Pers tidak lagi
hadir sebagai pembela penguasa atau hanya menjadi oposisi bagi penguasa. Tetapi
pers hadir sebagai informan yang mampu menyeimbangkan informasi agar semua
kehendak masyarakat mampu tersalurkan dengan baik. Era demokrasi tidak memberikan
keterbatasan bagi pers untuk menuliskan apapun yang diinginkan. Disinilah
kebebasan pers diperjuangkan dalam mengawal kedewasaan berdemokrasi.
Yang patut
untuk dipertegas hari ini adalah bagaimana kebebasan pers itu tetap berjalan
dengan baik tanpa membawa dampak negatif bangsa. Yang menjadi dasar dari
kebebasan pers ini tentu saja menginginkan agar pemerintah menjalankan
fungsinya dengan baik dalam melayani masyarakat. Dulu, media sangat terbatas
dalam menuliskan berita. Wartawan sering mengalami teror psikis hingga fisik. Media
juga “takut” memberitakan hal-hal yang menyangkut pejabat.
Suasana semacam
itu sudah tidak lagi ada di era sekarang. Maka saatnya pers kembali untuk
menegaskan fungsinya sebagai alat revolusi yang menjadi rujukan informasi
objektif. Bagi kalangan pejabat, pers akan memberikan dampak bagi karakter
pejabat. Paling tidak ada empat pola pejabat dalam melihat keberadaan pers: pejabat
pemilik pers, pejabat dekat pers, pejabat takut pers dan pejabat anti pers.
Empat pola ini
menjadi unik untuk dilihat secara utuh. Bagi pejabat pemilik pers tentunya ada
sisi keuntungan, dimana dirinya akan merasa lebih aman dan nyaman dalam
mempublikasikan kegiatan-kegiatannya. Yang menjadikan kurang baik adalah
keberadaan media itu akan cenderung menjadi corong pemerintah dan relatif tidak
seimbang dalam menyajikan berita yang berisi konflik kepentingan. Namun dengan
semakin banyaknya media, pejabat semacam ini juga tidak semata-mata menjadi
diktator atas dasar media yang dimikilinya.
Bagi pejabat
yang sadar tidak memiliki media, maka ia perlu memiliki modal dekat pers.
Kedekatan dengan pers bukan berarti “menyuap” media semata, tapi pers dijadikan
media sosialisasi sekaligus fungsi kontrol. Jika ada kebijakan yang baik dan
telah berjalan dengan benar, maka pers akan membagikan prestasi itu. Namun jika
ada sumbatan dalam kebijakan pemerintah, pers menjadi kontrol agar kebijakan
itu ditata kembali agar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Ada juga pejabat
yang takut pers. Pejabat model ini biasanya memang tidak terlalu progres
pemerintahan yang bagus. Artinya ia menjalankan roda pemerintahan dengan datar
dan tidak ingin menunjukkan prestasinya. Akibat dari minimnya informasi ini,
maka pers juga sudah tidak terlalu berambisi untuk melakukan pemberitaan secara
massif. Padahal mestinya pers sangat berkepentingan dalam mengarahkan berita
itu di level lokal, nasional bahkan internasional.
Dan yang paling
tragis adalah pejabat anti pers. Pejabat model ini adalah mereka-mereka yang
memang sudah terjerat kasus hukum. Gejala kerenggangan pejabat dengan pers
adalah akibat terungkapnya suatu kasus hukum hingga diputuskan oleh
persidangan. Karena merasa “diganggu” kepentingannya, maka pejabat ini menjauh
dan cenderung tidak bersahabat dengan insan pers. Justru yang rugi adalah
dirinya sendiri karena infonya tidak seimbang.
Untuk membuat
harmoni pers dan pajabat, maka predikat media darling (kesayangan media)
untuk para pejabat sebagaimana diterima Jokowi dari insan pers patut diberikan
kepada semua pejabat. Anugerah media darling merupakan ciri dari pers
dalam memberikan kontribusi dalam membangun bangsa. Pers bukanlah alat jahat
untuk mengganggu roda pemerintah, tetapi pers adalah roda penggerak
pembangunan.
Tanpa peran
pers, pemerintah akan mengalami kemandegan dalam bidang informasi dan
komunikasi. Maka sinergi ini tetap harus dibangun dengan tetap menjaga jiwa
kritis pers. Fungsi jiwa kritis pers perlu dibangun dengan empat landasan
pokok. Pertama, sifat independen. Pers sebagai sebuah lembaga revolusi
perlu hadir dengan sikap netral. Dengan netralitas yang diberikan maka
kepentingan untuk membangun bangsa akan tersalurkan secara rapi.
Kedua,
keberpihakan pers ada pada kebenaran. Pers boleh saja berpihak jika ada dengan
melawan segala jenis “kejahatan terstruktur”. Jadi pers akan menjadi milik rakyat,
jika ada perilaku yang menyimpang oleh para pejabat. Sebaliknya jika ada
“rakyat yang jahat”, maka pers juga akan melawan dengan menyajikan informasi
yang berimbang.
Ketiga,
keutuhan memberikan informasi. Dasar keutuhan informasi memang selalu menjadi
jargon bagi pers. Jika ada konflik kepentingan atau masalah hukum, maka dua
sumber perlu disajikan sebagai sumber berita. Sehingga semua orang akan
memahami bahwa pers memberikan warna berita yang benar-benar tidak sepihak.
Dan keempat,
menjaga nasionalisme dengan menghadirkan pemimpin yang jujur dan amanah. Jiwa
kritis pers terhadap sebuah persoalan bukankan tanpa alasan. Pers selalu ingin
bahwa negeri ini damai dan maju, maka jika ada pejabat yang korupsi (misalnya)
pers akan selalu aktif mengawalnya agar ditata kembali dengan baik. Kedaulatan
pers bukan dimanfaatkan secara membabi buta dengan segala
kesewenang-wenangannya, tapi pers memberikan kontribusi berarti bahwa negara
itu perlu dinahkodai oleh pejabat yang bekerja dan jujur pada rakyatnya, bukan
pejabat yang hanya cari uang.*)
M. Rikza Chamami, MSI – Alumni
Madrasah Qudsiyyah Kudus
dan Dosen UIN
Walisongo
No comments:
Post a Comment