Dunia sedang gencar-gencarnya
membendung maraknya paham radikalisme Islam. Di Indonesia, penghentian gerakan
radikal juga dilakukan secara massif hingga pemblokiran situs internet. Koran
SINDO (31/3/2015) memuat “Intelejen Blokir 19 Situs Radikal” menjadi bukti
bahwa Pemeritah waspada terhadap merebaknya provokasi terorisme dan
radikalisme. Namun di balik gerakan ini ada satu kekhawatiran, yakni dibencinya
Islam oleh masyarakat dunia. Oleh sebab itu perlu diluruskan bahwa yang
dimusuhi adalah pengikut Islam radikal, bukan Islamnya.
Sehingga dengan demikian, nama Islam masih harum dan
masyarakat dunia tetap cinta kepada Islam. Sebab pemahaman terhadap gerakan
radikal Islam sebagai kelompok minoritas muslim belum banyak dipahami orang.
Wajar jika ada kekhawatiran dengan istilah islamophobia, benci dan
memusuhi Islam secara sistematis.
Dalam mengawal isu tentang
radikalisme ini, banyak hal yang perlu diluruskan. Bahwa gerakan radikal lahir
dan marak akibat pemahaman yang terlalu kaku dalam beragama, berpolitik dan
berdiplomasi. Agama bagi kaum radikal dipandang sebagai ideologi paten yang
berujung pada teologi ekslusif. Artinya bahwa semua perilakunya itu selalu
diatasnamakan seruan Tuhan. Sehingga Islam harus dibela dan dilembagakan
menjadi negara dengan Daulah Ismamiyyah (Islamic State).
Begitu pula dalam hal politik,
bahwa kelompok radikal sangat susah menerima perbedaan. Pengakuan kelompoknya
yang paling benar sangat dijunjung tinggi. Sehingga perbedaan yang ada tidak
dapat ditoleransi. Model berpolitik yang demikian inilah yang menjadikan
sulitnya menemukan solusi politik. Sebab egoisme yang dimilikinya terkadang
membawa sentimen politik yang berujung pada perang dan perang. Hidup damai dan
berdampingan dalam politik bagi mereka bukan solusi politik tapi dianggap
sebagai “perzinaan politik”.
Dengan model pemikiran agama dan
politik yang kaku inilah lahir pula “diplomasi besi”—yang menyebutkan bahwa
tidak akan berkompromi dengan siapapun yang tidak sevisi. Padahal diplomasi adalah
seni komunikasi dunia yang butuh sikap terbuka dan saling memahami antara satu
dengan yang lainnya. Disinilah letak kelemahan kelompok radikal dalam melakukan
komunikasi eksternal.
Hal ini sangat bertentangan
dengan teori sosiologi yang dibangun oleh Ibnu Khaldun dalam Kitab
Muqaddimah. Bahwa masyarakat pengembara sangat kuat solidaritas sosialnya (ashabiyah),
sebab corak kehidupan mereka unik dan saling membantu. Sehingga relevansinya
adalah dengan konsiliasi kelompok sosial dan penyelesaian konflik. Justru
budaya untuk saling berperang lahir dari bumi Arab yang notabene beragama
Islam. Ini sangat memilukan, Islam yang harusnya ramah dan bebas dari konflik
justru memberikan contoh perilaku yang tidak baik.
Gerakan radikal yang mendapatkan
perlawanan ini dianggap membayakan (hingga disebut teroris) karena melakukan
lima hal. Pertama, melakukan aksi-aksi terorisme yang membahayakan.
Karena emosinya, gerakan ini tidak segan untuk meneror dengan bom dan aksi
bunuh diri dengan iming-iming surga.
Kedua, gerakan radikal
ini mudah menuduh orang yang tidak sepaham dengan istilah kafir (takfir).
Dan bagi mereka, semua orang kafir halal darahnya (sah menurut agama untuk
dibunuh). Maka kekejaman mereka dengan gampang membunuh orang lain karena
doktrin agamanya menghalalkan itu semua.
Ketiga, jihad dalam
istilah agama selalu dimaknai perang. Menurutnya, jihad selalu menjadi jargon
suci demi menghancurkan musuh-musuh agama. Padahal dalam memahami ayat tentang
jihad, tidak semuanya bermakna perang dengan menghabisi nyawa-nyawa yang tidak
bersalah. Oleh sebab itu, cara-cara yang demikian ini tidak mendapatkan simpati
dari dunia.
Keempat, perlunya
dibentuk sistem khalifah dan negara
Islam. Islam menurut kelompok radikal tidak cukup menjadi agama. Lebih mulia
Islam dilembagakan dengan sistem pemerintahan model khalifah dan negara Islam.
Sebab keingingan mereka meniru Rasulullah saat memimpin Madinah dengan negara
Islam. Paham yang demikian juga meragukan, sebab Nabi Muhammad saat di Madinah
tidak membentuk negara Islam dengan cara kekerasan. Justru Nabi Muhammad
membentuk masyarakat Madinah yang semula bercerai berai, dijadikan satu dengan
Piagam Madinah.
Dan kelima, revolusi
dengan cara kekerasan. Kelompok radikal menginginkan perubahan dunia (dimulai
dari Timur Tengah) dengan revolusi Islam—sebagai perlawanan atas revolusi
industri berbasis kapitalis yang dikuasai oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Sikap inilah yang perlu dicermati, bahwa tidak semua gerakan politik itu berbau
agama. Sedangkan mereka selalu membawa nama agama untuk kepentingan apapun.
Wajar jika pola hidup kaum radikal selalu mengembalikan pada kemurnian Islam
dan kejayaan Islam.
Dari berbagai argumentasi
itulah, dapat diambil benang merah bahwa Islam radikal itu hanya ingin hidup
secara islami tetapi tidak memahami nilai Islam. Nilai Islam yang dimaksudkan
adalah Islam rahmatan lil ‘alamin, agama yang mampu memberikan kedamaian
dan dapat hidup berdampingan dengan yang lainnya. Bukan Islam yang selalu ingin
mengajak berperang dan kekerasan.
Dan yang paling penting adalah
bagaimana ke depan nama Islam masih tetap harum. Bahwa masih banyak kelompok
Islam Indonesia yang menunjukkan Islam dengan ramah dan hidup damai. Perlu
sekali belajar Islam dengan model Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Dua
organisasi besar Islam Indonesia ini mengawal kuat Islam kebangsaan dan
berjibaku melawan radikalisme Islam. Artinya Islam masih harus dicintai, sebab
banyak sekali organisasi Islam yang mengajarkan damai, toleransi, kerjasama dan
diplomasi dunia.
No comments:
Post a Comment