh Pemerintah Kota Semarang demi menjaga kondisi psikologis pedagang pasar Johar yang masih dirundung duku akibat kebakaran. Tidak semua orang bisa menerima keputusan ini. Nyatanya ada salah satu tokoh budaya yang masih mendorong dugderan tetap digelar tapi sederhana.
Dugderan bagi masyarakat memang sebuah tradisi yang unik dan harus dilestarikan. Dari dugderan ini mengandung empat makna yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, dugderan menjadi pesta rakyat meluapkan kebahagiaan menyambut datangnya ramadan dengan menjual dagangan. Kedua, penyatuan masyarakat dalam pasar musiman yang berarti kebersamaan. Ketiga, kesetiaan masyarakat dalamnguri-nguri budaya. Dan keempat, wujud kesalihan beragama secara damai.
Makna solidaritas itulah yang nampaknya berat untuk ditinggalkan. Dapat dilihat, selama dugderan digelar antusiasme masyarakat sangat besar. Mereka hadir selain untuk hiburan juga untuk berbelanja. Aneka dagangan yang dijajakan juga beraneka ragam. Dan ciri khas dugderan menjadi penanda bahwa bulan suci ramadan akan mulai dekat. Dengan dugderan inilah masyarakat mulai sadar dan siap-siap menjalani ibadah puasa selama sebulan.
Selain itu, dugderan memberikan daya tarik wisatawan untuk hadir di Kota Semarang. Sebab Semarang memiliki identitas khusus dengan tradisi dugderan yang memiliki nilai agama, budaya dan persatuan masyarakat. Wajar sekali, pesta dugderan ini selalu dilaksanakan untuk tiap tahunnya. Dengan pola dugderan yang digelar “musiman” dan didagangkan aneka ragam barang itu menjadikan orang bersemangat untuk membelinya.
Adapun puncak dugderan diisi dengan pawai rakyat dan mendengarkan pengumuman resmi pemerintah tentang awal ramadan. Disinilah yang menjadi hal pokok. Bahwa masyarakat punya antusiasme kuat menanti keputusan resmi pemerintah dalam menjalankan ibadahnya. Jadi agenda ini bukan hanya sekedar tradisi tahunan yang tidak bermakna. Justeru dugderan inilah yang menjadi pertanda penting kepatuhan masyarakat kepada pemerintah dan bukti perhatian pemerintah pada rakyatnya. Untuk puncaj dugderan, Walikota Semarang tetap berkomitmen melaksanakan dengan cara yang lebih sederhana.

Memahami Suasana Batin
Di tengah kesedihan pedang pasar Johar yang terkena bencana kebakaran memang tepat jika pasar dugderan itu ditiadakan. Jika dugderan tetap dipaksakan di daerah pasar Johar, maka ada hal yang mengganjal. Pedagang tetap pasar Johar sedang menata hati, meratapi kesedihan dan kembali bangkit dengan membuat lapak jualan sementara. Mereka juga masih kesusahan mencari modal dan memulai kembali berjualan. Tiba-tiba ada pedagang “musiman” yang berjualan di tengah kesedihan itu.
Sangat tidak mungkin jika kondisi itu dibiarkan—yang akhirnya membuat pola “menjaga perasaan” itu hilang. Dugderan yang mestinya digelar untuk membangun solidaritas justeru beralih menjadi kompetisi bisnis yang tidak sehat. Dan ini akan berdampak pada sisi negatif di lapangan. Sebab area dugderan tepat di pusat titik bencana kebakaran dan sedang dibangun lapak-lapak sementara.
Hal yang sangat mungkin untuk dilakukan jika memang benar-benar dugderan “dipaksa” untuk diadakan, ada tiga pertimbangan yang perlu dilalui. Pertama, lokasi dugderan digeser dan dijauhkan dari pasar Johar. Kedua, butuh analisa tentang lalu lintas kota agar tidak membuat titik kemacetan baru. Dan ketiga, menghitung secara ekonomis untung rugi-pedagang musiman saat direlokasi. Maka dari itu, pilihan untuk menyederhanakan pasar dugderan di dekat Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) menjadi tepat. Selain jauh dari pasar Johar, lokasi MAJT ini dekat dengan pusat pawai dugderan yang digunakan sebagai tempat mengumumkan awal ramadan.

Nampaknya memang tidak mudah mengambil keputusan dilematis ini. Di satu sisi dugderan menjadi tradisi yang sudah turun temurun dilakukan, di sisi lain pemerintah sedang memberi perhatian dan belas kasihan pada pedagang Johar. Yang paling penting saat ini dilakukan adalah dengan mengemas acara puncak dugderan dengan meriah dan tidak melepaskan nilai budaya. Dan tentunya tradisi pawai dimaksud melibatkan seluruh komponen masyarakat Kota Semarang untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan warga. Dan itulah inti dari dugderan, yakni menyatukan masyarakat dengan penuh kesetiaan pada agama, bangsa dan negara.*)

No comments:

Post a Comment

@mrikzachamami