M Rikza Chamami
Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang
Belakangan ini banyak SMS dan WA yang bertanya soal harus
bagaimana warga NU menyikapi suasana Indonesia? Dengan tegas saya jawab:
"Nderek dawuh Kyai mawon (ikut nasehat para Kyai saja)".
Sekilas memang sederhana jawaban itu, tapi sejatinya itu jawaban
orang yang memang tidak bisa menjawab. Kenapa? Karena masih menjadi santri.
Santri tidak bisa menjawab pasti.
Karena warga NU punya panutan dalam hidup. Ialah Kyai, tokoh
agama yang selalu memberi siraman kehidupan yang damai dan menyejukkan. Bukan
hanya kehidupan agama saja, tapi seluruh aktifitas kehidupan, termasuk menjawab
soal politik.
Jika bangsa dalam kondisi gaduh, maka yang terpenting adalah
mendamaikan. Bukan menambah kegaduhan. Kira-kira demikian yang disampaikan oleh
para Kyai kita. Nasehat yang sungguh indah.
Dalam sebuah kesempatan sowan pada Kyai, pesan yang paling
penting adalah menjaga ibadah pada Allah dan mengikuti sunnah. Karena dengan
dua hal itu, hati manusia akan selalu diarahkan.
Bukan untuk apa-apa, tapi ini demi meluruskan hakikat kehidupan
manusia yang memang tak berdaya. Hanya Allah-lah yang bisa membuat manusia
mempunyai daya.
Bagaimana kita bernegara? Setelah hati dekat dengan Allah dan
Rasulullah, maka tugas kemanusiaan itu perlu dijalani, termasuk hidup
bernegara. Kalau NU secara tegas menerima Pancasila, maka hidup berpancasila
itulah yang dijaga dengan baik.
Hidup berpancasila itu sederhana: agama Islam ala ahlussunnah
wal jama'ah annahdliyyah dikuatkan dengan prinsip tawazun, tawasuth, tasamuh
dan amar ma'ruf nahi munkar. Itulah berislam dengan Pancasila. Dan semua orang
NU sangat paham dengan penjelasan itu.
Ini meneguhkan bahwa ajaran masyayikh NU tetap dijaga dengan
baik. Jangan sampai orang NU dibawa-bawa masuk pada gerakan sparatis yang
mencoba mengoyak-ngoyak kebhinekaan negara Indonesia.
Lalu apakah membela NU dan ahlussunnah termasuk membela Islam?
Jelas membela Islam. Sebab NU dan ahlussunnah wal jama'ah annahdliyyah
dirancang sebagai ideologi keagamaan dan kebangsaan.
Dua kepentingan itu menyatu demi menguatkan Islam Nusantara,
yakni: Islam bercirikan kekhasan lokal Indonesia yang damai dengan penuh
persatuan dan kesatuan.
NU tidak pernah mengajarkan untuk menghancurkan bangsa. NU tidak
pernah mengajak meruntuhkan negara. NU selalu hadir sebagai jam'iyyah yang
menopang NKRI.
Jika ada hal-hal yang dianggap melenceng dari akidah dilakukan
oleh pemimpin bangsa, NU tampil dengan penuh kewibawaan menegur dengan bahasa
ulama. Bukan menegur dengan gaya-gaya bahasa yang bukan ulama.
Warga NU juga perlu melihat Kyai dengan penuh cinta kasih. Jika
Kyai hadir dan berbuat, maka santri ikut. Jika santri tidak cocok, maka berdiam
itu lebih baik sembari mencari jawaban Kyai dengan belajar lagi.
Negara butuh NU, bangsa butuh NU, kedamaian dunia butuh NU. Ini
artinya, negara dan dunia butuh ulama dan santri dalam membangun negeri. Ulama
dan santri pun tidak bisa sendiri, mereka butuh pada seluruh bangsa untuk
bersama-sama (walau memang awalnya berbeda).
Mengaku banggalah jika kita bela Islam dengan tetap semangat
bela NU dan bela aswaja demi Islam Nusantara. Sebab Islam Nusantara selalu
tercipta dengan kerahaman dan kesantunan.
Lihat dan ikuti dimana ulama NU dan aswaja itu ada. Jangan
pernah tinggalkan orang-orang mulia itu. Jangan pernah terkecoh dengan
"orang luar" yang mengajak, tetapi sejatinya ingin merusak.
Nderek dawuh Kyai mawon. Wallahu a'lam.*)