Pendidikan
agama selalu menjadi harapan terbentuknya akhlak mulia dan jiwa kebangsaan yang
berdasar pada nilai agama. Akhlak mulia dalam pendidikan agama Islam diajarkan
dengan memberikan dasar-dasar agama dalam mata pelajaran fiqh, tauhid, akidah
akhlaq dan sejarah kebudayaan Islam. Sedangkan jiwa kebangsaan menjadi materi
yang dimasukkan dalam empat pelajaran dimaksud. Dengan dua bekal itu,
pendidikan agama tidak lagi menjadi awal lahirnya gerakan radikalisme.
Kekhawatiran
terhadap pendidikan agama diajarkan untuk membentuk radikalisme perlu
diluruskan. Agama bukan sebagai lembaga yang melegitimasi kekerasan dan
perpecahan. Justru agama hadir sebagai respon masyarakat untuk menumbuh
kembangkan akhlak mulia dan persatuan bangsa. Ini sesuai dengan pesan Nabi
Muhammad: innama buitstu li utammima makarima al-akhlaq, Nabi diutus di
muka bumi untuk tujuan menyempurnakan moral.
Disinilah pusat
perhatian masyarakat perlu diarahkan pada titik yang lebih benar. Pendidikan
agama seringkali dijadikan bahan pergunjingan terkait problem politik. Agama
Islam dianggap susah dipelajari karena menggunakan bahasa Arab dan selalu
mengintimidasi dengan dosa dan neraka. Padahal ruh dari agama bukan hanya itu.
Agama merupakan manivestasi kemasyarakatan yang dipadukan dengan sikap,
perilaku, perkataan dan persaudaraan yang bermoral.
Jika ada ajaran
agama Islam yang mendorong sikap perpecahan dan garang, tugas kita semua untuk
mengarahkan. Cara memahami agama yang demikian, tentu hanya berdasar pada
pemaknaan agama secara normatif dan tekstualis. Agama Islam memang memiliki
sumber dari teks wahyu (al-Qur’an dan hadits). Namun cara untuk memahami teks
wahyu tidak hanya dilakukan dengan memaknai kata per kata, tapi harus dilihat
isi dari teks itu. Dalam istilah studi agama, teks perlu diterjemahkan sesuai konteksnya.
Melatih Guru Agama
Melihat
kenyataan yang berkembang akhir-akhir ini, dimana masih ada guru agama yang
fanatik dan cenderung radikal,maka sudah waktunya dibuat pelatihan guru agama
bertema “agama dan kebangsaan”. Dalam konteks kehidupan individual, agama perlu
diajarkan secara doktriner, namun untuk sosial, agama menjadi perekat dengan
toleransi. Termasuk memahamkan mengenai peran kebangsaan yang dinomorsatukan.
Jika bangsa
Indonesia memiliki Pancasila, maka guru agama sangat perlu berkolaborasi dengan
guru pendidikan kewarganegaraan dalam menekankan jiwa kebangsaan. Untuk
mewujudkan cara pandang guru agama yang demikian, diperlukan usaha maksimal
dengan empat pola pendekatan.
Pertama,
pendekatan agama berbasis teoantroposentris. Pandangan agama Islam yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad adalah Islam rahmatan lil alamin (agama
kasih sayang untuk dunia). Sehingga pemahaman agama yang bertuhan dan
berperikemanusiaanlah yang perlu dikembangkan. Agama bukan dijadikan alat untuk
membuat diri hambanya tertutup untuk berkomunikasi dengan agama lainnya. Sebab
pada dasarnya, agama-agama di luar Islam juga mengajarkan kasih sayang.
Sehingga perlu penyamaan visi dalam membangun agama yang lebih produktif
terhadap nilai budaya setempat. Artinya agama dan budaya diharapkan mampu
berjalan secara bersamaan.
Kedua,
pendekatan pancasilais. Sebagai negara yang mengakomodir enam agama resmi dan
mengakui masih banyak aliran kepercayaan, maka agama sepatutnya dimaknai secara
komprehensif. Bahwa agama mampu memberikan kontribusi terhadap nilai
ketuhanan—dengan penuh kesadaran bahwa memang ada perbedaan. Falsafah hidup
Pancasila mencoba memberikan batasan terhadap perbedaan itu. Perbedaan yang ada
justru menjadikan modal bangsa untuk bersatu dengan prinsip bhineka tunggal
ika. Artinya bahwa bangsa Indonesia diminta untuk lebih dewasa menghadapi
perbedaan dengan saling menghormati.
