wacana_lokal@suaramerdeka.com
wacana.lokal@gmail.com
Untuk
mewujudkan peran kemanusiaan dan peradaban ini, banyak hal yang perlu
dipersiapkan. Peran kemanusiaan dapat digambarkan sebagaimana dedikasi
tridharma perguruan tinggi, yaitu: pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat. Kampus diharapkan tidak hanya bisa memproduk sarjana.Tetapi kampus
harus mampu berkontribusi besar berupa sumbangsih pemikiran, karya nyata dan
terjun di tengah masyarakat.
Di
bidang pendidikan, UIN Walisongo sudah mempunyai modal kuat dengan 18 guru
besar, 310 dosenprofesional dan 293pegawai. Dengan kekuatan 5 Fakultas (akan
bertambah 2 Fakultas lagi), UIN memiliki program D3 hingga S3 berupa 26 program
studi S1 dan 13 program studi pascasarjana. Kerjasama bidang pendidikan dengan
kampus luar negeri tercatat ada 50 lembaga. Potensi besar ini harus
dikembangkan dengan baik.
Pendidikan
yang digaungkan UIN Walisongo dengan prinsip unity of sciences juga
perlu diwujudkan secara nyata. Bahwa pendidikan agama tidak lagi dipisahkan
dengan pendidikan umum. Bahwa label Islam yang menempel pada lembaga perguruan
tinggi ini tidak memasung perkembangan ilmu umum. Maka program fisika, kimia,
matematika, biologi, ekonomi, perbankan, manajeman, komunikasi, filsafat sudah
dikembangkan secara rapi.
Yang
patut dikembangkan ke depan adalah bagaimana keilmuan-keilmuan itu didesiminasikan
kepada masyarakat. Pendidikan dengan pola “basis manfaat” lebih banyak
berbicara soal manfaat ilmu, bukan teori ilmu. Sebab banyak mahasiswa yang
masih belum mampu mengaplikasikan ilmu karena bekal materi kuliah dari dosen
cenderung teoritis. Oleh sebab itu, SDM dosen juga hendakya diupdate dengan
melakukan doktorisasi dosen dan magisterisasi pegawai.
Hasil
penelitianpara guru besar, dosen dan mahasiswa yang telah dibukukan sangat
banyak. Hampir tiap tahun terbit 120 judul penelitian dan dipublikasikan ke
jurnal dan media-media cetak. Ke depan, perlu sekali membuat skema “manfaat
riset” dengan pola “kebutuhan masyarakat”. Bahwa ketika para dosen dan
mahasiswa melakukan penelitian, permasalahan riset tidak dibuat oleh akademisi,
tetapi mengangkat masalah yang benar-benar terjadi di masyarakat dan dibutuhkan
solusi.
Ketika
kampus hadir dalam kondisi seperti itu, maka manfaat penelitian akan menjadi
nyata. Apalagi riset-riset yang berbasis sains dengan menemukan teknologi tepat
guna, termasuk riset pendidikan dan agama yang bermanfaat untuk kepentingan
pengembangan lembaga pendidikan, masjid, pesantren dan lembaga agama Islam
lainnya. UIN Walisongo yang ingin menjadi pusat riset perlu membuat terobosan
riset yang benar-benar dirasakan hasilnya hingga tingkat bawah. Potensi itu
sudah dimiliki dimana LP2M sebagai lembaga riset sudah ditangani secara
profesional oleh peneliti-peneliti senior.
Khusus
program pengabdian pada masyarakat, UIN Walisongo dikenal sebagai gudang kader
Islam (terutama NU dan Muhammadiyah). Impian unity of sciences perlu
ditingkatkan bagaimana UIN Walisongo mencetak sainstis-saintis muslim handal
yang akan mengabdi untuk masyarakat. Jika selama ini dosen dan mahasiswa UIN
Walisongo hanya tampil di MUI, NU, Muhammadiyah dan lembaga agama, ke depan
perlu jemput bola ke lembaga profesional berbasis sains, hukum, ekonomi,
komunikasi dan psikologi.
Disitulah
letak kemanfaatan ilmu agama dan umum yang dimiliki oleh UIN Walisongo. Jadi
budaya berfikir konvensional bahwa UIN hanya mencetak ustadz akan mulai
bergeser menjadi lembaga pencetak sainstis muslim. Usia 45 tahun ini sangat
tepat sekali untuk membuat UIN Walisongo menjadi lembaga yang lebih
profesional, progresif dan paradigmatis.
Dalam
konteks keberperanan bidang peradaban, UIN Walisongo perlu hadir dengan tiga
prinsip pengembangan peradaban. Pertama, bahwa local wisdom(kearifan
lokal) yang ada di Jawa perlu diuri-uri(dilestarikan). Nama Walisongo
yang menempel untuk lembaga ini juga patut dijaga filosofinya. Tokoh waliyullah
Jawa inilah yang menghadirkan Islam Jawa dengan kearifan lokal.
Islam
hadir di tengah agama Kapitayan, Hindhu dan Budha tetapi mampu bersanding dan
berjalan harmonis. Bahkan warna Islam yang pro terhadap budaya masih dijunjung
tinggi oleh para Walisongo. Oleh sebab itu, UIN Walisongo bertanggungjawab atas
pelestarian budaya Jawa yang ditinggalkan oleh para leluhur—dengan tetap
mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal (tidak tergerus oleh arus globalisasi).
Kedua, perpaduan national wisdom (kearifan nasional)
dalam menjaga nasionalisme juga patut untuk dipertahankan. Maka warna Islam yang
diajarkan bersanding dengan ilmu-ilmu sains harus dengan model “Islam
kebangsaan”. UIN Walisongo akan tergusur oleh sikap fanatik jika menghadirkan
wacana Islam mainstrem. Oleh sebab itu, untuk menjaga marwah ini dibutuhkan
komunikasi semua pihak, bahwa UIN adalah lembaga pendidikan tinggi Islam yang
menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika.
Dan
ketiga, dalam rangka menunjang kemajuan peradaban perlu dikuatkan
pengetahuan international wisdom (kearifan dunia). UIN Walisongo tidak
perlu tertutup dengan dunia, ia harus hadir dimana saja untuk membuka kajian
akademik. Walaupun belum mempunyai jurusan hubungan internasional, akan tetapi
UIN sudah memulai hal itu. Tidak perlu mempersoalkan bahwa karena lembaga Islam
maka harus banyak kerjasama dengan Timur (dan sedikit dengan Barat).
Pemikiran
yang semacam itu akan mempersempit pandangan dunia dan akan menjadikan UIN
Walisongo tersandera. Maka hubungan dengan pihak manapun asalkan masih sepaham
dengan kesucian agama Islam dan visi nasional, maka perlu diperkuat. Disinilah
wujud nyata bahwa UIN Walisongo mampu bersinergi dengan tiga kearifan dari
tinggal lokal hingga nasional. Dengan demikian, manfaat UIN Walisongo akan
benar-benar dirasakan oleh semua pihak. Selamat Dies Natalis ke-45.*)
M. Rikza
Chamami, MSI – Dosen Fakultas Ilmu
Tarbiyah & Keguruan
dan
Mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri Walisongo
No comments:
Post a Comment