opinipatipos@gmail.com
Keberadaan
pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren) akhir-akhir ini menjadi bahan
perbincangan dunia akademik. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional
yang semula tertutup sekarang sudah membuka diri dengan perkembangan zaman.
Termasuk pesantren juga memberikan ruang terbuka dalam menginovasi lembaganya
dengan pendidikan umum dan pendidikan politik.
Pendidikan
umum di pesantren dijalankan secara baik.Karena kalangan pesantren mulai
menerima masukan dari wali santri agar anaknya berilmu agama kuat dan mempunyai
pengetahuan umum. Apalagi dengan dibukanya peluang beasiswa santri untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi negeri bergengsi di Indonesia, menjadikan
pesantren semakin memperkuat kebijakan ini.
Tentunya
untuk menjemput bola terwujudnya santri yang ilmiah, pesantren tetap
memperteguh visi agamanya. Dalam wujud inilah, perlu sekali pemahaman bersama
mengenai hakikat pendidikan pesantren dalam pengembangan ilmu sains. Meski
belum semua pesantren mampu membuka peluang ini, paling tidak para Kyai mulai
sadar tentang pentingnya ilmu sains.
Mengenai
pendidikan politik di pesantren, memang tidak terkemas dalam kurikulum formal.
Pendidikan politik di pesantren berupa materi kurikulum tersimpan (hidden
curricullum) bagi para santrinya. Terutama bagi pesantren yang Kyai dan
keluarga ndalem terjun langsung ke dunia politik (baik sebagai penasehat
atau fungsionaris). Pendidikan berupa teladan politik ini yang kemudian menjadi
bahan “anutan” oleh para masyarakat dan santri.
Dalam
meneguhkan visi pesantren sebagai lembaga agama, maka dibutuhkan warna baru
tentang pendidikan politik pesantren ini. Jangan sampai pesantren memberikan
corak politik yang tidak santun di tengah masyarakat. Apalagi politik praktis
yang mengakar pada sebuah tradisi politik belah bambu dan politik kekuasaan.
Hendaknya ada model politik pesantren kebangsaan yang mengarah pada tiga
dimensi.
Pertama, dimensi budi pekerti. Politik pesantren dengan
mengandalkan budi pekerti bukan berarti segala langkah politik berbungkus
agama. Akan tetap komunikasi politik yang dikemas dengan bahasa santun dan
lobi-lobi politik yang tidak banyak membuat orang kecewa. Model ini bukan menjadikan
politik pesantren selalu kalah. Justru dengan budi pekerti, maka ada banyak
simpati dari para politisi yang menempatkan kader politik pesantren di pos
strategis—tidak hanya pembaca do’a saja.
Kedua, dimensi strategi koorporasi. Pesantren punya modal
besar dalam menata pola strategi koorporasi dengan tawashau bil haqqi wa
tawa shaubis shabri (saling memberikan nasehat politik). Jalan yang
dilakukan dalam memberikan kritik politik adalah demi kebaikan bersama. Bukan
dengan prinsip like and dislike, suka dan benci sebagaimana politik
konvensional.
Dan
ketiga, dimensi kesejahteraan ummat. Para politisi yang mendapatkan
amanah menjadi wakil rakyat dan pemimpin perlu memegang teguh prinsip: sayyidul
qaumi khadimuhum, pemimpin adalah abdi ummat. Maka tidak ada lagi pemimpin
politik yang ingin memperkaya diri sendiri dan mengkorupsi hak-hak rakyat.
Disinilah politik pesantren hadir sebagai kuasa untuk menjadikan dirinya
sebagai abdi masyarakat, jangan sebaliknya ingin menjadikan masyarakat sebagai
budak politiknya.
Perjalanan
bangsa Indonesia masih cukup jauh sekali dalam menatap Masyarakat Ekonomi Asia
(MEA). Pesantren dengan model politik kebangsaan ini akan mencoba memberikan
gagasan politik baru, yaitu politik yang berdaulat dan amanah. Jika memang
pesantren bisa hadir dengan warna ini, maka jasa pesantren akan dikenang sepanjang
sejarah. Bahwa pesantren menjadi motor penggerak politik kebangsaan ini.
Target
besar dari politik kebangsaan ini adalah demi menyatukan kembali bangsa ini.
Sebab akhir-akhir ini banyak sekali agenda nasional yang terbengkelai hanya
persoalan beda visi politik. Oleh sebab itu, butuh figur pemersatu bangsa ini
yang diharapkan hadir dari rahim pesantren. Pesantren punya tanggungjawab ini
semua. Jangan kemudian kehadirn pesantren menjadi bagian dari pemecah belah
kesatuan bangsa ini. *)
Dimuat di
Koran Jateng Pos, Kamis 26 Maret 2015
No comments:
Post a Comment