M. Rikza Chamami
Dosen UIN
Walisongo Semarang & Anggota Kaukus Aliansi Kebangsaan
Usaha
menyatukan bangsa Indonesia dari ujung Aceh hingga ujung Papua tergolong tidak
mudah. Sejarah mencatat, dinamika mendirikan negara Indonesia dibayar dengan
harga mahal. Diskusi demi diskusi dilakukan. Perbedaan pendapat dan debat kusir
juga tidak jarang dilakukan. Namun, perbedaan dan debat kusir itu semua hilang
hanya demi satu hal, persatuan.
Melihat
sedemikian panjangnya proses sejarah itu dilalui, maka menjadi sedih jika hari
ini ada pihak yang ingin memecahbelah bangsa Indonesia. Bukan karena apa-apa,
tapi hanya karena nafsu kekuasaan, persatuan ditinggalkan. Ada gejala apa ini?
Yang jelas ada gejala ujian demokrasi. Sebab demokrasi memang mewadahi dan
mensahkan perbedaan. Jadi, jika bangsa ini masih takut berbeda, berarti
demokrasi belum dipahami dengan baik.
Resiko
menjadi bangsa dengan slogan demokrasi memang seperti yang dirasakan hari-hari
ini. Puncak dari “ujian akhir demokrasi” selalu ada pada proses politik, yang
disebut sebagai Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah. Setiap momentum
Pemilu atau Pilkada selalu muncul isu-isu pecah belah. Itu wajar terjadi dan
tidak perlu dirisaukan. Sepanjang semua berjalan sesuai dengan aturan-aturan
yang berlaku.
Ada
suasana yang dikesankan akan membuat “Indonesia Mencekam” di hari Jum’at 4
November 2016. Ada apa itu? Seruan untuk membela salah satu agama mayoritas di
Indonesia atas indikasi penistaan agama. Yang dituduh menistakan agama adalah
salah satu Calon Gubernur DKI yang sedang berkontestasi—yang beragama beda. Dan
yang menyerukan, tentu saja pihak yang sejak awal ingin Calon Gubernur itu
berkuasa kembali.
Melawan Lupa
“Melupakan
karya pejuang bangsa itu kurang etika” demikian kira-kira renungan yang patut disimpulkan. Jadi kalau para pejuang
itu meninggalkan warisan persatuan dan kesatuan, dan kini akan dilupakan itu
juga tidak etis. Intinya bangsa Indonesia harus tetap bersatu padu dengan penuh
kesadaran bahwa semua memiliki perbedaan. Termasuk perlu disadari adanya
perbedaan agama.
Salah
satu isu sensitif yang selalu digunakan untuk memecah belah persatuan bangsa
adalah soal agama. Agama nampak selalu dijadikan alat dalam membuah “Indonesia
Mencekam”. Apalagi seruan demo untuk mengadili sosok penista agama, jelas-jelas
sudah ditarik sebagai isu SARA. Apa ada yang janggal? Sangat janggal.
Kejanggalannya terletak pada pemaksaan kehendak dengan penuh intimidasi.
Inilah
jika agama dipahami secara kaku dan tanpa batas di tengah kehidupan
berpancasila. Agama selalu hadir menjadi pengajak nahi munkar (melawan
kemungkaran), sedangkan visi agama dengan amar ma’ruf (mengajak kebaikan)
terabaikan. Agama dengan semangat nahi munkar tanpa amar ma’ruf ini akan
melahirkan kaum “agamis-ejakulatif”. Mereka tampil dengan simbol-simbol agama
dengan penuh kegarangan tanpa senyuman.
Memang
sekali lagi bahwa kita tidak boleh lupa. Harus benar-benar sadar. Bahwa
perbedaan itu sah. Satu pihak ingin Calon Gubernur itu tidak jadi dengan
caranya yang demikian “galak”. Di sisi lain, ada yang ingin jagonya menang,
dengan cara-cara yang konstitusional penuh dengan kedamaian. Disinilan nampak
kelas sosial, mana yang memiliki kemampuan pengendalian emosi dan sisi lain
terbawa oleh emosi semata.
Ada
bahaya yang akan terjadi jika demo berkedok agama ini dibiarkan liar. Apa itu?
Bahaya citra Ibukota Negara sebagai lokus titik-lihat dunia akan tercoreng.
Indonesia yang sudah dikenal sebagai bangsa damai dan rukun dalam lima
peristiwa itu akan menjadi sorotan dunia. Bahaya lainnya adalah pendomplengan
kelompok-kelompok tertentu yang memang menginginkan Indonesia rusuh.
Oleh
sebab itu, usaha untuk membendung amnesia nasionalisme itu menjadi sangat
penting. Paham-paham kebangsaan yang sudah tertanam rapi jangan sampai
dilupakan. Nasionalisme itu sederhana, melihat perbedaan dengan penuh kesadaran
untuk membuat persatuan. Itu saja. Maka dengan segala titik beda itu, semua
akan merasa perlu dicari pertemuan dalam perbedaan.
Menyatukan
perbedaan itu tidak mudah. Apalagi jika agama menjadi alat pemisah perbedaan
itu. Disinilah dibutuhkan agama inklusif, yakni paham agama yang berpadu dengan
nasionalisme. Apa bisa? Sangat bisa. Asalkan agama itu dipahami secara matang berasal
dari sumber asalnya dan memahami filosofi ketuhanan dan mencipta agama. Sebab
agama apapun selalu mengajari tentang kebaikan dan perdamaian.*)