Menjadi Universitas Islam Berbasis Manfaat

wacana_lokal@suaramerdeka.com
wacana.lokal@gmail.com

 Umur Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo pada 6 April 2015 sudah genap 45 tahun. Kampus Islam yang berdiri 6 April 1970 ini telah berubah nama dari IAIN menjadi UIN berdasar Peraturan Presiden Nomor 130 tahun 2014.Tema Dies Natalis ke-45: “Memantapkan Langkah Menuju UIN Walisongo untuk Kemanusiaan dan Peradaban” menjadi warna tersendiri. Sebagai kampus agama Islam, UIN Walisongo ingin meneguhkan citra kelembagaannya sebagai kampus yang bermanfaat.
Untuk mewujudkan peran kemanusiaan dan peradaban ini, banyak hal yang perlu dipersiapkan. Peran kemanusiaan dapat digambarkan sebagaimana dedikasi tridharma perguruan tinggi, yaitu: pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Kampus diharapkan tidak hanya bisa memproduk sarjana.Tetapi kampus harus mampu berkontribusi besar berupa sumbangsih pemikiran, karya nyata dan terjun di tengah masyarakat.
Di bidang pendidikan, UIN Walisongo sudah mempunyai modal kuat dengan 18 guru besar, 310 dosenprofesional dan 293pegawai. Dengan kekuatan 5 Fakultas (akan bertambah 2 Fakultas lagi), UIN memiliki program D3 hingga S3 berupa 26 program studi S1 dan 13 program studi pascasarjana. Kerjasama bidang pendidikan dengan kampus luar negeri tercatat ada 50 lembaga. Potensi besar ini harus dikembangkan dengan baik.
Pendidikan yang digaungkan UIN Walisongo dengan prinsip unity of sciences juga perlu diwujudkan secara nyata. Bahwa pendidikan agama tidak lagi dipisahkan dengan pendidikan umum. Bahwa label Islam yang menempel pada lembaga perguruan tinggi ini tidak memasung perkembangan ilmu umum. Maka program fisika, kimia, matematika, biologi, ekonomi, perbankan, manajeman, komunikasi, filsafat sudah dikembangkan secara rapi.
Yang patut dikembangkan ke depan adalah bagaimana keilmuan-keilmuan itu didesiminasikan kepada masyarakat. Pendidikan dengan pola “basis manfaat” lebih banyak berbicara soal manfaat ilmu, bukan teori ilmu. Sebab banyak mahasiswa yang masih belum mampu mengaplikasikan ilmu karena bekal materi kuliah dari dosen cenderung teoritis. Oleh sebab itu, SDM dosen juga hendakya diupdate dengan melakukan doktorisasi dosen dan magisterisasi pegawai.
Hasil penelitianpara guru besar, dosen dan mahasiswa yang telah dibukukan sangat banyak. Hampir tiap tahun terbit 120 judul penelitian dan dipublikasikan ke jurnal dan media-media cetak. Ke depan, perlu sekali membuat skema “manfaat riset” dengan pola “kebutuhan masyarakat”. Bahwa ketika para dosen dan mahasiswa melakukan penelitian, permasalahan riset tidak dibuat oleh akademisi, tetapi mengangkat masalah yang benar-benar terjadi di masyarakat dan dibutuhkan solusi.
Ketika kampus hadir dalam kondisi seperti itu, maka manfaat penelitian akan menjadi nyata. Apalagi riset-riset yang berbasis sains dengan menemukan teknologi tepat guna, termasuk riset pendidikan dan agama yang bermanfaat untuk kepentingan pengembangan lembaga pendidikan, masjid, pesantren dan lembaga agama Islam lainnya. UIN Walisongo yang ingin menjadi pusat riset perlu membuat terobosan riset yang benar-benar dirasakan hasilnya hingga tingkat bawah. Potensi itu sudah dimiliki dimana LP2M sebagai lembaga riset sudah ditangani secara profesional oleh peneliti-peneliti senior.
Khusus program pengabdian pada masyarakat, UIN Walisongo dikenal sebagai gudang kader Islam (terutama NU dan Muhammadiyah). Impian unity of sciences perlu ditingkatkan bagaimana UIN Walisongo mencetak sainstis-saintis muslim handal yang akan mengabdi untuk masyarakat. Jika selama ini dosen dan mahasiswa UIN Walisongo hanya tampil di MUI, NU, Muhammadiyah dan lembaga agama, ke depan perlu jemput bola ke lembaga profesional berbasis sains, hukum, ekonomi, komunikasi dan psikologi.
Disitulah letak kemanfaatan ilmu agama dan umum yang dimiliki oleh UIN Walisongo. Jadi budaya berfikir konvensional bahwa UIN hanya mencetak ustadz akan mulai bergeser menjadi lembaga pencetak sainstis muslim. Usia 45 tahun ini sangat tepat sekali untuk membuat UIN Walisongo menjadi lembaga yang lebih profesional, progresif dan paradigmatis.
Dalam konteks keberperanan bidang peradaban, UIN Walisongo perlu hadir dengan tiga prinsip pengembangan peradaban. Pertama, bahwa local wisdom(kearifan lokal) yang ada di Jawa perlu diuri-uri(dilestarikan). Nama Walisongo yang menempel untuk lembaga ini juga patut dijaga filosofinya. Tokoh waliyullah Jawa inilah yang menghadirkan Islam Jawa dengan kearifan lokal.
Islam hadir di tengah agama Kapitayan, Hindhu dan Budha tetapi mampu bersanding dan berjalan harmonis. Bahkan warna Islam yang pro terhadap budaya masih dijunjung tinggi oleh para Walisongo. Oleh sebab itu, UIN Walisongo bertanggungjawab atas pelestarian budaya Jawa yang ditinggalkan oleh para leluhur—dengan tetap mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal (tidak tergerus oleh arus globalisasi).
Kedua, perpaduan national wisdom (kearifan nasional) dalam menjaga nasionalisme juga patut untuk dipertahankan. Maka warna Islam yang diajarkan bersanding dengan ilmu-ilmu sains harus dengan model “Islam kebangsaan”. UIN Walisongo akan tergusur oleh sikap fanatik jika menghadirkan wacana Islam mainstrem. Oleh sebab itu, untuk menjaga marwah ini dibutuhkan komunikasi semua pihak, bahwa UIN adalah lembaga pendidikan tinggi Islam yang menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika.
Dan ketiga, dalam rangka menunjang kemajuan peradaban perlu dikuatkan pengetahuan international wisdom (kearifan dunia). UIN Walisongo tidak perlu tertutup dengan dunia, ia harus hadir dimana saja untuk membuka kajian akademik. Walaupun belum mempunyai jurusan hubungan internasional, akan tetapi UIN sudah memulai hal itu. Tidak perlu mempersoalkan bahwa karena lembaga Islam maka harus banyak kerjasama dengan Timur (dan sedikit dengan Barat).
Pemikiran yang semacam itu akan mempersempit pandangan dunia dan akan menjadikan UIN Walisongo tersandera. Maka hubungan dengan pihak manapun asalkan masih sepaham dengan kesucian agama Islam dan visi nasional, maka perlu diperkuat. Disinilah wujud nyata bahwa UIN Walisongo mampu bersinergi dengan tiga kearifan dari tinggal lokal hingga nasional. Dengan demikian, manfaat UIN Walisongo akan benar-benar dirasakan oleh semua pihak. Selamat Dies Natalis ke-45.*)

M. Rikza Chamami, MSI – Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan

dan Mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri Walisongo

No comments:

Post a Comment

@mrikzachamami