Usaha untuk
melakukan pembersihan Indonesia dari narkoba selalu mengalami inovasi. Salah
satunya adalah penegakan hukum dengan melakukan eksekusi
mati terhadap gembong narkoba yang sudah diputuskan di meja sidang. Upaya
pengajuan grasi kepada Presiden juga sudah ditempuh oleh para terpidana mati
narkoba. Namun usaha itu tidak menghasilkan apapun. Jokowi dengan dalih
penegakan hukum dan menjaga marwah negara Indonesia akan tetap melakukan perang
terhadap narkoba (Koran Wawasan, 28/4/2015).
Kritik terhadap
hukuman mati memang terus saja mengalir. Di satu sisi itu dilakukan dalam
rangka membuat orang jera terhadap tindak kriminal berbalut peredaran narkoba.
Tapi di sisi lain, eksekusi mati dianggap sebagai kekejaman yang tidak
manusiawi. Itulah harga mahal penegakan hukum yang memang tidak lepas dari
kritik dari berbagai pihak. Intinya bahwa negara Indonesia memiliki hukum yang
mandiri dan harus ditegakkan sesuai mekanisme peradilan dalam negeri.
Indonesia tidak
akan berdaulat dari sisi hukum jika masih ada transaksi di balik layar. Ini
adalah awal dari sebuah keberanian pemerintah dalam menata negeri bebas dari
narkoba. Sebab Indonesia dianggap sebagai pasar narkoba yang menjanjikan
keuntungan besar. Narkoba tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan elit saja.
Remaja dan pemuda juga sudah menjadi target sasaran peredaran barang haram ini.
Maka pembersihan narkoba perlu dimulai dari hulu-nya yakni pengedarnya. Selain
para pengedar, seharusnya pemerintah juga harus berani menutup “pabrik narkoba”
dan mengusir serta mengeksekusi mati pemiliknya.
Dilema Hubungan Internasional
Ada beban
psikologi yang dialami oleh pemerinah Indonesia di saat ancaman eksekusi mati
itu melibatkan orang asing. Tentunya proses hukum yang berjalan di Indonesia
harus mengikuti mekanisme yang benar. Sehingga hubungan kedua negara akan tetap
berjalan dengan baik. Sebab ada ancaman pemutusan hubungan bilateral jika
Indonesia tetap memaksakan kehendak dengan membunuh warga asing yang ditetapkan
sebagai tersangka dan dijatuhi hukuman mati.
Ini adalah
sebuah dilema hubungan internasional yang harus dihadapi. Dalam konteks ini
dibutuhkan sikap kedewasaan antar negara. Dan terasa aneh jika Indonesia berani
tegas melakukan eksekusi mati, tetapi di sisi lain selalu mengajukan protes
keberatan saat warganya dihukum mati di Arab Saudi. Sesungguhnya yang perlu dipahami adalah bukan
hanya sekedar perlindungan terhadap warga negaranya, tetapi siapa sesungguhnya
yang akan dieksekusi mati itu.
Jika yang
dieksekusi mati itu memang warga negara yang telah melakukan pelanggaran hukum
di negari orang lain, maka sudah menjadi resiko untuk menerima hukuman mati.
Usaha pendampingan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan
pembelaan di meja persidangan. Apabilan proses persidangan panjang telah
menetapkan secara sah hukuman mati, maka kedua negara sebaiknya menerima dengan
legowo.
Yang perlu
dipertegas dalam hal ini adalah bagaimana merajut ulang hubungan kedua negara
itu pasca eksekusi mati. Tentunya yang diperbincangkan seputar pemberlakukan
supremasi hukum yang berlaku di masing-masing negara. Mana saja yang boleh
dilakukan di Indonesia dan mana saja yang tidak boleh. Begitu pula sebaliknya,
apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan warga Indonesia yang menetap di
negeri orang lain. Ketika point-point kesepakatan penegakan hukum kedua negara
telah ditandatangani, maka disitulah kedua negara perlu menghormati hukum dalam
negeri.
