jatengekspres@gmail.com
iklan_jatengekspres@gmail.com
Nasehat Wakil
Presiden Jusuf Kalla kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) agar
santun berbahasa saat menyampaikan pendapat di depan publik (Jateng Ekspres, 24/3/2015)
patut untuk dijadikan tauladan. Bahasa selalu menjadi alat komunikasi
terpenting. Sedangkan kesantunan berbahasa merupakan bagian dari seni, estetika
dan etika bicara. Sebagus apapun orang berbahasa—jika tidak santun—maka bahasa
itu menjadi tidak baik.
Bahasa santun dalam
wilayah politik memang terkesan aneh. Sebab politik yang identik dengan seni
menguasai dengan teknik “menipu lawan” terkadang tidak membutuhkan bahasa
santun. Namun dalam suasana terjadinya kemelut politik yang tidak ada hentinya,
bahasa santun menjadi hal penting. Sebab, problem utama kisruh politik berawal
dari kalimat fungsionaris politik yang cenderung kasar dan menyakitkan.
Melihat secara
sepintas, bahasa yang digunakan oleh Ahok memang sangat pedas dan emosional.
Termasuk respon bahasa para anggota DPRD DKI juga sama menggunakan bahasa
dengan nada tinggi dan tidak santun. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa untuk
menyelesaikan persoalan demikian membutuhkan fiqih politik bahasa santun. Yang
dimaksudkan adalah bagaimana aturan dalam berbahasa politik untuk menaruh
simpati rakyat dan tidak membuat lawan emosi.
Dalam pola khusus,
fiqih politik ini dapat dilakukan dengan tiga hal inti. Pertama, bahasa
santun sangat dipengaruhi oleh ragam bahasa individual. Jika seseorang hidup
dalam lingkungan yang baik dan dididik dengan bahasa halus, maka kesantunan
bahasa dalam hal intonasi akan terjamin. Namun sebaliknya, jika individu sudah
hidup di lingkungan yang memakai bahasa nada tinggi, maka kesantunan bahasa
perlu dilatih dengan baik. Bukan berarti bahasa yang tinggi itu dianggap tidak
sopan.
Kedua, bahasa
santun bergantung dengan gaya berbicara seseorang. Termasuk sikap berbicara ini
tergantung lawan bicara juga. Jika seorang laki-laki berbicara dengan
perempuan, maka secara alami nada bicara laki-laki akan rendah. Begitu pula
ketika politisi dalam berbicara selalu melihat lawan bicaranya. Paling tidak,
politisi yang sudah matang dan tinggi jam terbangnya, selalu mengatur nada
bicara dengan halus, pelan dan cerdik mengolah kata. Disitulah masyarakat
nantinya menyimpulkan tentang bahasa itu santun atau tidak.
Dan ketiga,
bahasa santun berhubungan erat dengan latar belakang pendidikan seseorang. Maka
para politisi yang masih tidak mahir dalam berbahasa santun dibutuhkan
pendidikan khusus tentang retorika dan public speaking—yang mendukung
pola bicaranya. Oleh sebab itu, partai-partai politik hendaknya memberikan
pendidikan untuk para kadernya. Dalam rangka mengawal kepentingan ini, para
politisi juga bisa meniru gaya bicara para seniornya yang sudah diakui oleh
masyarakat mampu santun berbicara.
Berbahasa Baik dan Benar
Pelajaran yang
selalu dipesankan oleh para guru bahasa saat sekolah untuk menggunakan bahasa
yang baik dan benar ternyata mempunyai filosofi yang sangat dalam. Bahwa setiap
orang dihimbau untuk berbahasa yang mudah dipahami orang dan tidak menyakiti
orang lain. Membuat orang lain paham dengan bahasa kita memang tidak mudah.
Maka perlu
dilatih dengan cermat bagaimana mengutarakan pendapat di muka umum dengan
pilihan bahasa yang dipahami orang banyak. Termasuk mengemas bahasa menjadi
bahasa yang enak didengarkan dan tidak menyakiti orang yang mendengarkan.
Disinilah hakikat bahasa santun itu dilahirkan.
Ketika politik
dijadikan sebagai titik penentuan kekuasaan, maka bahasa santun dalam politik
menjadi modal utama untuk meraih masa. Agar dagangan politik itu laris terjual,
maka “marketing politik” seyogyanya menguasai seni berbicara santun.Termasuk
bahasa santun akan menjadikan keharmonisan politik. Masyarakat sudah muak
dengan suguhan sinetron “gonjang-ganjing politik” yang disulut dari umpatan dan
bahasa kasar politisi. Untuk itulah perlu sekali menerapkan fiqih politik
bahasa santun ini untuk harmoni bangsa demi menjaga persatuan dan kesatuan.*)
No comments:
Post a Comment