Ketiga,
pendekatan kemanusiaan. Sangat tidak mulia bila bangsa yang sudah merdeka ini
kembali bermasalah. Apalagi masalah itu lahir oleh dan untuk bangsa Indonesia
sendiri. Dengan pendekatan kemanusiaan diharapkan, para guru agama mampu
merespon jatidirinya sebagai manusia yang sama mengabdi untuk Tuhan dan
agamanya. Namun wujud dari pengabdian Tuhan, di muka bumi perlu diselaraskan
dengan pengabdian masyarakat. Maka prinsip kemanusiaan itu yang dijaga secara
baik. Mengajarkan agama atas nama Tuhan namun mencederai hak asasi manusia
adalah kurang tepat.
Dan keempat,
pendekatan kemajuan berasaskan anti konflik. Bangsa Indonesia sangat menantikan
kemajuan di bidang apapun. Di tengah usaha untuk mengejar ketertinggalan
terhadap bangsa lain, sungguh ironis jika bidang agama malah mengalami kemunduran.
Salah satu kemunduran agama ditunjukkan dengan konflik pengikut agama di
Indonesia. Maka sudah saatnya menjadikan agama sebagai pemersatu bangsa untuk
menjadikan Indonesia semakin maju dalam kompetisi internasional.
Empat
pendekatan ini akan memantik keseriusan para guru agama dengan mengedepankan
prinsip dialog agama, bukan prinsip asal benar menurut ideologinya. Dialog
agama akan membantu jiwa kritis terhadap keberagaman. Termasuk menjadikan guru
semakin sadar tanggungjawabnya mencerdaskan siswanya dengan model agama yang
pluralis, bukan agama radikalis.
Indonesia Damai
Dengan cara
yang semacam ini, harapan untuk membuat Indonesia damai semakin mudah. Indonesia
sebagai negara Pancasila selayaknya melangkah lebih maju dalam bidang agama
untuk menyokong globalisasi. Nilai agama dan nilai Pancasila diajarkan secara
berimbang agar tidak ada salah dalam menerjemahkan hidup beragama dan
berbangsa. Karena hakikat hidup berbangsa dengan penuh kedamaian dan kerukukan
itulah ajaran agama dijalankan.
Mendidik generasi
bangsa seyogyanya meniru model pendidikan agama versi Nabi. Dimana saat hadir
di Madinah, pengikut Nabi dilatih untuk bersatu dan merukunkan kabilah-kabilah
yang puluhan tahun sebelumnya saling berkonflik. Saat itu saja, Nabi mampu
melakukan dengan baik karena pengikutnya diajarkan prinsip Islam dengan landasan
toleransi.
Usaha dibutuhkan
cara mengurai masalah radikalisme di sekolah adalah dengan tiga hal. Pertama,
menyediakan bahan ajar (buku/ensiklopedi/LKS) yang tidak tendensius terhadap
ideologi Islam kanan. Maksudnya, paham agama Islam yang mengarah pada sparatis
dan teroris jangan sampai masuk dalam materi-materi agama. Ketika materi
menjelaskan tentang jihad misalnya, tidak hanya diartikan perang dengan bom.
Tapi harus dijelaskan dengan jihad akal dan nafsu yang dikembangkan dengan
mencari ilmu dan menahan nafsu yang jelek.
Kedua,
mengajarkan agama secara komprehensif-konstruktif. Artinya bahwa materi agama
disajikan secara utuh, jangan dipotong-potong yang akhirnya menjadikan siswa
bingung. Akhirnya siswa jauh dari agama dan menganggap agama tidak penting. Dan
ketiga, mengarahkan kegiatan keagamaan di luar kelas. Adanya organisasi
keagamaan siswa di luar OSIS juga perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak
sekolah. Jangan sampai generasi muda kita sudah mulai terjangkit virus
radikalisme agama sejak duduk di bangku kuliah.*)
No comments:
Post a Comment