Banyak
pandangan hidup orang Jawa yang hilang akibat arus globalisasi. Jiwa santun, guyub
rukun dan tanpo pamrih lambat laun mulai terkikis. Orang Jawa yang
semula identik berbudi pekerti luhur, unggah-ungguh, tepo sliro
juga mengalami penurunan nilai. Sehingga ada kesan “wong njowo ora njowoni”
(orang jawa tidak memahami hakikat luhur kejawen). Oleh sebab itu, dibutuhkan
upaya untuk menghidupkan kembali ajaran Jawa yang sungguh mulia dalam membentuk
sikap hidup.
Salah satu
ajaran Jawa yang patut untuk dihidupkan kembali adalah ilmu kanthong bolong yang
diperkenalkan RMP Sosrokartono (1877-1952). Ajaran yang terkandung di dalamnya
sebagai berikut: “Nulung pephadane, ora nganggo mikir wayah, wadhuk,
kanthong. Yen ana isi lumuntur marang sesami” (menolong sesama, tidak perlu
memakai pikiran, waktu, perut, saku. Jika saku berisi mengalir kepada sesama).
Mohammad A
Syuropati (2011) menyebutkan bahwa ilmu kanthong bolong berarti
pengetahuan tentang tempat untuk menaruh sesuatu (semisal saku), tapi tempat
itu berlobang atau bocor. Secara terminologis, ilmu ini merupakan pengetahuan
kongkrit tentang saku yang selalu kosong karena kondisinya berlobang, yang
pasti tempat itu tak pernah membiarkan sesuatu yang dimilikinya tetap ada.
Karena saku dibiarkan dalam kondisi berlubang, maka apapun yang ada di dalam
saku selalu keluar mengalir sehingga selalu kosong.
Kondisi semacam
ini, bagi orang Jawa menunjukkan bahwa kepribadiannya dilandaskan pada niat
suci melihat realitas masyarakat. Bahwa harta yang dimiliki bukan hanya hak
pribadi, tetapi ada hak milik orang lain yang harus diserahkan
(infaq/shadaqah). Melihat wejangan RMP Sosrokartono ini, oleh R Mohammad Ali
(1996) disimpulkan memiliki dua prinsip dasar. Pertama, mengosongkan
pribadi dari pamrih. Dan kedua, menolong sesama manusia.
Menghilangkan
pamrih dalam kehidupan bukanlah hal yang mudah. Setiap individu pasti
menginginkan untuk hidup dengan timbal balik dan saling menguntungkan. Ketika
memilih tanpa pamrih, yang muncul adalah dirinya siap menjadi korban atau pihak
yang selalu rugi. Disitulah ujian berat untuk orang yang hendak merajut sifat
mulia tanpa pamrih ini. Tanpa pamrih bukan bermakna dirinya harus mengalah dan
rugi, tetapi bagaimana menata hati untuk ikhlas dalam kondisi apapun.
Sementara
menolong sesama juga hal yang tidak mudah. Manusia masih selalu merasa kurang,
maka dirinyalah yang merasa patut untuk ditolong. Tapi dapat kita tarik benang
merah, jika semua orang merasa ingin ditolong, lalu siapa yang akan menolong?
Maka sikap luhur Jawa mengajarkan untuk tulung tinulung. Kegiatan tolong
menolong ini yang kemudian menjadi ikatan persaudaraan orang Jawa semakin kuat.
Menggugah jiwa penolong juga butuh waktu, yang pasti bahwa orang yang suka
menolong adalah mereka yang punya jiwa ikhlas dan merasa hidup berdampingan
dengan orang lain.
Melihat ajaran
ilmu kanthong bolong yang disusun secara rapi, dari kalimat demi kalimat
terdapat enam hal menurut Mohammad A Syuropati untuk dijadikan intisari hidup,
yakni: menolong (nulung), tanpa berpikir panjang (ora nganggo mikir),
waktu (wayah), perut (wadhuk), saku (kanthong) dan
mengalir (lumuntur).
