M Rikza Chamami
Saya sempat terdiam ketika mendapat balasan WA dari punggawa budaya, Gus Candra Malik. Dia mengirim motion "menangis" setelah kukirimi tulisan singkat "Menghormati Kyai". Spontan saya tanya, ia menjawab satu kata: KUALAT.
Demikian responnya menanggapi WAku dan mungkin membaca realitas kekinian dimana orang sudah berani mengumpat dan menulis status medsos dengan bahasa menghina Kyai.
Bagi santri yang pernah mondok atau khidmah dengan ilmu Kyai, pasti itu tidak mungkin dilakukan. Tapi kalau yang melakukan bukan santri, nampaknya tidak aneh.
Ya memang tidak aneh, sebab dia tidak pernah belajar Ta'limul Muta'allimnya Syaikh Azzarnuji, Minhajul Atqiya'nya Syaikh Sholeh Darat, Adabul 'Alim wal Muta'llimnya Syaikh Hasyim Asy'ari atau Syi'ir Ngudi Susilonya Syaikh Bisri Mustofa.
Cukup sudah rasanya kita mendapatkan tauladan, bahwa Kyai itu mulia dan penuh sabar. Begitulah Romo KH Ahmad Mustofa Bisri memberi contoh pada kita semua.
Santri jangan sampai berani meniru orang-orang yang menghujat Kyai. Sebab dunia santri mengenal kualat.
Kata kualat adalah bahasa Jawa yang dalam Kamus Bahasa Indonesia bermakna: 1) mendapat bencana (karena berbuat kurang baik kepada orang tua dan sebagainya); kena tulah; dan 2) celaka; terkutuk.
Apakah santri mau celaka? Tentu tidak. Jadi santri yang baik itu yang belajar adab dan menjalankannya. Dan besok kelak ketika jadi Kyai, tirulah adabnya KH Mustofa Bisri. Semoga kita dihindarkan dari santri kualat dan didekatkan dengan santri barokah.*)
No comments:
Post a Comment