Yang patut
disayangkan adalah ketika penegakan hukum itu sudah dipolitisasi. Maka
persoalan hukum sudah menjadi keruh dan tidak akan ada titik solusinya. Hukum
seharusnya diselesaikan secara hukum, jika ada kekuatan politik (misalnya), itu
bukan sebagai solusi. Sebab jika hukum diselesaikan dengan pendekatan politik,
maka tidak akan menghasilkan keputusan yang terbaik. Jadi, dalam perspektif
hubungan internasional ini perlu ditegaskan kembali bahwa eksekusi mati adalah
produk ketegasan hukum—bukan produk kekejaman politik atau anti hak asasi
manusia (HAM).
Mengelabuhi Pasar
Ketika citra
dunia menjadikan Indonesia sebagai pasar bebas narkoba, saat itulah pribumi dan
warga asing berminat melakukan investasi perdagangan barang haram ini. Namun
ketika ketegasan hukum mulai dijalankan dengan perang narkoba, orang mulai
ketakutan dengan beratnya hukuman yang diterima. Tetapi itu bukan menjadikan
secara otomatis narkoba hilang begitu saja dari negeri ini.
Ada pola baru
terkait teknis mengelabuhi pasar narkoba. Perdagangan narkoba atau bahan haram
lainnya sudah berubah pola dengan merubah bentuk berupa: roti, brownis, kue
kering, rokok, dikemas dalam barang elektronik dan penyelundupan lainnya.
Itulah yang patut dicermati, kenapa mereka masih berani melakukan usaha itu.
Jawabannya adalah bahwa bisnis narkoba menghasilkan keuntungan besar.
Ketika narkoba
sudah menjadi komuditas yang laris, maka peluang bisnis itu harus tetap jalan
dengan cara mengelabuhi aparat. Atas dasar pola pengelabuhan ini, maka perlu
ada ketegasan yang terskema dalam tiga pola. Pertama, titik transit
bandara, pelabuhan dan batas imigrasi perlu dijaga oleh polisi yang salah satu
tugasnya menghentikan perdagangan narkoba. Sebab pintu resmi masuk dan
keluarnya perdagangan narkoba adalah lewat jalur itu. Dan patut diwaspadai juga
ancaman masuknya narkoba lewat jalur tikus (yang memungkinkan dititipkan
nelayan tradisional). Jadi peran polisi laut dan polisi darat itu yang paling
utama.
Kedua,
pabrik kecil dan besar narkoba di dalam negeri harus berani ditutup. Sangat
tidak logis kalau pengedar dieksekusi mati, tapi pemilik pabrik narkoba di
dalam negeri masih diberi kebebasan menghirup udara segar. Maka pemberian izin
pendirian pabrik perlu ditata kembali. Ketika ditemukan informasi ada pabrik
pembuat narkoba, maka aparat wajib menindak tegas hal itu.
Dan ketiga,
memberikan pembinaan secara rutin tentang bahaya narkoba beserta ancaman
hukuman mati. Selama ini terjeratnya remaja, pelajar dan pemuda masuk jaring
narkoba adalah akibat dari pergaulan yang tidak sehat dan bebasnya narkoba
beredar. Oleh sebab itu, test narkoba perlu dilakukan di semua lini, yakni:
sekolah, kampus, instansi pemerintah dan swasta. Narkoba akan tetap beredar
jika ada penggunanya, jika semua pengguna distop dengan cara test narkoba dan
dilakukan pembinaan bagi penggunanya, maka secara otomatis penggunaan narkoba
akan berhenti.
Memang patut
diakui bahwa perang melawan narkoba harus melibatkan banyak pihak dan harus
dibayar dengan harga mahal. Jika komitmen semua warga negara Indonesia dan
dukungan pihak luar negeri satu visi dalam memerangi narkoba di Indonesia, maka
usaha ini akan sukses. Indonesia akan bebas dari narkoba jika dari hulu sampai
hilir dibentengi dengan moralitas.*)
M. Rikza Chamami, MSI – Dosen dan
Mahasiswa Program Doktor
UIN Walisongo
Semarang
No comments:
Post a Comment