Memaknai Tradisi Dandangan

Festival dandangan di Kudus tahun ini dilakukan selama sepuluh hari (8-17 Juni 2015).Bagi masyarakat Kudus, tradisi dandangan menjelang bulan puasa sudah menjadi acara rutin. Para pedagang tiban (musiman) menjajakan aneka barang dagangan di sekitar Masjid Al Aqsha Menara Kudus. Dalam perkembangannya, karena banyaknya penjual dan pengunjung, digelar juga tempat hiburan anak-anak dan dewasa. Tradisi dandangan semacam ini telah turun temurun hingga sekarang.
Suasana dandangan yang digelar bulan Sya’ban (Ruwah) menjadi sangat ramai karena berbarengan dengan gelombang ziarah makam Sunan Kudus. Di satu sisi ada pesta pasar rakyat dan di sisi lain para peziarah hadir dari luar kota. Peristiwa yang demikian sudah tidak asing lagi hingga mengakibatkan kemacetan dan keramaian Kota Kretek ini.
Yang patut dilihat dari pelaksanaan tradisi ini adalah memahami ruh pelaksanaan dandangan. Jangan sampai dandangan hanya sekedar menjalankan tradisi, namun mengabaikan intisari tradisi itu. Secara historis, dandangan merupakan sejarah peninggalan Sunan Kudus dimana saat memasuki awal Ramadan bedug Masjid ditabuh dengan bunyi “dang dang dang” sehingga dinamakan dandangan (dhandhangan).
Masjid Menara yang dibangun oleh Sunan Kudus pada 956 H/1549 M kini telah berusia +466 tahun. Artinya tradisi dandangan sudah berjalan 460 tahunan yang lalu. Sudah banyak inovasi yang ada dalam proses dandangan seperti penataan kios-kios penjual dan digelarnya kirab dandangan. Kirab dandangan merupakan visualisasi Sunan Kudus bersama Kyai Telingsing dalam memperjuangkan Islam, termasuk mengumumkan Ramadan.
Dari sisi filosofis, dandangan memiliki tiga makna yang perlu diungkap. Pertama, peristiwa sejarah panjang ini mencoba menyatukan kekuatan Kasunanan yang ditunggu fatwa awal Ramadan. Artinya bahwa peran Kanjeng Sunan dalam bidang agama sangat kuat hingga masyarakat tunduk terhadap fatwa penentuan awal Ramadan sambil membuat keramaian sebagai simbol rasa syukur. Dimensi agama dalam tradisi dandangan itulah yang mestinya menjadi dasar pesta rakyat ini.
Kedua, menguatkan basis ekonomi jelang Ramadan. Sudah menjadi hal yang jamak bahwa kebutuhan belanja di bulan Ramadan dan Syawwal itu semakin banyak. Maka sebelum memasuki bulan Ramadan, orang Kudus sering menyebut istilah “mremo”. Mremo itu berdagang dengan jumlah banyak dengan harga yang “agak mahal”, tapi barang dagangan laris terjual. Disitulah efek logis digelarnya dandangan, dimana take and give antara penjual dan pembeli menjadi peristiwa mremo dalam rangka memperkuat basis ekonomi.
Dan ketiga,menguatkan kembali kearifan lokal masyarakat Kudus dan sekitarnya sebagai hiburan jelang ibadah suci. Hampir semua umat Islam setiap masuk bulan Rajab sudah merasakan betapa nikmatnya hadirnya Ramadan. Padahal di tengah dua bulan itu masih ada bulan Sya’ban. Maka bukan Sya’ban menjadi bulan transisi untuk menyiapkan diri memasuki satu bulan berpuasa. Disitulah dandangan bermakna sebagai penghibur masyarakat.
Ada satu istilah yang lazim penulis dengar saat masih di Kudus: “Wes dipuas-puaske dandangan seneng-senengan, engko nek wes poso rak iso opo-opo; silahkan dipuas-puaskan ikut dandangan hingga senang, nanti kalau sudah masuk Ramadan sudah tidak bisa apa-apa”. Kalimat pitutur orang tua Kudusan ini menjadikan penanda bahwa dandangan itu berarti hiburan menuju kesucian.
Apalagi masuk puncak dandangan, tepatnya malam terakhir bulan Sya’ban. Hampir semua sudut Kudus ramai menanti awal shalat tarawih. Yang pasti masyarakat ikut shalat tarawih di kampung masing-masing dan malam harinya tumpah ruah di sekitar arena dandangan hingga masuk waktu sahur hari pertama.
Di hari awal Ramadan itulah ada bubaran atau boboran, dimana para pedagang dandangan mengakhiri jualannya dan tentunya saat itu harga-harga menjadi turun sehingga masyarakat antusias kembali mengakhiri dandangan. Itulah yang menjadikan dandangan itu semakin bermakna bagi masyarakat hingga disebut: “Nek durung melu dandangan, kurang sah posone; kalau belum ikut dandangan, puasanya kurang sempurna”. Yang dimaksudkan adalah orang Kudus itu baiknya meramaikan dandangan agar saat puasa terasa senang seperti bersenang-senang saat dandangan.
Melihat sebegitu mulianya tradisi dandangan ini, perlu kiranya menata kembali tradisi ini agar semakin baik ke depan.Tanggung jawab agama, ekonomi, budaya dan kemasyarakatan oleh pemerintah Kabupaten Kudus dapat dikonsentrasikan untuk melakukan inovasi-inovasi dandangan. Sehingga makna kesucian dandangan tidak dikaburkan dengan sisi buruk dengan menggelar pesta dangdut, judi kampung dan mabuk-mabukan oleh oknum anak muda.
Inovasi yang perlu diwujudkan adalah dengan melakukan kajian ilmiah seperti penelitian sejarah dandangan dari berbagai disiplin keilmuan. Termasuk perlunya membuat acara-acara berbasis keilmuan semacam seminar nasional atau internasional secara rutin bekerjasama dengan kampus, sekolah dan lembaga-lembaga profesional di Kudus.
Inilah salah satu upaya mengangkat kembali sosok pendiri Kudus Sayyid Ja’far Shodiq sebagai seorang ilmuan, pedagang, tokoh agama dan politik. Jika dandangan hanya sekedar menggelar jualan, pawai dan ramai-ramai, itu sama dengan dandangan masa lalu. Hari ini masyarakat menanti dandangan masa kini dan dandangan masa depan yang sangat bermakna untuk masyarakat Kudus dan sekitarnya.*)


No comments:

Post a Comment

@mrikzachamami