M Rikza Chamami
Dosen UIN
Walisongo & Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang
Bangsa
Indonesia kembali mendapat hadiah dari Presiden Jokowi. Gelar pahlawan nasional
resmi disandang oleh KHR As'ad Syamsul Arifin lewat Kepres Nomor 90 yang
disahkan 3 November 2016.
Sosok
Kyai As'ad sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Perjuangannya dalam
melawan penjajah dilakukannya dengan penuh tulus ikhlas dan total. Tidak segan,
Kyai As'ad mengeluarkan biaya besar dalam mengkonsolidasi pasukan
Hizbullah-Sabilillah bersama TNI menumpas penjajah.
Siapakah
sosok fenomenal KHR As'ad Syamsul Arifin itu? Ia bernama As'ad putra pertama
dari KH Syamsul Arifin (Raden Ibrahim) yang menikah dengan Siti Maimunah. Kyai
As'ad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syi'ib Ali Makkah dekat dengan
Masjidil Haram.
Garis
kerurunannya berasal dari Sunan Ampel Raden Rahmat, yakni: Kyai As'ad bin Kyai
Syamsul Arifin bin Kyai Ruhan (Kyai Abdurrahman) bin Bujuk Bagandan
(Sidobulangan) bin Bujuk Cendana (Pakong Pamekasan) bin Raden Makhdum Ibrahim
(Sunan Bonang) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Perjuangannya
dalam menegakkan agama Islam ahlussunnah wal jama'ah sungguh luar biasa.
Termasuk Kyai As'ad dikenal sebagai figur yang gagah berani mengatakan
kebenaran. Tidak salah jika kemampuan agamanya dipadukan dengan beladiri yang
membuatnya dikenal sakti mandra guna.
Kyai
As'ad menempuh pendidikan di Makkah sejak usia 16 tahun dan kembali ngaji di
Jawa. Guru-gurunya di Makkah antara lain: Sayyid Abbas Al Maliki, Syaikh Hasan
Al Yamani, Syaikh Bakir Al Jugjawi dan lain-lain.
Sepulangnya
ke tanah Jawa, ia belajar di berbagai pesantren: Ponpes Sidogiri (KH Nawawi),
Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo (KH Khazin), Ponpes Kademangan Bangkalan (KH
Kholil) dan Ponpes Tebuireng (KH Hasyim Asy'ari).
Wajar
bila keilmuan agama Kyai As'ad sangat luar biasa. Dengan bekal ilmu itu, ia
meneruskan perjuangan ayahandanya membesarkan Ponpes Salafiyyah Syafi'iyyah.
Sejak 1938, Kyai As'ad mulai fokus di dunia pendidikan. Lembaga
pendidikan itupun dikembangkan dengan SD, SMP, SMA, Madrasah Qur'an dan Ma'had
Aly dengan nama Al Ibrahimy (sesuai nama asal ayahandanya).
Peran
Kyai As'ad dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sangat nampak
sekali. Dimana ia merupakan santri kesayangan KH Kholil Bangkalan yang diutus
menemui KH Hasyim Asy'ari memberi "tanda restu" pendirian NU.
Dua
kali Kyai As'ad diminta sowan Mbah Hasyim. Yang pertama dijalani dengan jalan
kaki dari Bangkalan Madura menuju Tebuireng. Adapun yang kedua dilakukan dengan
naik mobil angkutan.
Dua
"restu" KH Kholil pada Mbah Hasyim itu berupa tongkat dengan bacaan
Surat Thaha ayat 17-23 dan tasbih dengan bacaan dzikir: Ya Jabbar Ya Qahhar.
Ketika pertama menerima tongkat itu, Mbah Hasyim menangis. "Saya berhasil
mau membentuk jam'iyyah ulama" tegas Mbah Hasyim di hadapan Kyai As'ad.
Atas
jasa Kyai As'ad sebagai penyampai isyarat langit dari Syaikhana Kholil inilah,
NU berdiri. Maka ada sebutan empat serangkai ilham berdirinya NU itu terdiri
dari: KH Kholil, KH Hasyim Asy'ari dan KH As'ad Syamsul Arifin.
NU
bagi Kyai As'ad bukan organisasi biasa, tapi organisasi para waliyullah. Maka
harus dijaga dengan baik. Sebab dengan NU itu Indonesia akan dikawal
waliyullah, ulama dan seluruh bangsa Indonesia.
"Saya
ikut NU tidak sama dengan yang lain. Sebab saya menerima NU dari guru saya,
lewat sejarah. Tidak lewat talqin atau ucapan. Kamu santri saya, jadi kamu
harus ikut saya! Saya ini NU jadi kamu pun harus NU juga" tegas Kyai
As'ad.
Perjuangan
Kyai As'ad dalam mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan Pondok Pesantrennya
pernah diserbu pasukan penjajah. Berkat kegigihannya, 10.000 orang yang ada
disana sudah bisa terevakuasi dengan baik. Kemahiran Kyai As'ad dalam beladiri
dan seni perang menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal
Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas TNI.
Ketegasan
Kyai As'ad dalam menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah tidak
diragukan lagi. Saat Pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasila tahun
1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di Ponpes milik
Kyai As'ad.
Tanggal
21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah
1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas
Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi Ormas pertama yang menerima Pancasila.
Gagasan
besar KH Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH As'ad
bersama KH Mahrus Ali, KH Masykur dan KH Ali Ma'shum. Akibat dari
menerima Pancasila itu, KH As'ad sering mendapatkan teror, surat kaleng dan
ancaman mau dibunuh.
Itu
semua ia lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kyai NU
dan para nahdliyyin bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila,
semata-mata untuk keutuhan NKRI.
Di
usianya ke 93, Allah Swt memanggil Kyai As'ad. KH As'ad Syamsul Arifin
berpulang keharibaanNya pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes
Salafiyyah Syafiiyyah. *)