Mendidik anak
memang butuh kesabaran ekstra. Tidak ada kata gagal dalam proses pendidikan.
Maka berita “Sepuluh Pasang Pelajar Ditangkap di Losmen
Usai UN” yang dimuat Jateng Pos (20 April 2015) patut dipahami secara
bijaksana. Satu sisi berita ini menjadi musibah bagi dunia pendidikan. Dan di
sisi lain, berita ini menjadi koreksi bersama seluruh stake holder
pendidikan—bahwa perlu banyak koreksi atas pendidikan karakter di sekolah.
Siapapun akan
mengatakan bahwa perilaku mesum pelajar di Losmen setelah UN itu tidak benar.
Secara agama, tindakan itu jelas-jelas keluar dari norma karena hubungan intim
dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Dalam kontek etika juga sangat tidak etis
karena usia muda dan orang terpelajar tapi melakukan tindak asusila. Maka
peristiwa semacam ini menjadi musibah bagi dunia pendidikan.
Jika dilihat
dari sisi kebahagiaan setelah UN, para pelajar yang melepas penat dengan
berlibur adalah wajar. Yang tidak wajar adalah tambahan “liburan” dengan mesum.
Hampir satu tahun para pelajar kelas XII didoktrin dan dijejali dengan
materi-materi UN. Bahkan ada pelajar yang menambah jam belajar dengan kursus di
luar. Beban UN terasa hilang ketika ujian sudah dilaksanakan setelah suasana
hati gundah dan gelisah menghadapinya.
Kemungkinan
besar, menikmati liburan dengan wisata selesai UN merupakan ritual yang turun
temurun. Namun yang perlu dicatat adalah “kesalahan teknis” di lapangan dengan
tindakan mesum itu. Maka, disinilah titik utama bahwa ada yang perlu dicari,
dimana letak “trouble” pendidikan karakter di sekolah. Secara normatif,
sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah memberikan materi pendidikan agama,
pendidikan budi pekerti dan bahaya pergaulan bebas. Namun di tingkat teknis,
ternyata tidak semua pelajar mampu melaksanakan itu dengan baik.
Untuk
meminimalisir kejadian serupa terjadi atau bahkan marak dimana-mana, perlu
sekali renungan bersama dengan melakukan empat hal. Pertama, pembekalan kepada
pelajar tentang UN perlu mempertimbangkan tiga konsep pembelajaran: senang,
aktif dan serius. Jangan sampai suasana hati pelajar sebelum UN diciptakan
tertekan dan terhantui. Kalau ini yang terjadi, banyak pelajar stres dan ingin
bersenang-senang setelah UN berakhir. Suasana tray out UN perlu dibuat
dengan penciptaan lingkungan belajar yang happy dan pelajar dibuat
aktif.
Kedua,
menjelang UN berlangsung para pelajar banyak dibekali dengan pendidikan
spiritual sesuai agama masing-masing. Pelajar diwajibkan berdo’a khusus UN
selesai melakukan ibadah. Sekolah juga perlu membuat acara rutin do’a bersama (istighatsah:
menurut Islam) sebelum UN. Sentuhan spiritual dengan do’a agama ini akan
membuat pelajar dekat dengan agamanya. Sehingga kadar keimanan dan ketaqwaan
pelajar tidak kabur hanya karena stres memikirkan UN.
Ketiga,setelah
UN berakhir, sekolah perlu membuat kegiatan positif yang terintegrasi dengan
masa depan pelajar. Tidak salah jika sekolah membuat “wisata pasca UN” (tempat
yang terdekat dan biaya murah)—agar siswa dan guru menyatu mensyukuri UN
berakhir. Apalagi dengan kebijakan bahwa UN bukan satu-satunya standar
kelulusan, maka sekolah bebas memberikan pendampingan pada pelajar setelah UN.
Kegiatan wisata yang terkoordinir oleh sekolah ini lebih baik daripada
anak-anak dibiarkan bebas tanpa kontrol.
Dan keempat,
sekolah perlu kembali mengefektifkan pendidikan budi pekerti dan pendidikan
agama—terutama dalam menjelaskan dosa mesum dan bahaya hamil di luar nikah.
Memang selama ini pendidikan seks bagi para pelajar tidak banyak mendapatkan
perhatian. Namun melihat situasi yang tidak kondusif dengan maraknya pelajar
mesum hingga hamil, maka pendidikan seks perlu digalakkan kembali.
Era serba
canggih sekarang menuntut banyak pendampingan dari guru kepada para pelajar.
Apalagi dengan mahirnya para pelajar berselancar dengan internet. Situs
internet dewasa juga masih bisa bebas diakses para pelajar. Maka sekolah juga
perlu memberikan pendidikan internet sehat bagi pelajar. Bagaimana internet
yang bebas itu dapat dimanfaatkan secara baik oleh pelajar dan membantu untuk
meningkatkan prestasi siswa.
Hal yang paling
mendesak dilakukan sekolah adalah rutin mengontrol akhlak pelajarnya. Bagaimana
pelajar ini bergaul dan bermasyarakat. Jika ada indikasi pelajar sudah keluar
dari norma agama dan pendidikan maka guru BP dan guru agama berperan menata
akhlak pelajarnya. Termasuk disini mengantisipasi bahaya narkoba bagi para
pelajar dengan melakukan tes narkoba rutin untuk pelajar dan guru. Jangan
sampai pelajar dijadikan objek tes narkoba, tapi gurunya takut dites narkoba.
Inilah bukti bahwa dunia pendidikan akan baik secara moral berangkat dari guru
dan pelajarnya.
Kenapa narkoba
penting untuk diperangi sekolah? Karena perilaku asusila banyak dimulai dari
keberanian mengkonsumsi narkoba atau “belajar mabuk”. Intinya, sekolah perlu
mendidik agar pelajar takut mesum dan terjauh dari bahaya narkoba.*)
No comments:
Post a Comment