iklan_sirkulasi@rakyatjateng.com
Gejala
perlawanan terhadap ISIS menjadi egenda dunia. Hampir seluruh pelosok negeri
mempunyai agenda untuk menghilangkan gerakan sparatis—yang ingin mendirikan
negara Islam. Terjadinya gelombang perlawanan ISIS ini dilakukanoleh mahasiswa
di Air Mancur Jalan Pahlawan (Rakyat Jateng/24/3/2015).Bahkan Kepala Staf
Angkatan Darat Gatot Nurmantyo menegaskan bahwa ISIS merupakan musuh bersama
(Rakyat Jateng/24/3/2015). Jaringan ISIS juga perlu dibersihkan hingga tingkat
wilayah (RT/RW).
Ini menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia tidak sepaham dengan upaya merubah model negeri dari
negara lintas agama menjadi mono agama. Bahwa negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sudah dianggap harga mati. Memang tidak mudah untuk
mempertahankan NKRI ini. Segala upaya “pihak luar” untuk memecah belah bangsa
patut kita cermati.
Jangan sampai persatuan
dan kesatuan bangsa ini ternodai oleh ulang sekelompok orang dengan
mengatasnamakan agama. Apalagi Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sudah
sepantasnya menjadi teladan bagi agama lainnya. Umat Islam hendaknya mencontoh
kepribadian Rasulullah Muhammad dalam mengawal misi agama. Dimana Rasulullah
mengenalkan dua model strategi pemantapan Islam di masanya.
Pertama,
Rasulullah membangun pola Islamic state (darul Islam, negara
Islam). Pola yang dipergunakan bukan dengan cara kekerasan dengan berperang
melawan ideologi agama lain. Namun negara Islam yang didirikan saat itu mampu
berdampingan dengan agama-agama lainnya. Artinya bahwa sikap pluralis yang
dimiliki oleh Rasul dan para sahabatnya sangat nampak sekali.
Kedua,
Rasulullah membangun pola nation state (darus salam, negara
damai). Bahwa Islam disebut sebagai dasar utama dalam bernegara—tetapi prinsip
kedamaian menjadi ruh utama berjalannya
roda kepemerintahan. Ini yang seringkali disalahpahami oleh sebagian besar
Islam radikal. Bahwa Rasulullah memberikan teladan yang sangat indah soal
harmoni sosial dan solidaritas kebangsaan.
Kebesaran hati
Rasul saat menjadi pemimpin di Madinah juga dinyatakan dalam sebuah Piagam
Madinah (al Watsaiq al Udzma). Dalam piagam politik itu dinyatakan pertama
kali dengan kalimat: Innahum ummatun muttahidah, sesungguhnya kalian
(masyarakat Madinah) adalah bangsa yang bersatu padu. Rasul sadar bahwa di
Madinah sebelum Islam hadir sudah dihuni oleh masyarakat yang beragama Yahudi
dan Nasrani—maka ketika Islam hadir harus mampu merangkul keduanya.
Sejarah panjang
inilah yang perlu kita pegang bersama. Sehingga jangan sampai nama besar Islam
hancur karena ambisi kelompok tertentu yang ingin mendirikan negara atas nama
Islam—namun sangat tidak Islami. Islam bukan agama yang pro terhadap kekerasan.
Bahkan Islam bukan struktur ideologi negara, tetapi Islam menjadi doktrin agama
yang mendasari berjalannya sistem negara. Kalau ini dipahami, maka ruh Islam
akan mampu mewarnai di seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yang sangat
dikhawatirkan adalah, ketika kelompok pro ISIS ini selalu membawa-bawa nama
Islam, maka klaim Islam sebagai agama teroris itu akan sulit dihilangkan. Maka
segala upaya untuk mengkampanyekan Islam rahmatan lil ‘alamin, selalu dilakukan
oleh umat Islam. Ini menunjukkan bahwa Islam pro ISIS (sering disebut kaum
radikal) jumlahnya tidak begitu banyak. Dan justru karena merekalah ukhuwah
Islamiyah (persaudaraan antar umat Islam) menjadi pudar. Sebab kelompok ini
merasa dirinya yang paling benar dan menggap muslim lainnya itu kafir.
Dalam rangka
mewujudkan kesadaran masyarakat Indonesia akan bahaya ISIS ini, maka patut
kiranya dilakukan lima hal pokok. Pertama, tokoh agama Islam perlu
menjelaskan dalil agama secara kontekstual. Banyak sekali masyarakat yang salah
arti tentang makna jihad. Jihad hanya dimaknai sebagai perang melawan
kemaksiyatan (termasuk halal membunuh orang non muslim). Nampaknya tafsir itu
sudah masuk kategori tafsir sesat yang hanya memaknai agama secara tekstual.
Sehingga bahaya pertama kali lahirnya ISIS selalu berpangkal pada salah tafsir
ayat agama.
Kedua,
agama tidak dijadikan akar fanatisme yang mengarah pada perilaku radikal.
Ketika memahami ayat agama secara tekstual saja, maka sikap fanatik itu muncul
dan cenderung membenarkan dirinya sendiri. Islam di luar garis mereka dianggap
salah. Maka untuk mengantisipasi itu, segala gerakan kaum radikal perlu
diarahkan menjadi pemahaman global dengan wawasan kebangsaan. Melatih hidup
bersosial daripada hidup individual adalah lebih mulia.
Ketiga,
mendewasakan seluruh masyarakat lintas agama bahwa persatuan dan kesatuan
bangsa lebih utama.Pola pikir bangsa yang dibutuhkan saat ini adalah hadirnya
budi pekerti yang baik. Dengan budi pekerti ini, falsafah Pancasila tentang
kedewasaan bersikap dan berperilaku itu lahir. Bangsa ini sudah merdeka, namun
terkadang masih dirasakan “penjajahan” oleh bangsa kita sendiri.
Keempat, menguatkan
jiwa nasionalisme di tengah masyarakat dan menguatkannya kembali dalam materi
ajar di sekolah. Indonesia dengan segala potensi keanekaragaman agama, ras,
ideologi dan politik secara normatif rawan pecah. Namun jika semua masyarakat
dewasa akan arti penting nasionalisme, maka ego kelompok akan hilang. Disinilah
semua bangsa kita diuji dengan kehadiran ISIS. Ketika kita cinta Indonesia,
maka ISIS menjadi musuh bagi NKRI.
Kelima,
membentuk badan koordinasi bahaya ideologi masyarakat dari Pusat hingga
pemangku wilayah (RT/RW) yang selalu memberikan data informasi tentang
pergerakan ISIS. Dengan pola ini, maka akar ISIS di tingkat bawah pelan-pelan
akan mulai hilang.
Agenda mencabut
bahaya akar ISIS menjadi hal yang patut menjadi prioritas. Sebab ISIS menjadi
penyakit agama dan politik untuk negeri ini. Nama Islam akan mudah negatif atas
ulah oknum pendukung ISIS. Begitu pula, politik nasional akan memanas jika
gelombang pengikut ISIS semakin besar.*)
Dimuat di
Koran Rakyat pJateng, Kamis 26 Maret
2015
No comments:
Post a Comment