Revitalisasi Peran Guru Pendamping Anak Autis


Anak berkebutuhan khusus dalam dunia pendidikan tidak boleh dinomorduakan. Sebagai warga negara, anak-anak ini mempunyai kesempatan yang sama dalam menerima pendidikan. Dalam UUD 1945 pasal 31 tegas dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat berikutnya juga jelas-jelas berbunyi: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Sangat menyedihkan ketika membaca Koran Jateng Ekspres, Senin/20 April 2015 halaman 12 tertulis judul “Sejumlah Sekolah Tolak Pendamping Anak Autis”. Apalagi ada sekolah yang menyatakan bahwa guru pendamping (shadow teacher) sebagai mata-mata, mencampuri kegiatan belajar dan membocorkan jawaban soal. Maka perlu pemahaman bersama tentang peran shadow dalam kelancaran pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Istilah shadow teacher (guru pendamping) atau disebut aid teacher (guru bantu) marak ketika dibuka program pendidikan inklusi. Diharapkan para guru pendamping ini adalah berasal dari tenaga profesional berlatar belakang pendidikan luar biasa (PLB). Namun pada kenyataanya, banyak pendamping yang berperan hanya sebagai baby sitter. Disinilah titik persoalan itu muncul.
Sekolah-sekolah yang menolak kehadiran pendamping memang perlu diperjelas. Apalagi alasannya adalah kehadiran pendamping akan mengganggu proses pembelajaran. Padahal bagi anak autis, pendamping itu sangat bermakna karena ialah yang memahami secara utuh karakternya. Sehingga perlu ada solusi bersama bagaimana agar sekolah itu menerima kehadiran pendamping dan orang tua pun memberikan pemahaman utuh bagi para pendamping anaknya.
Sekolah yang menolak kehadiran pendamping sama halnya tidak memberikan hak individu bagi siswa agar nyaman dalam mengenyam pendidikannya. Jadi tindakan semacam ini tidak dibenarkan menurut hukum. Jika memang penolakan itu dilakukan, maka harus disertai argumentasi hukum yang kuat. Sebab jika semua sekolah inklusi memberlakukan penolakan massal, justru pembejaran anak berkebutuhan khusus akan mengalami kegagalan.
Harusnya kehadiran pendamping itu sangat membantu para guru utama di kelas, tidak sebaliknya dianggap mengganggu. Sebab secara fungsi, guru pendamping diharapkan dapat berperan untuk melatih kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus (special needs children) agar lebih optimal dan fungsional. Hal ini disebabkan para guru pendamping itu lebih mengenal dan dekat dengan anak berkebutuhan khusus, daripada guru utama kelasnya.
Melihat adanya disharmoni antara guru utama dan guru pendamping, maka diperlukan revitalisasi peran guru pendamping ini. Secara operasional, peranan guru pendamping menurut Skjorten (2003) adalah: mendampingi guru kelas dalam menyiapkan kegiatan yang berkaitan dengan materi belajar, mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam menyelesaikan tugasnya dengan pemberian instruksi yang singkat dan jelas. Dengan pola ini, maka anak-anak merasa dirinya itu tidak sendirian karena ada yang selalu menjaganya.
Para guru pendamping juga berperan memilih dan melibatkan teman seumur untuk kegiatan sosialisasinya, menyusun kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kelas maupun di luar kelas, mempersiapkan anak berkebutuhan khusus pada kondisi rutinitas yang berubah positif. Sehingga pola semacam ini akan menjadikan penumbuhan jiwa sosial bagi anak untuk berani bergaul dengan teman-temannya. Peran hanya bisa dilakukan oleh pendamping karena dirinya fokus menata satu anak.
Guru pendamping di sekolah juga dapat berperan untuk menekankan keberhasilan anak berkebutuhan khusus serta pemberian reward yang sesuai dan pemberian konsekwensi terhadap perilaku yang tidak sesuai,  meminimalisasi kegagalan, memberikan pengajaran yang menyenangkan serta menjalankan individual program pembelajaran yang terindividualkan (PPI). Melihat begitu berartinya peran guru pendamping ini, maka dibutuhkan standarisasi yang terukur agar kehadirannya menamhah kelancaran proses belajar mengajar di kelas inklusi.
Sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang bahwa guru pendamping tetap diperbolehkan mendampingi di SLB dengan rekomendasi dari psikolog. Alasan ini sangat rasional sekali mengingat sekolah adalah lembaga yang suci untuk kesuksesan pendidikan dan jangan sampai diganggu oleh guru pendamping yang tidak memahami perannya. Untuk mewujudkan kesuksesan pendidikan di SLB ini, maka semua stake holder yang terkait perlu bersama-sama merumuskan keabsahan dan standar guru pendamping bagi anak autis.

Ini sangat mendesak untuk dilakukan. Sebab anak autis harus mendapatkan perhatian khusus. Sangat tidak mungkin jika anak autis ini hanya mengandalkan guru kelas yang juga memberikan perhatian kepada siswa lainnya. Perhatian khusus itulah dapat dimanfaatkan secara baik oleh guru pendamping yang profesional dan memahami perannya sebagai guru (bukan sebagai baby sitter).

No comments:

Post a Comment

@mrikzachamami