Di
tengah pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Bandung, kabar rencana pesta
bikini pelajar yang digelar salah satu EO di Kolam Renang Hotel Berbintang
Jakarta menjadi heboh. Semua pihak menanggapi serius pesta nekat pelajar yang bertajuk
“Splash After Class” dengan dress codebikini.
Bahkan beberapa sekolah yang dicatut namanya dalam brosur sebagai pihak yang
mendukung kegiatan tersebut “marah besar”.
Peristiwa
ini patut kita lihat sebagai dinamika pendidikan yang sudah terintervensi oleh
pihak luar. Kehadiran EO dalam merancang kegiatan tersebut wajib dicatat.
Termasuk aksi para pelajar di yuotube yang mengundang teman-temannya turut
serta dengan mengambil gambar di depan sekolah. Seakan bahwa kegiatan itu
adalah extra kurikuler yang harus diikuti untuk membuang kepenatan setelah
mengikuti Ujian Nasional (UN).
Dalam
kondisi seperti inilah dibutuhkan sebuah kesadaran bersama bahwa terjadi
persoalan serius yang harus ditangani, yakni dekadensi moral pelajar. Ketika
para pelajar ikut terlibat merencanakan, mengundang dan akan meramaikan acara
itu, berarti ada oknum yang berperan sebagai aktor intelektual. Mestinya yang patut
dikuak adalah aktor intelektualnya. Siapa yang menginisiasi kegiatan itu dan
motif apa yang ditargetkan dari pesta bikini itu perlu dibongkar.
Ada
kekhawatiran bahwa acara itu memang sengaja dibuat untuk menjaring anak-anak
SMA yang tidak akan melanjutkan kuliah. Para pelajar ini kemudian dijebak
dengan pesta yang intinya menjadi ajang audisi atau semacam job fair.
Namun yang perlu diwaspadai bahwa audisi itu berujung merusak generasi pelajar bangsa
ini ke arah “generasi bejat”. Para pelajar dirayu sedemikian rupa agar ikut
kerja dengan iming-iming gaji besar tapi dijadikan budak nafsu.Kalau itu yang
terjadi, maka kegiatan apapun dengan tajuk “pesta pelajar” harus dihentikan.
Para
pelajar yang selesai UN memang dalam kondisi belum stabil mentalnya. Apalagi
bagi pelajar yang memang serius dan fokus mengikuti UN—boleh dibilang “masih
stres”. Selesainya UN akan membuat dirinya ingin berteriak keras dengan kalimat
“Yes selesai, aku senang dan bebas”. Di saat pelajar ingin bersenang-senang
inilah, EO hadir mengajak mereka berpesta. Berarti EO-nya sangat cerdas tapi
tidak beradab. Apalagi acara dikemas dengan intertaint di kolam renang
dengan suasana fresh.
Berenang
dengan pakaian khas renang bagi masyarakat perkotaan bukanlah hal yang tabu.
Apalagi bagi sebagian besar sekolah yang memang mempunyai kegiatan renang
terjadwal (sejak SD-SMA)—memakai pakaian renang itu wajar. Secara psikologis,
tidak ada yang aneh jika renang itu menjadi salah satu materi pendidikan olah
raga. Namun akan menjadi aneh, jika “pakaian renang” itu dijadikan ikon khusus
dalam sebuah pesta bikini pelajar. Kesan yang muncul sudah berbeda antara
renang bersama dengan pesta bersenang-senang dengan pakaian mini. Itulah yang
sangat disayangkan.
Kasus
ini menjadi pertanda baik untuk para guru, bahwa pembinaan siswa ternyata butuh
keterpaduan. Yang dimaksudkan adalah butuh pembinaan ganda, baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Jika di sekolah anak-anak sudah dididik baik dengan
pendidikan budi perkerti, tapi di rumah dan pergaulannya salah, maka anak
menjadi rusak. Maka dalam rangka mengamankan nama baik lembaga pendidikan,
semua kegiatan pelajar perlu dipantau secara khusus oleh bagian kesiswaan.
Istilah
pesta dalam lembaga pendidikan memang terkadang aneh. Sebab kesan pesta itu
penuh dengan perilaku glamor, bebas dan bersenang-senang. Dalam bidang pramuka
misalnya, disana dikenal pesta siaga dan pesta penggalang. Maka wajar dalam
kegiatan itu didesain dengan penuh kegembiraan dan keakraban. Intinya bahwa
pesta pelajar apapun itu tidak salah sepanjang masih mempunyai nilai-nilai budi
pekerti.
Dunia
pendidikan memang tidak bisa dipisahkan dengan seni. Bahkan lembaga yang
menangani pendidikan sekian puluh tahun juga menyatu antara pendidikan dan
kebudayaan (bagian dari seni). Maka butuh kedewasaan dalam mengelola
pendidikan. Misalnya kegiatan pelajar yang bernuansa seni seperti musik dan
teater tetap didorong pada kesenian yang tidak mengarah pada dunia malam dan
norkoba. Bahwa sekolah harus memajukan musik dan teater itu kewajiban, namun
pembinaan terhadap budi pekerti siswanya itu menjadi nomor satu.
Termasuk
pembinaan dalam bidang olahraga. Olahraga yang secara kasat mata menggunakan
pakaian mini juga perlu pembinaan budi pekerti. Bagi para atlit, berpakaian
olahraga ketat, mini dan dianggap tidak menutup aurat itu adalah bagian dari
profesi. Tetapi akan menjadi berubah makna jika pakaian mini itu digunakan di
luar konteks olahraga. Disitulah tanggungjawab berat lembaga pendidikan untuk
menjaga marwah kesuciannya.
Maka
untuk melakukan pembinaan mental dan budi pekerti pelajar dibutuhkan tiga hal
pokok. Pertama, materi budi pekerti perlu diperkuat kembali disajikan
pada semua mata pelajaran. Semua guru diarahkan untuk selalu memberikan nasehat
kepada siswa setiap mengajar. Kedua, psikologi pelajar yang masih labil
perlu dikendalikan ke arah kegiatan positif demi masa depannya.
Dan
ketiga, perlu diaktifkan kembali buku penghubung dan buku prestasi siswa
sebagai portofolio yang ditanda tangani orang tua, wali kelas dan bagian kesiswaan.
Dua buku ini sangat bermanfaat untuk memantau kegiatan siswa di dalam dan di
luar sekolah. Dengan pola inilah, pelajar-pelajar Indonesia akan kembali
tertata kembali budi pekertinya. Menyelamatkan budi pekerti pelajar adalah
ibadah mulia bagi para guru.*)
No comments:
Post a Comment