Penggunaan piagam palsu yang dilampirkan untuk mendaftar sekolah menjadi hal buruk yang terjadi di depan mata. Tertangkapnya joki ujian SMBPTN di Solo juha menjadi catatan buruk dunia pendidikan. Termasuk, adanya pemalsuan ijazah kampus-kampus negeri oleh oknum di Jakarta juga membuat geli. Itu semua membuat dunia pendidikan tercoreng. Niatnya bagus, agar bisa masuk sekolah atau kampus secara instan. Tapi cara yang dilakukan sudah tidak benar.
Pendidikan yang menjadi palang pintu kemajuan negeri ini menjadi sulit untuk bergerak jika sudah dikotori semacam itu. Dan insiden ini nyata-nyata menunjukkan bahwa kejujuran sudah sulit dicari. Kejujuran menjadi harga mahal bagi Indonesia. Seharusnya jika memang tidak mampu masuk sekolah favorit, maka ambil sekolah sesuai kemampuan siswa. Termasuk jika anak tidak mampu menembus kampus bonafit, maka ambil kampus di bawahnya.
Terkadang yang mendorong untuk melakukan ketidakjujuran itu justru orang tua. Karena lahir gengsi lembaga pendidikan dan anaknya tidak mampu, jalan pintas yang dilakukan dengan joki dan pemalsuan piagam. Belum lagi bagi yang ingin melamar kerja, mereka mencari ijazah palsu untuk meyakinkan calon bosnya. Ini semua sudah menjadi hal yang jamak dijumpai di tengah masyarakat.
Melatih Bijaksana
Dorongan berperilaku menyimpang sebagaimana di atas diakibatkan adanya ketidakbijaksanaan hidup. Sebab memahami kehidupan manusia memang butuh banyak hal yang dilakukan. Termasuk di dalamnyaadalahmemahamikebutuhanmanusiaterhadapilmupengetahuan. Salah satu prinsip yang dipegang yakni kebijaksanaan.
Sebab ilmu hadir sebagai dimensi pengetahuan manusia yang akan mewarnai kemampuan diri untuk memahami dan mengetahui kenyataan hidup, baik yang semula ada menjadi tidak ada atau sebaliknya. Disinilah peran kebijaksaan masuk menjadi kebutuhan dasar lahirnya ilmu pengetahuan. Berbeda dengan yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, ia cenderung negatif hingga berani menipu, memalsu dan melakukan tindak kriminal.
Ada enam prinsip petualangan dan pencarian kebijaksanaan untuk membangun kepribadian manusia sebagaimana dinyatakan oleh Zaprulkhan (2012). Yang dimaksudkan adalah mengizinkan ruh ketakjuban/rasa ingin tahu/keheranan (the spirit of wonder), meragukan sesuatu yang belum terbukti, mencintai kebenaran (love of truth), menerka dengan praduga dan berani menolak, memperbaiki dan membangun kembali (revise and rebuild), serta menghayati dan mengamalkan kebenaran (live the truth and the good).
Enam prinsip tersebut dapat disederhanakan dengan suka kebenaran. Kebenaran dalam hidup bukanlah drama dan sensasi. Kebenaran yang dimaksudkan berangkat dari kemampuan dan kenyataan yang ada. Sehingga kalau memang tingkat keilmuan anaknya tinggi disekolahkan level atas. Jika kemampuan anaknya di bawah rata-rata, maka dimasukkan sekolah sesuai levelnya. Dan itu dijalani tanpa gengsi.
Sebab sekololah atau kampus yang ada pada hakikatnya sama. Sebab lembaga pendidikan diikat dengan standar nasional pendidikan yang sama. Sehingga jika ada sekolah level atas itu hanya sebatas dimasuki siswa yang nilainya tinggi. Sedangkan level di bawahnya akan mengikuti nilai dan kemampuan siswanya.
Justeru dengan memaksakan anak masuk ke level atas dengan cara “nitip” atau “memalsu berkas” akan membuat anak tidak percaya diri. Sebab kualitas akademiknya di bawah, sementara teman di sekelilingnya sudah lebih maju tingkat keilmuannya. Oleh sebab itu, orang tua siswa atau mahasiswa perlu mengembalikan kebijaksanaan dalam hidup.
Jika dapat berjalan, maka ruh kebijaksanaan lahir sebagai sikap seseorang yang berimbang dalam menjalankan prinsip kepandaian dan keputusan yang positif. Tentu saja sikap bijaksana itu tidak akan mampu memuaskan semua pihak. Namun, kebijaksaan itu akan melahirkan sebuah prinsip logika dan akal sehat—yang melahirkan pikiran-pikiran yang mudah diterima sebagian besar orang.
Sehingga orang yang dikatakan bijaksana (Burhanudin: 2012) adalah mempunyai dua hal. Pertama, mempunyai pengertian yang mendalam mengenai arti dan nilai. Kedua, mendasarkan pendapat dan pandangannya tidak atas pertimbangan-pertimbangan yang dangkal saja, tetapi mau melihat, merasa, memperhatikan arti yang terdalam dari semuanya. Betapa sulitnya kebijaksanaan itu dilahirkan, namun untuk membuat pendidikan bermartabat, ini mutlak dilakukan.
Pendidikan Kejujuran
Bangsa Indonesia selalu mempunyai impian pendidikan yang sangat ideal. Salah satu impian nyata adalah terwujudnya pendidikan kejujuran. Semakin banyaknya KKN, pemalsuan, perjokian dan sikap negatif ini berawal dari titik ketidakjujuran. Oleh sebab itu, membangun dan menumbuhkan kembali pendidikan kejujuran menjadi hal yang paling sangat penting.
Cita-cita suci semacam ini bukan tanpa alasan. Jika bangsa Indonesia sudah mengidap penyakit tidak jujur, maka negara akan hancur. Namun jika bangsanya mayoritas jujur, negara akan maju pesat. Membuat pola pendidikan kejujuran tidak bisa dengan cepat. Ini butuh proses yang lama dan melibatkan banyak pihak.
Kebutuhan pendidikan kejujuran ini paling tidak mendorong tiga hal pokok. Pertama, menunjukkan identitas bangsa yang jujur agar mendapat pengakuan dunia. Bahwa kejujuran itu sangat penting untuk membangun citra dunia. Indonesia akan tidak mempunyai sahabat jika bangsanya sudah tidak memiliki ketidakjujuran. Maka kejujuran perlu disebarkan kembali.
Kedua, mengangkat sumber daya manusia dalam bidang pendidikan. Pendidikan merupakan aspek kehidupan yang sangat vital. Sehingga keberadaannya tidak boleh dinodai oleh perilaku tidak jujur. Jika itu ada, maka secepat mungkin untuk dihanguskan.
Dan ketiga, menata masyarakat dengan pola hidup yang jujur untuk mencapai kedamaian. Kalau kejujuran hilang, sulit rasanya membuat masyarakat damai. Cara menancapkan pendidikan kejujuran ini harus melewati tiga tititik: keluarga, sekolah dan lingkungan. Tiga hal ini sangat penting memerankan diri sebagai lembaga kejujuran, mendidikan jujur.*)
No comments:
Post a Comment