Enam hal yang
disebutkan ini sangat berkait dengan jiwa dan sikap manusia. Orang hidup itu
perlu melatih jiwa dengan sikap positif dan membuang jauh sikap negatif. Dalam
bahasa agama disebutkan perlu diajarkan pada setiap manusia dengan akhlaq mahmudah
(mulia). Yang perlu dilahirkan dalam perspektif kanthong bolong adalahjiwa
penolong, sigap dalam berpikir, meluangkan waktu, tidak egois, tidak berpikir
ekonomis (untung rugi) dan dermawan.
Dari enam jiwa
yang dimiliki itu akan lahir sikap besar hati untuk menolong orang dengan
cepat, dimanapun tempat tanpa harus mempertimbangkan dirinya memiliki harta
yang banyak. Kanthong bolong pada hakikatnya mendidik manusia untuk
memegang tiga prinsip hidup. Pertama, hidup secara mengalir dan apa
adanya. Kebanyakan orang memegang teguh pada keyakinan untuk mendahulukan kaya
baru mau berinfaq.
Namun ketika
sudah kaya justeru dirinya lupa dan menjadi orang pelit karena merasa
susah-payah mencari uang dan eman untuk mengeluarkan. Dari situ hidupnya
sudah tidak alami lagi dan sangat susah untuk hidup mengalir dan apa adanya. Ia
akan berubah menjadi orang yang menargetkan hidup dengan hitungan matematis.
Kedua, peduli
terhadap sesama. Kepedulian terhadap sesama dapat diwujudkan dengan saling
menolong dengan meninggalkan egoismenya. Ketika menolong orang tidak perlu
melihat siapa yang akan ditolong dengan berpikir besok akan kembali ditolong.
Terkadang ada orang yang mudah menolong orang kaya karena berharap imbalan, dan
sulit menolong orang miskin. Padahal orang miskinlah yang sangat butuh bantuan
sehingga hidup dengan tolong menolong tidak bisa diukur dengan rumus ekonomi,
untung-rugi.
Ketiga, selalu
siap mengabdi (sigap). Selalu sigap dalam berpikir menunjukkan sebegitu kuat
sensitifitas terhadap masyarakat tanpa mempertimbangkan waktu yang dimiliki.
Ketika orang sudah semakin dewasa, maka prinsip membagi waktunya sudah sangat
profesional. Maka untuk mewujudkan sikap sigap dalam berpikir sangat terkait
dengan manajemen waktu dengan membagi waktu pribadi dan masyarakat. Disinilah
akan teruji jiwa kedermawanan yang dimulai dari mendermakan waktu, pikiran dan
harta yang dimilikinya.
Inti dari
ajaran ini kanthong bolong ini sangat tepat dalam membuat kondisi bangsa
untuk semakin lebih baik. Jika inti dari ilmu kanthong bolong ini
dijalankan, maka akan terwujud bangsa yang ikhlas, saling tolong menolong,
membuang sikap egois, tidak rakus dan peduli terhadap sesama.
Di tengah era
demokrasi, bangsa ini banyak mempertontonkan pemimpin yang elitis, borjuis,
berdasi tapi masih egois terhadap kelompoknya. Dana aspirasi dikorupsi. Dana
hibah disunat. Pengajuan proposal bantuan diatur dengan model kolusi dan
nepotisme. Mereka yang mengatasnamakan rakyat tetapi tidak merakyat. Harusnya
melayani malah minta dilayani.
Maka, ilmu kanthong
bolong ini patut kita hidupkan kembali untuk menyelaraskan hidup bahwa
pejabat dan rakyat pada hakikatnya sama, yang membedakan hanyalah jabatan
strukturalnya saja. Jangan semena-mena saat menjabat, sebab kalau sudah lengser
akan kembali jadi rakyat. Jangan berkhianat karena akan mendapatkan laknat
akibat menyusahkan rakyat.*)
No comments:
Post a Comment